Share

6. Hanya Prasangka?

Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan.

"Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri.

Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon.

"Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica.

"Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih.

"Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta lagi sekarang. Lagi pula mukamu bertahun-tahun tidak berubah, tetap terlihat muda, nanti kalau mereka unggah dikira foto lama," balas Jovita.

"Jadi kalau aku kelihatan lebih tua, baru orang-orang mau foto sama aku?" Monica merengut.

"Bisa jadi, Bu. Soalnya Ibu umur 50 kelakuan 20, sih," canda Maya.

"Heh! Siapa bilang aku 50!" Bibir Monica makin mengerucut mengundang tawa Jovita, Maya, dan Hilda.

"Tapi tadi ada yang bertanya-tanya tentang Ibu, loh," ujar Hilda.

"Siapa? Tanya tentang apa?" selidik Monica seraya merapikan rambut pendeknya yang berpotongan pixie layered cut.

"Yah ... aku lupa namanya. Bapak-bapak gitu. Tanya tentang status Ibu, sifat Ibu," jawab Hilda.

"Serius?" Monica penasaran. Air mukanya mengundang tawa geli dari ketiga wanita lainnya.

"Kamu bilang Bu Monica masih single?" tanya Jovita.

"Iya, aku jawab jujur saja. Dia kayaknya langsung cari sosmed Ibu deh. Coba cek, Bu." Hilda menjawab sambil menahan tawa.

Monica langsung membuka sosmednya. Ia melihat satu permintaan pertemanan. "Ini orangnya, Hil?" Ia menyodorkan ponsel ke muka Hilda.

Hilda mengangguk. "Iya, benar, Bu."

Monica penasaran. Ia langsung menelusuri akun pria tersebut. "Ih, sudah punya istri, Hilda! Mana istrinya cantik banget."

"Kenapa sih lelaki sudah punya istri cantik masih ingin menggoda perempuan lain, Bu?" tanya Maya.

"Jangan tanya aku! Aku kan belum nikah!" omel Monica. "Tanya Bu Jo, tuh!"

Jovita tersentak, ia merasa tersudut. "Entah ya," jawabnya pelan.

"Apakah karena mereka tergoda yang lebih cantik?" Maya semakin penasaraan.

"Kayaknya tidak juga. Coba lihat Lady Diana, kurang cantik apa coba? Eh, si Charles malah milih Camilla yang begitu tampangnya, lebih tua pula. Kayaknya muka cantik tidak jaminan suami bakal setia deh. Memang kalau sudah ganjen, bakal begitu terus kali, ya," cerocos Monica.

Jovita kian tersudut. Kalimat yang dilontarkan Monica seolah menamparnya. Ada sembilu yang tiba-tiba mengiris dada.

Mendadak ia dihinggapi rasa penasaran dengan sosok si Aein ini. Apakah perempuan itu lebih cantik, lebih muda, lebih cerdas, atau justru sebaliknya.

"Yuk, kita pulang. Sudah beres semua barang-barang, kan?" Jovita mengalihkan pembicaraan.

Maya dan Hilda mengangguk. "Sudah, Bu," jawab mereka bersamaan.

"Kita jadi makan malam dulu?" tanya Monica. Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam.

"Boleh," jawab Jovita.

"Oke!" Monica menjawab dengan bersemangat.

"Kayaknya Ibu Jo tidak mungkin ikut deh," ucap Hilda.

"Loh, kenapa?" Jovita dan Monica sama bingungnya.

Hilda menggerakkan dagunya ke arah seorang pria yang berjalan mendekat. Ezra menjemput dengan menenteng drink tray Starbucks.

Jovita mendengkus. Kali ini ia tidak suka kejutan Ezra.

"Ah ... kekasih hati, pahlawan kami," canda Monica sambil menyapa Ezra dan langsung menyambar kopi yang disodorkan. "Kamu paling tahu kebutuhan wanita, Ez!"

"Tentu!" sahut Ezra seraya mengulas senyum.

"Tidak usah pakai senyum! Kamu kasih kopi saja sudah bikin hati berbunga, ditambah senyum makin belingsatan nanti hatiku!" seloroh Monica sambil melotot. Ia kemudian menoleh pada Jovita. "Batal nih, jadinya?"

"Oh ... apakah kalian ada agenda lain?" tanya Ezra.

"Tadinya kami rencana mau makan malam bersama," jawab Jovita. Ia berusaha tampil mesra seperti biasa di hadapan teman-temannya.

"Maaf, aku tidak tahu. Aku tidak keberatan jika kita makan bersama," sahut Ezra.

"Tidak! Aku tidak mau lihat kalian berdua bermesraan di depanku. Bikin iri, tahu!" sungut Monica.

Ezra tertawa melihat ekspresi Monica. "Makanya buruan cari dong. Jangan pilih-pilih, Monic."

"Heh! Bagaimana mau memilih kalau yang mau dipilih saja tidak ada!" Monica merengut sambil memukuli lengan Ezra.

Ezra terkekeh. "Ya sudah, kalau begitu aku makan malam romantis dengan istriku tersayang saja." Ia merangkul dan mencium pelipis Jovita.

Jovita melingkarkan tangan di pinggang Ezra, memberikan ekspresi senang atas ciuman suaminya, meski dalam hati ia teramat muak.

"Tuh, kan, kalian berdua memang menyebalkan! Sana ... jauh-jauh! Biar kami bertiga yang masih single ini tidak panas," omel Monica bergurau saat melihat kemesraan Jovita dan Ezra. "Sampai besok, Jo. Terima kasih kopinya, Ez!"

Jovita dan Ezra pun memisahkan diri dengan ketiga perempuan teman kerjanya itu.

"Aku sudah pesan tempat di Plan B Restaurant," ujar Ezra sambil menjalankan Lexus-nya. "Makanan Spanyol favoritmu."

"Aku ingin pulang," sahut Jovita. Ia kehilangan selera makan.

"Bukankah tadi pagi kamu minta kita makan malam bersama?"

"Tidak jadi." Jovita hanya ingin cepat memeluk anaknya, mengalihkan kekecewaannya. "Bukannya tadi kamu bilang mau latihan ke gim?"

"Tidak jadi karena kupikir kamu ingin makan malam bersama," jawab Ezra.

Jovita membuang muka, lebih memilih memandang kendaraan yang lalu-lalang dibanding melihat wajah suaminya.

Ezra melirik ke arah Jovita, berusaha meraih tangan istrinya.

Jovita menampik tangan Ezra.

"Honey, jangan salah sangka. Itu semua tidak seperti yang kauduga," pinta Ezra.

Jovita tidak berespons. Ia yakin bahwa penjelasan Ezra hanya penjelasan palsu untuk menutupi kebohongan.

Ezra melanjutkan penjelasannya. "Hanya kamu yang kucintai. Ia tidak ada artinya bagiku. Kami hanya saling mengobrol, tidak lebih."

Jovita bergeming. Ia sudah menduga isi penjelasan Ezra, pastilah sebuah penyangkalan.

Ezra meraih tangan Jovita, dikecupnya jemari lentik itu. "I love you so much."

Jovita menarik tangannya. "Kata yang sama kauucapkan untuk kekasihmu itu," sindirnya.

"Aku tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu padanya. Seperti kubilang tadi, bagiku dia hanya teman berbincang." Ezra berupaya meyakinkan istrinya.

"Jadi perkataan 'aku mencintaimu' dan panggilan sayang itu sekadar obrolan? Kalau tidak ada apa-apa di antara kalian, kamu tidak akan mengganti namanya menjadi Aein dan tidak perlu menghapus pembicaraan kalian. Kamu pikir aku anak kemarin sore?" omel Jovita. "Itu sebabnya sekarang kamu menjadi kasar denganku, bukan? Karena hatimu sudah terpaku olehnya dan aku hanya barang lama yang akan kamu singkirkan."

"Itu sama sekali tidak benar! Kamu dan Vanya adalah segalanya bagiku. Aku tidak pernah berpikir untuk menyingkirkanmu. Kalau itu tujuanku, maka aku tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi seperti sekarang ini. Aku akan langsung meninggalkanmu." Ezra menoleh memandangi Jovita.

"Lalu mengapa kamu mengkhianatiku?"

"Aku tidak mengkhianatimu. Kami hanya sebatas teman berbincang." Ezra tetap teguh pada alasannya.

"Apakah aku tidak bisa menjadi teman berbincang bagimu?"

"Kadang pria membutuhkan sudut pandang lain. Kamu tetap teman berbincang paling menyenangkan bagiku. Kamu wanita tercerdas yang pernah kutemui," sanjung Ezra.

"Siapa dia dan di mana kamu mengenalnya?"

"Dia staf Legal salah satu perusahaan di gedung yang sama dengan kantorku. Kami tidak sengaja bertemu saat makan siang di kafetaria. Sama-sama berlatar belakang hukum membuat kami cepat akrab. Dia orang yang senang bercanda, sering memanggil orang dengan panggilan 'sayang' bukan kepadaku saja sehingga mungkin kamu menjadi salah sangka ketika dia memanggilku 'chagia' padahal dia juga melakukan itu ke pria lain," jelas Ezra dengan nada suara yang sangat terkendali.

"Apakah dia juga mengatakan 'saranghae' ke pria lain?"

"Sepertinya begitu. Aku menghapus pembicaraan sebelumnya karena ia berulang kali memanggilku 'chagia' sehingga aku khawatir kamu salah sangka. Ternyata benar kejadian seperti itu." Ezra mengelus pipi Jovita dengan punggung tangan kirinya.

Jovita tak bergerak, terlihat berusaha mencerna penjelasan suaminya.

"Aku berani bersumpah tidak ada apa-apa di antara kami, Honey. Kamu tidak tergantikan. Aku tidak mungkin mempertaruhkan kebahagiaan keluarga kita hanya untuk hal semacam itu," ucap Ezra lembut.

"Mengapa kamu mengganti namanya sebagai Aein. Siapa nama sebenarnya?" tanya Jovita.

"Namanya Airin, tapi dia memang menyebut dirinya sebagai Aein. Jadi itu bukan julukanku untuknya. Kamu saja yang terlalu cemburu." Ezra tertawa kecil. "Mungkin kamu terlalu banyak dikelilingi pria-pria hidung belang yang mencoba menggodamu, sehingga menganggapku juga melakukan hal yang sama. Aku bisa memahami itu, tapi aku bukan mereka, Honey. Kamu mengenal siapa diriku, bukan? Akan sangat menyakitkan bagiku apabila kamu tidak bisa memercayaiku dan menganggapku sama seperti pria macam itu."

Jovita mulai bimbang. Penjelasan Ezra sangat meyakinkan. Apakah dirinya terlalu berlebihan menyikapi perbincangan antara Ezra dan Aein? Apakah dirinya cemburu buta? Apakah dirinya terlalu berburuk sangka terhadap suaminya sendiri? Apakah upayanya meminta bantuan Bayu tidak lebih merupakan tindakan impulsif2 dan hanya akan merepotkan pria itu?

-----

1 Eselon: jenjang kepangkatan struktural, biasa dipakai di Lembaga/Instansi Pemerintahan.

2 Impulsif: cepat bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status