ma kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau nikah sama aku?”
Albin menundukkan wajah sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menarik napas panjang.
“Jo, mereka mereka bilang darah Albino berharga mahal. Apa maksudnya?
Kenapa mereka maksa aku? Apa salahku?
Bukan salahku ‘kan, aku Albino? Andai bisa, aku juga gak mau. Bahkan orang tuaku aja gak mau aku ada.” Albin terisak.
“Nooo,” Jovan menggelengkan kepalanya, “gak usah denger mereka. Mereka itu penjahat, Al.
Mungkin aja mereka terlibat sindikat perdangangan manusia. Banyak orang-orang seperti itu. Kadang-kadang korban mereka para asisten rumah tangga yang polos dan gak ngerti apa-apa. Udahlah...gak udah dipikirin.”
“Aku mau tau kenapa aku dibuang. Apa salahku?” Albin terisak. Tubuhnya terguncang.
“Albin, kamu mau cari
Jovan memarkir mobil di depan rumah Albin. Hari ini adalah hari yang dijanjikan dan disepakati bersama antara dirinya dan sang ayah. Dia akan membawa wanita pilihannya untuk dijadikan istri. Rasa gugup memagut erat perasaan Jovan mengingat sikap Albin yang terkadang semaunya. Ia takut gadis itu akan bersikap sama kepada ayahnya. Namun, sepertinya Albin bisa menjaga sikap saat bersama orang lain. Pikiran itu sedikit menghalau kekhawatirannya. Jovan menurunkan kaca mobil lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Albin saat melihat gadis itu keluar dari pintu rumah. Perasaannya menghangat ketika melihat Albin tersenyum sambil menganggukan kepala. Jovan tidak tahu kenapa saat melihat Albin dia selalu rasa senang. Saat bersama gadis itu dia merasa nyaman. Albin seperti medan magnet mahadahsyat yang selalu menarik dirinya untuk mendekat. “Udah siap?” tanya Jovan saat bo
Adi memperhatikan perdebatan antara Jovan dan Albin. Senyuman tipis tersemat di bibirnya. “Jadi Jovan cerita begitu sama kamu?” tanya Adi lagi. “Iya, Om. Itu bos juga songong banget, enak aja main pecat. Lagian, napa urusan dia punya menantu atau gak segala Jovan yang harus urus?” Nada bicara Albin terdengar kesal. “Mampus gue!” Jovan memijat keningnya. Dia mendesah kesal dan frustasi. Andai Albin punya tombol On/Off pasti Jovan menekannya saat ini juga sebanyak ratusan kali. “Kamu tau bos-nya Jovan siapa?” tanya Adi sangat bersemangat. Dia tersenyum sambil melipat tangan di dada. “Ya, Lord!” Jovan berteriak di dalam hati. “Albin kamu lapar? Pa, ayuk makan. Lapar, nih!” Jovan menyela pembicaraan mereka. “Nah itu masalahnya, Om. Saya gak tau bos Jovan itu yang mana. Andai saya tau….” kata Albi
Jovan menghadiri pesta ulang tahun teman Adi seperti yang diperintahkan sang ayah. Sesekali dia berbincang dengan para tamu undangan. Hiruk pikuk manusia di tempat itu tidak membuat Jovan senang. Pikirannya terus melanglang buana memikirkan Albin dan Ayahnya. Apa sebenarnya maksud sang ayah? Jovan memikirkan kemungkinan terburuk, ayahnya dan Albin adu mulut. Albin ditolak. Ayahnya akan kembali memaksa menjodohkan dirinya. Memikirkan hal itu membuat Jovan gelisah. Dia tidak ingin gadis lain, tapi jika sang ayah tetap memaksa dia bisa apa? Jovan gelisah. Dia berkali-kali mengirim pesan kepada Albin, tetapi masih belum mendapatkan balasan. {Albin, Papa ngomong apa? Nanti cerita, ya.} {Kalau udah baik ke rumah kasih tau} {Albin! kamu di mana sih?} {Albin, lo kemana? Kok mau-maunya di
Albin memeriksa ponsel sambil menghela napas panjang dan berat. Sudah lima hari sejak dia dan Jovan bertemu di depan Indomaret dan mereka berpisah dalam keadaan tidak akur. Semenjak malam itu Jovan tidak pernah lagi menghubungi dirinya. Dia merindukan Jovan. Ia berharap lelaki itu menghubunginya dan meminta maaf karena sudah berkata kasar. Gadis itu tersenyum hambar. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Rindu, kecewa, cinta, takut kehilangan, semuanya membaur dan meramu menjadi racun di dalam hati membuat dirinya gelisah dan tidak berdaya. Di tempat lain … Jovan memeriksa ponsel. Siapa tahu ada panggilan tidak terjawab atau pesan ‘terselip’ dari Albin, tertimbun diantara banyaknya pesan yang diterimanya. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang lelah di sandaran kursi mobil. Raut kecewa tergambar jelas di wajahnya yang tampan. Hela napasnya
Albin memejamkan mata rapat-rapat. Rasa aneh dan unik saat Jovan mengecup lehernya inci demi inci mau tidak mau membuat Albin menggeliat sambil merentangkan leher lebih lebar. “JOVAN, STOP!” perintah Albin dengan nada lebih keras. Jovan tidak peduli. Dia terus menjelajahi leher Albin dengan kecupan. Sesekali indra perasanya mencecep halusnya kulit leher Albin. “Hmm … Jovan!” Albin menggeram. Logikanya menolak keras semua ini, tapi tubuhnya menginginkan Jovan lagi dan lagi. Jovan menyusupkan kedua tangannya ke bawah bokong Albin. Meremas lalu menekan tubuh gadis itu lebih rapat lagi ke tubuhnya. Albin bisa merasakan sesuatu mengeras di bawah sana, di balik celana Jovan. “Tidak .. tidak! Tidak seperti ini!” seru Albin nyaring. Dia menjambak rambut Jovan sekuat tenaga. “Aaaah sakiiit!” teriak Jovan sambil menahan tanga
Albin menatap dirinya di cermin. Hari ini dia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Albin tidak tahu dirinya harus merasa bahagia atau tidak, tapi ada rasa sedih di dalam hati gadis itu. Hatinya terasa pilu. Semua orang mengharapkan kebahagiaan dirinya dan Jovan. Semua berharap mereka menua bersama, tapi Albin merasa seakan mereka berdua sudah menipu semua orang. “Kamu cantik sekali, Nak.” Maryam mendekat lalu meremas lengan Albin dengan hangat. “Mama.” Albin berdiri. Kedua matanya berkaca-kaca. “Mama. Terima kasih sudah merawatku. Terima kasih sudah menyayangiku saat semua orang di dunia ini menolakku.” Albin menangis memeluk wanita yang selama ini membesarkan dirinya dengan segala keterbatasan. “Jangan ngomong begitu, Sayang. Jangan. Kami bahagia kamu datang ke dalam kehidupan kami.” Maryam membelai punggung Albin. “Cuma
Gelak tawa, senyum hangat selalu menghiasi wajah Albin dan Jovan. Kebahagian terlukis indah dalam rona wajah keduanya. Sesekali Jovan meraih pinggang Albin. Seringkali mata mereka saling bertaut dalam memancarkan cahaya cinta yang kuat, lalu beberapa saat kemudian seperti meredup. keduanya saling tersenyum sambil menghela napas panjang dan berat. “Hey … lihat siapa yang datang!” seru Albin senang. Seorang lelaki mengenakan setelan tuxedo abu-abu gelap mendekati mereka. Dia seorang pria tampan berwajah campuran Jepang dan western dan Melayu. Rambut panjangnya diikat rapi. Albin mengulurkan tangan, menyambut lelaki itu. “My Queen,” ucap seorang lelaki membungkuk menyambut uluran tangan Albin kemudian mengecup punggung tangannya. “Kei …” sapa Albin tersenyum canggung. Dia segera menarik tangan setelah K
Jovan mengemudikan mobil dalam diam. Pandangannya lurus ke depan. Biasan cahaya lampu jalanan melewati wajahnya. Sangat terlihat air mukanya dia sedang dalam keadaan tidak baik. Albin memperhatikan Jovan beberapa kali. Sulit sekali baginya menyelami perasaan Jovan. Senyuman manis yang biasanya selalu tersemat di bibir lelaki itu kini menghilang. Beberapa kali Jovan menyisir rambut menggunakan sela-sela jemari sambil membuang napas melalui mulut dengan kasar. Sesekali dia menggelengkan kepala seraya berdecak kesal. Albin tidak berani bertanya, tapi apa pun yang Jovan pikirkan saat ini pasti ada hubungannya dengan sang Mama Mertua. Karena awalnya semua baik-baik saja, bahkan sangat baik sebelum si Naga Api itu datang menyerang, pikirnya. “Gak jadi, deh malam pertama,” Albin mendesah kesal. “Harusnya gue di kasur bukannya kabur! Nasib cinta gue emang nge