Share

2. (Un) Perfect Life

Lexus ES 250 Ezra memasuki halaman besar kediaman orang tua Jovita di bilangan Pondok Indah, salah satu perumahan elit di Jakarta. Rumah bergaya modern mediterranean yang menempati lahan seluas hampir 500 meter persegi itu terlihat lengang. Jovita menduga ayahnya pasti belum kembali dari aktivitasnya sore itu. Kemungkinan di rumah hanya ada ibunya.

"Hai, Mama," sapa Jovita begitu dilihatnya ibunya yang sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Ia mencium tangan ibunya.

"Oh ... hai, Jov," sahut Yulia, ibu Jovita. Ia terkejut melihat anaknya sudah tiba sebelum magrib.

"Hai, Ma. Selamat ulang tahun perkawinan," ucap Ezra sambil memberikan buket bunga mawar merah. Ia pun menyalami dan mencium tangan ibu mertuanya.

"Ah ... terima kasih, Ezra. Bunganya cantik sekali." Yulia menghirup wangi bunga favoritnya. "Tumben kalian sudah datang jam segini. Mana Vanya?" Ia menanyakan kehadiran cucunya, anak perempuan Jovita.

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Ma. Kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dengan klien besar. Saya menyempatkan diri pulang cepat dan langsung menjemput Jovita, belum sempat mengambil Vanya di rumah." Ezra mengungkapkan penyesalannya.

Yulia berusaha tersenyum, meskipun dalam hati menahan rasa kecewa. Ia tidak mau dianggap sebagai ibu mertua yang tidak peduli dengan kesibukan mantunya. "Tidak apa-apa, Ez. Kalian sudah menyempatkan diri datang sekarang saja, Mama sudah senang."

"Papa belum pulang?" tanya Jovita. Ia duduk berselonjor di sofa.

"Sekitar sepuluh menit lalu telepon, katanya sudah dalam perjalanan pulang," sahut Yulia. Ia lalu memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan minuman bagi anak dan mantunya. "Terima kasih cheese cake-nya. Papamu pasti suka." Ia kemudian meminta asisten rumah tangga meletakkan kue itu di meja makan.

"Ezra yang belikan tadi, Ma," ucap Jovita.

Yulia tersenyum. Menantunya ini sangat tahu apa yang menjadi kesukaan mertuanya.

"Kita tunggu Papa saja ya, Honey," usul Ezra. Ia duduk di samping Jovita, meletakkan kaki istrinya di atas pangkuan dan memijatnya.

Jovita mengangguk, menyetujui saran Ezra sekaligus menikmati pijatan suaminya. Dua jam berdiri dengan stiletto1 membuat kakinya nyeri.

"Ada mobil Davina di depan. Dia sudah pulang?" Jovita menanyakan tentang Davina, adik perempuannya.

"Sudah. Sejak pulang tadi siang, tidak keluar dari kamar," sahut ibunya.

"Bertengkar lagi dengan Damian?" Jovita memandangi ibunya. Sudah setahun ini rumah tangga Davina dan Damian dipenuhi dengan pertengkaran. Adiknya itu bahkan memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya sejak sebulan lalu, berpisah dari suaminya.

"Entahlah. Adikmu kan tidak pernah mau bercerita tentang hal semacam itu. Mama juga tidak berani ikut campur," jawab Yulia. "Pernah sekali bertanya, dia langsung jawab 'jangan samakan aku sama Kak Jov yang pernikahannya sempurna'. Ya sudah, semenjak itu Mama tidak pernah mau tanya-tanya lagi."

"Mungkin sedang sensitif saja, Ma," bujuk Ezra. "Bukan salah Mama."

Yulia tersenyum. Betapa ia sangat bahagia memiliki Ezra sebagai menantunya. Dalam hati berandai-andai bila Damian juga memiliki sifat seperti Ezra, pasti Davina pun akan bahagia bersamanya.

Langkah kaki terdengar memasuki area ruang tamu.

"Itu pasti Papa," terka Yulia yang sudah hafal tekanan langkah suaminya.

Tidak lama seorang pria berusia 65 dengan senyum lebar muncul di ruang keluarga. Irwan Hengkara, pemilik ANARA Grup, perusahaan yang bergerak di bidang property developer.

"Jovita dan Ezra sudah datang, ya?" tanyanya memastikan. Ia melihat Lexus milik Ezra terparkir di halaman.

"Sehat, Pa?" Ezra bangkit dari duduknya dan mencium tangan bapak mertuanya.

Irwan menepuk pundak menantu kesayangannya. "Sehat. Mana Vanya?" Ia celingukan mencari cucu perempuannya.

"Kami belum sempat menjemputnya, Pa. Mohon maaf sekali kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dari klien besar malam ini." Ezra mengulang permintaan maaf kepada mertuanya.

Irwan tersenyum, walaupun hatinya masygul. Ia berusaha memahami kesibukan menantunya yang merupakan pengacara muda dengan karir meroket. Teringat dahulu ia pun sering kali meninggalkan acara penting keluarga demi kelancaran bisnisnya.

"Makan malam dengan kami bisa diulang lain waktu, tapi makan malam dengan klien besar itu peluang yang tidak boleh dilewatkan," ujar Irwan, menghibur istri dan dirinya sendiri.

"Terima kasih atas pengertiannya, Pa ... Ma," ucap Ezra. "Saya sudah berusaha menggeser jadwal, tapi beliau sangat padat jadwalnya."

Irwan dan Yulia tersenyum, menganggukkan kepala, memberi tanda bahwa mereka dapat memahami situasi Ezra.

"Klien untuk kasus individu atau korporasi?" tanya Jovita.

"Individu," sahut Ezra.

"Tentang?" Jovita kembali mengajukan pertanyaan.

"Penipuan dan pencemaran nama baik."

"Klien besar berarti orang ternama, dong?" tanya Jovita lagi.

Ezra mengangguk sambil memandangi istrinya berusaha menduga maksud di balik semua pertanyaan tersebut.

"Kalau begitu pasti pembicaraannya sangat rahasia. Aku sebaiknya tidak usah ikut, khawatir membuat dia merasa tidak nyaman dengan kehadiranku. Lagi pula Damian tidak mungkin datang makan malam sekarang karena masih bertengkar. Kasihan Mama Papa hanya ditemani Davina merayakan ulang tahu perkawinannya. Aku akan minta Joko mengantar Vanya ke sini." Jovita dengan cepat mengambil kesempatan. Ia sengaja melakukannya di hadapan kedua orang tuanya, tahu bahwa Ezra tidak mungkin berkelit dalam situasi ini.

Yulia memandangi Ezra dengan wajah berbinar, seolah berharap mantunya itu mengabulkan permintaan Jovita.

Ezra memaki dalam hati. Jovita selalu jeli melihat peluang untuk memaksakan keinginan. Ia merasa terjepit. Dengan berat hati akhirnya mengangguk.

"Aaaah ... thank you, Bear." Jovita menjerit kegirangan. Ia menciumi pipi suaminya, lalu meraih ponsel menelepon Joko - sopir pribadi mereka - untuk mengantarkan Vanya ke rumah kakek neneknya.

"Kalau begitu, aku pamit dulu sekarang, khawatir terlambat menemui klien." Ezra segera pergi sebelum emosinya terbaca oleh Irwan dan Yulia.

"Sampai nanti, Bear." Jovita tersenyum sumringah sembari melambaikan tangan saat Ezra berjalan ke luar. Jovita terlalu girang, tak dilihatnya wajah Ezra yang mulai berang.

***

Jovita sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca buku Resonate: Present Visual Stories that Transform Audiences karangan Nancy Duarte - seorang penulis dan pembicara publik ternama dari Amerika - saat ponselnya yang tergeletak di samping nakas bergetar.

Lengkung tipis terbentuk di bibirnya saat melihat pesan masuk yang dikirim oleh Hilda, sebuah foto yang diambil dari belakang saat ia dan Ezra berjalan berangkulan bersama. Ia segera membalas pesan, mengucapkan terima kasih karena Hilda berinisiatif mengambil momen tersebut dan mengirimkan padanya. Yuniornya ini memang penuh perhatian.

Disuntingnya foto tadi ke dalam warna sepia2. Sebuah kutipan disematkan di bawah foto "For me, our love story is the best one in this world" sebelum diunggah ke akun sosial medianya. Dalam sekejap puluhan respons dari para pengikutnya bermunculan. Komentar berisi kekaguman atas keromantisan mereka mengisi kolom yang tersedia. Jovita mengembuskan napas, tersenyum bahagia. Perkawinannya memang sempurna.

Pintu kamar terbuka, Ezra masuk dengan dasi yang sudah bergeser dari posisi seharusnya, lengan panjang kemeja tergulung hinga ke siku. Meski kusut, namun pria itu masih terlihat memesona di mata Jovita.

"Bagaimana makan malamnya, Bear?" tanya Jovita. Ia beringsut dari tempat tidur, menghampiri suaminya, hendak membantu membuka dasi.

"Bagaimana menurutmu?" Ezra balik bertanya dengan nada ketus.

Jovita memandangi wajah Ezra. Rahang pria itu mengeras. Ia yakin penolakannya untuk ikut menemani makan malam bersama klien pasti menjadi alasan kekesalan suaminya.

"Maafkan aku tadi sore. Aku ..."

Plaaaak! Tamparan keras mendarat di pipi Jovita sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Tamparan yang membuatnya jatuh tersungkur.

Jovita terperanjat. Baru kali ini Ezra bersikap kasar. Baru kali ini ada orang yang menyakiti fisiknya, dan orang itu adalah pria yang teramat dicintainya. Ada rasa perih di dada yang melebihi rasa panas di pipinya, ternyata kehidupan perkawinannya tidak sesempurna yang dibayangkan.

-----

1. Stiletto : hak sepatu tinggi berbentuk lancip dan panjang.

2. Sepia : warna kecokelatan, campuran dari merah, hijau, dan biru, sering disebut juga sebagai reddish-brown color.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status