Share

3. Rahasia

Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini.

Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Jovita yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya. 

Ezra yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengamati penampilan Jovita sejenak, lalu memeluknya dari belakang. "You look more beautiful everyday." Ia menciumi tengkuk istrinya.

Jovita tersenyum. Sudah seminggu ini, sejak kejadian penamparan pertama, Ezra terlihat amat menyesal. Ia bersikap sangat manis, selalu membawakan berbagai makanan kesukaan Jovita tiap pulang kerja, memberikan cincin berlian, menyempatkan diri makan siang bersama di sela kesibukan, bahkan pernah sekali mereka melanjutkan dengan check-in hotel untuk sekadar melampiaskan hasrat yang tiba-tiba menggelora. Berulang kali, Ezra pun menyampaikan penyesalannya telah menyakiti fisik Jovita. Kondisi lelah akibat tumpukan kasus menjadi dalih mengapa Ezra khilaf melakukannya. Alasan yang dengan mudah dimaklumi dan diterima oleh Jovita.

"Bagaimana jika akhir pekan ini kita pergi berdua saja?" usul Ezra menghirup aroma citrus yang menguar dari rambut istrinya.

"Mau ke mana, Bear?" tanya Jovita sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang Ezra.

"Terserah kamu, Bali, Lombok, Belitung, Singapore. Mana saja yang kauinginkan." Ezra menciumi pipi istrinya.

"Akhir pekan ini aku sudah janji menemani Vanya ke toko buku. Lagi pula seminggu ini kita selalu pulang malam, kasihan Vanya jika harus ditinggal," tolak Jovita dengan halus.

Ezra terlihat kecewa.

Jovita membaca ekspresi Ezra, tak ingin suaminya kembali kesal. "Kalau bulan depan, bagaimana?"

"Bulan depan?" Ezra membelalakkan mata.

"Bulan ini kegiatanku padat sekali. Sudah pasti akan pulang malam saat Vanya sudah tidur. Rasanya aku hanya bisa membayar kebersamaan dengannya di akhir pekan. Jadwal bulan depan masih bisa kuatur," usul Jovita.

"Jadi, sekarang aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu?" rajuk Ezra.

Jovita memutar tubuh, mengalungkan tangan di leher Ezra, memandangi mata indah beriris gelap di hadapannya.  "Oh, Bear, jangan berkata seperti itu. Kamu tahu betapa berartinya kamu dan Vanya bagiku, tapi komitmen pekerjaan tentu tidak dengan mudah kuabaikan. Kamu juga tahu usaha kerasku merintis semua ini."

"Kurasa membatalkan satu atau dua seminarmu bukan hal sulit, kamu bisa meminta rekanmu menggantikan. Itu jika aku memang masih prioritas dalam hidupmu." Ezra mulai merajuk.

Jovita tertawa kecil. Kedua tangannya meremas gemas pipi Ezra. "Kamu kadang lebih kekanakkan dibanding Vanya."

"Oh ya? Jadi ada pria lain yang lebih dewasa?" tukas Ezra, nada suaranya meninggi.

"Bear! Kenapa kamu ngomong gitu, sih?"

"Menurutmu kenapa?"

Jovita menggeleng-gelengkan kepala. Mood Ezra sangat mudah berubah akhir-akhir ini.

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu." Jovita mendengkus. Ia tidak mau merusak paginya dengan kejadian semacam ini. Ada seminar yang harus diisi siang nanti, tidak ingin mood-nya kacau. Ia membalikkan tubuh, kembali menghadap cermin, meneruskan kegiatannya berdandan.

"Tidak ada waktu untuk melayani suami maksudmu? Tapi ada waktu untuk melayani orang lain?" Ezra menarik pundak Jovita dengan kasar, memaksanya kembali berhadapan.

"Bear, sakit!" Jovita memegangi pundaknya yang ditarik paksa. Ia berupaya mendorong tubuh atletis Ezra yang mengimpitnya. "Aku mau kerja!"

Usahanya tidak berhasil. Fisik Ezra yang lebih besar dan rutin berlatih resistance¹ jelas bukan tandingan Jovita.

Ezra mencekal kedua tangan Jovita, kemudian melempar tubuh istrinya ke arah lemari pakaian.

Jovita menjerit kesakitan kala tubuhnya membentur lemari jati. Ia tidak mau mengalami penyiksaan kedua kalinya. "Sekali lagi kamu menyakiti tubuhku, aku ..."

"Apa? Apa yang mau kamu lakukan?" tantang Ezra. Ia maju mendekati Jovita dan langsung menampar pipi istrinya.

Jovita tidak terima. Ia membalas tamparan Ezra sekuat tenaga.

Ezra kian beringas, melayangkan tinju ke wajah istrinya.

Jovita jatuh terjerembap, wajahnya menyentuh lantai. Ia syok, tapi dengan cepat menguasai diri, berusaha memikirkan tindakan agar tidak kembali menjadi samsak.

"Berengsek! Cukup sudah! Kamu keluar dari rumah ini atau aku dan Vanya yang pergi!" ancam Jovita. Ia bergegas bangkit, ingin segera menjauh dari suaminya.

Ezra meraih tangan Jovita, menahannya untuk tidak pergi. "Maafkan aku."

"Jangan sentuh aku!" Jovita berusaha menepis tangan Ezra, muak dengan permintaan maafnya.

Ezra tidak menyerah, menarik tangan Jovita dan merengkuh tubuhnya. "Maafkan aku, Honey," pintanya lirih sembari menciumi kepala istrinya.

Jovita luluh. Ia terisak dalam dekapan suaminya. "Kamu menyakiti aku, Bear."

Ezra menciumi wajah Jovita. "I'm so sorry. Aku lepas kendali. Kamu seharusnya tidak menantangku." Ia mengulum bibir Jovita, nafsunya menggelora. Ia mendorong tubuh istrinya ke atas ranjang, ingin melampiaskan libidonya.

"Bear, aku harus segera pergi," tolak Jovita saat Ezra menyingkap roknya.

"Let's make it quick." Ezra tidak dapat menahan birahinya. "Untuk yang ini, kamu harus melayani, bukan?"

Jovita tak kuasa menolak, tidak ingin kembali menjadi sasaran amukan Ezra.

***

Bunyi gesekan daun-daun pepohonan nan rindang yang tertiup angin semilir, gemericik air di sungai buatan yang mengalir di bawah beberapa area duduk berbentuk bulat seperti carousel² terbuat dari rotan berwarna cokelat, menciptakan tropical vibes ala Bali di antara impitan gedung-gedung menjulang. jimBARan Outdoor Lounge Ayana MidPlaza Jakarta memang menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota yang mampu menghadirkan ketenangan tersendiri bagi Jovita. Ketenangan yang sangat dibutuhkan untuk membantunya mengendalikan gejolak emosi sebelum tampil di acara seminar dua jam mendatang. Matahari pun seolah berempati dengan kegundahannya, sehingga tidak terlalu menunjukkan keperkasaannya siang itu.

Kejadian pagi tadi masih terus diputar oleh memori emosi Jovita. Ini kali kedua dia mendapat kekerasan fisik dari Ezra, perlakuan yang lebih kasar dari sebelumnya. Berbagai rasa berkecamuk di dada Jovita, rasa yang sulit sekali diidentifikasinya. Satu hal yang ia tahu hanya bahwa ini adalah sebuah cela dalam hidupnya. Cela yang harus disimpannya rapat-rapat, tapi tak ayal membuat jiwa bebasnya berontak menggugat.

Tidak pernah ada kata kalah atau gagal dalam hidup Jovita. Semua fase kehidupannya berjalan teramat mulus. Terlahir di keluarga berada, dianugerahi otak brilian dan wajah rupawan membuat hidup menjadi terlalu mudah baginya. Selalu menempati peringkat pertama sejak SD hingga SMA, membuatnya dengan mudah mendapat tempat di universitas negeri ternama tanpa tes. Lulus dengan predikat cumlaude (dengan pujian) dan taraf ekonomi kelas atas memudahkannya untuk meneruskan kuliah di UniMelb yang masuk dalam jajaran 50 besar dunia.

Tidak hanya prestasi akademik, area nonakademik pun menjadi ajang unjuk kebolehannya. Pemain bola basket andalan, aktivis organisasi kemahasiswaan, hingga wajah yang pernah menghiasi sampul salah satu majalah terpopuler di tanah air menjadi rentetan prestasi Jovita. Ditambah lagi dengan deretan pria-pria yang mengagumi paras dan tubuhnya. Pujian datang bertubi-tubi, sanjungan menghampiri tiada henti. Semua kegemilangan yang tanpa disadari membentuk sebuah konsep diri "Aku adalah yang terbaik dari yang terbaik" dan perlahan menyeretnya dalam sebuah tuntutan untuk senantiasa tampil sempurna. Belum pernah sekali pun dalam hidupnya, Jovita merasakan arti kekalahan dan kegagalan. Dialah sang juara, pemenang kompetisi kehidupan.

Perlakuan Ezra dua kali ini adalah sebuah tamparan keras, tidak saja dalam arti denotatif, tapi juga konotatif. Situasi yang menimbulkan disonansi³ dalam irama kehidupannya. Ingin rasanya Jovita menceritakan kekalutannya ini pada seseorang, tapi itu berarti akan mempertontonkan boroknya, menodai kesempurnaannya. Penilaian buruk orang lain jauh lebih menakutkan daripada perlakuan buruk Ezra.

Jovita meneguk gelas kedua classsic lemonade-nya. Ia sama sekali tidak merasa lapar meski perutnya belum diisi oleh asupan makanan sedikit pun. Selera makannya hilang sekejap. Light lobster bisque - sup krim lembut kaya aroma yang terbuat dari campuran daging lobster, safron, kacang fava, mushroom, dan disajikan dengan roti sourdough⁴ - sejak tadi tidak disentuhnya. Rasa gusar mengalahkan rasa lapar.

Jemarinya membuka aplikasi sosial media, mengamati berbagai unggahan dari orang-orang yang diikuti, mencoba mengalihkan kegusarannya. Tak ada yang menarik karena pikirannya masih terlalu kalut. Gerakan jemarinya berhenti pada unggahan Agnes, teman dekatnya sejak SMP hingga SMA yang kini berdomisili di Melbourne. Agnes mengunggah foto seorang wanita Australia sebagai sebuah memorabilia. Ada lambang pita putih yang ditempelkan di pojok bawah.

Jovita tergelitik untuk membaca keterangan foto itu. Tentang seorang wanita korban kekerasan rumah tangga yang meninggal setahun lalu dan imbauan untuk bertindak menghentikan kekerasan pada wanita. Dadanya terasa berhenti berdetak. Gejolak rasa kembali membuncah, pikirannya mengembara.

"Hai, di sini kamu rupanya," tegur Rania, salah satu rekannya sesama pendiri Stariffic yang juga akan mengisi sesi seminar siang ini bersamanya. Rania adalah mantan penyiar radio ternama ibu kota, memiliki suara dan wajah yang sama indahnya. "Kamu langsung dari rumah ke sini?"

Jovita tersentak dari lamunannya, lalu mengangguk. "Tadi ada keperluan di sekolah Vanya sebentar, setelah itu langsung ke sini."

Rania duduk di kursi rotan dengan bantalan duduk berwarna biru, bersebelahan dengan Jovita. Ia melihat sup yang sepertinya sama sekali tidak tersentuh di meja. "Kok tidak dimakan?"

"Awalnya ingin, tapi lalu hilang selera."

"Kenapa? Tidak cemas kan? Mana pernah Jovita cemas mau manggung," seloroh Rania. Ia memang tidak pernah melihat temannya ini demam panggung.

Jovita tersenyum. "Tidak apa-apa, hanya rasanya tidak lapar."

Rania memandangi Jovita, ada yang sedikit berbeda dengan temannya ini. Jovita yang selalu ceria, hari ini tampak sedikit muram. Saat mengamati, ia melihat kornea mata temannya memerah. "Kenapa matamu, Jo?"

Jovita tersentak. Ia segera mengambil tempat bedak, ingin melihat apa yang terjadi pada matanya. Rasanya ia sudah menutupi bekas pukulan Ezra dengan concealer⁵. Betapa terkejutnya saat melihat bercak-bercak merah pada bagian putih matanya.

Jovita mengembuskan napas. Luka itu jelas akibat pukulan Ezra.

"Aku tadi terpeleset di rumah saat keluar kamar mandi, mukaku membentur lantai, tapi tidak menyangka jadi begini." Jovita memberikan penjelasan palsu. "Kelihatan jelaskah, Ni?

Rania menggeleng. "Kalau dari jauh sih tidak kentara, Jo. Nanti kamu periksakan saja ke dokter."

Jovita mengangguk, tapi dalam hati menolak saran temannya.

Aturan di keluarga Ezra - keluarga Satria Dharmawan - terkait reputasi sangat ketat. Ada daftar nama dokter yang sudah ditetapkan karena dijamin akan menjaga nama baik, tidak boleh pergi ke sembarang dokter. Untuk menemui dokter pilihan keluarga itu, Jovita lebih sungkan karena akan diketahui oleh mertuanya dan interogasi panjang sudah pasti harus dijalani.

"Tidak ada rasa perih atau sakit?" Rania cemas akan kondisi temannya, khawatir akan memengaruhi performanya di panggung nanti.

Jovita menggeleng. "Sama sekali tidak, makanya aku kaget saat kamu bilang tadi."

"Semoga bukan masalah serius," harap Rania.

"Kuharap begitu," sahut Jovita tersenyum. Sekilas ia melihat Hilda meniti jembatan kayu menuju tempatnya duduk. Kemungkinan pertanda sesinya akan segera dimulai.

"Sudah akan dimulai, Hil?" tanya Jovita begitu yuniornya itu mendekat.

"20 menit lagi, Bu," sahut perempuan yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Jovita dan berkulit putih bersih itu.

"Oke," sahut Jovita sambil merapikan barang bawaannya. "Oh ya, Hilda, coba kamu lihat jadwalku bulan depan. Sepertinya ada beberapa pelatihan yang kamu sudah sering mendampingiku, mungkin sudah saatnya kamu mencoba mengisi sebagai trainer utama. Bulan ini kita lakukan dulu secara tandem, aku akan membimbingmu. Tidak usah khawatir. Aku percaya pada kemampuanmu."

Hilda tersenyum, antara senang dan cemas. Senang karena mendapat kesempatan, cemas karena harus menggantikan Jovita yang sangat piawai.

Rania menangkap emosi Hilda, berusaha membesarkan hati yuniornya. "Semua selalu ada kata pertama kali, Hil. Semua juga pernah dalam posisimu, cemasnya luar biasa. Nanti lambat laun akan terbiasa." Ia lalu menoleh ke arah Jovita. "Kamu ada rencana apa bulan depan?"

"Mau cuti. Bulan ini aku dan Ezra padat sekali, selalu pulang malam. Sekali-kali curi waktu buat berduaan dong," ujar Jovita.

"Biar lebih mesra? Kurang mesra apa lagi sih?" goda Rania.

Jovita tergelak, tapi hatinya terasa perih. "Yuk, kita masuk, Ni," ajaknya mengalihkan rasa teriris yang tiba-tiba muncul. Ia beranjak dari duduknya, ingin memoles wajahnya terlebih dahulu di kamar kecil. Ia harus memastikan wajahnya tidak terlihat seperti wanita yang baru saja dipukuli suaminya.

-----

¹ olahraga resistance : olahraga anaerobic, menggunakan beban untuk meningkatkan ketahanan otot sehingga otot semakin kuat.

² carousel : komidi putar, berbentuk bundar.

³ disonansi : sesuatu yang kurang seimbang, kurang pas, kurang konsisten.

⁴ roti sourdough : roti fermentasi dengan rasa agak asam.

concealer : kosmetik yang digunakan untuk menyamarkan noda di wajah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status