Share

7. Jejap

Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu.

Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal.

Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah.

"Baik, Pak. Besok akan saya tindak lanjuti permintaan Bapak. Selamat malam, selamat beristirahat." Jovita memberikan sinyal ingin menyudahi pembicaraan tersebut.

Dengan berat hati Donny terpaksa menyelesaikan percakapannya.

"Siapa?" tanya Ezra seraya mencium dahi istrinya.

"Calon klien," sahut Jovita. Ia mencopot dasi Ezra.

"Jam segini telepon urusan pekerjaan?" Ezra melirik arlojinya, pukul 10 malam.

"Seharian ini aku sibuk. Dia berusaha meneleponku tapi aku tidak sempat mengangkatnya. Baru bisa tersambung barusan," jelas Jovita sambil membuka kancing baju suaminya.

"Bukankah calon klien biasanya ditangani oleh Rania. Mengapa kamu yang harus mengurusinya?"

"Dia peserta seminarku di Ritz-Carlton dua minggu lalu. Belum sempat kualihkan ke Rania."

"Ah ... itu pasti modus."

Jovita mengerutkan dahi. "Maksudmu?"

"Hanya alasannya untuk berbincang denganmu," dengkus Ezra.

"Kurasa tidak juga. Dia baru menyampaikan keinginannya, aku pun masih mengeksplorasi apa yang sebenarnya dibutuhkan." Jovita berusaha memberikan penjelasan agar Ezra tidak berpikir yang aneh-aneh walaupun dalam hati membenarkan kecurigaan suaminya terhadap Donny.

"Kamu ahli komunikasi, seharusnya bisa membaca maksud tersirat dari pria." Nada suara Ezra mulai meninggi.

Jovita tidak ingin suasana meruncing, memilih untuk mencairkan suasana. "Kamu cemburu ya, Bear?" Ia memeluk dan menciumi dagu suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

"Tentu saja! Siapa yang tidak tergoda dengan wanita sepertimu. Cantik, pintar, dan seksi. Puluhan pria rela mengantri di belakangku." Ezra membalas pelukan dan ciuman istrinya.

"Mandilah dahulu. Badanmu masih bau rokok," pinta Jovita saat Ezra berusaha membuka kancing piyamanya.

Ezra menuruti permintaan istrinya, segera beranjak ke kamar mandi.

Jovita membuka tas kerja Ezra, mencari ponselnya. Sejak penjelasan Ezra seminggu lalu tentang hubungannya dengan Airin yang katanya sebatas teman mengobrol, Jovita rutin memeriksa perbincangan mereka di ponsel. Sesuai kesepakatan, Ezra tidak lagi mengunci ponselnya dan memperbolehkan Jovita untuk mengecek setiap saat. Ezra seolah ingin membuktikan bahwa kecurigaan istrinya itu tidak beralasan.

Tidak pernah ada percakapan lagi antara Ezra dan Airin yang ditemukan Jovita. Bahkan, kontak Aein atau Airin pun sudah terhapus. Jovita justru semakin bingung, apakah harus lega atau harus curiga. Namun, pilihan terbaik baginya adalah menampilkan sikap percaya pada Ezra.

Beberapa menit kemudian, Ezra sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Tubuhnya yang hanya ditutupi handuk menguarkan aroma sabun mandi yang sangat disukai Jovita, wangi bunga magnolia. Ia mengambil bingkisan dari kantong belanja, sebuah kotak kado berwarna emas.

"Untukmu," ujar Ezra sambil menyodorkan kotak tersebut.

Jovita menerima dengan muka berbinar, kian hari Ezra kian memanjakannya dengan berbagai hadiah. Ada rasa bahagia bercampur waswas. Sebuah chemise¹ sutra berwarna emas terlihat saat kotak dibuka. Jovita mengangkat gaun tidur pendek dengan belahan dada rendah dan renda cantik tersebut.

"Pakailah, kamu pasti terlihat sangat seksi," bisik Ezra di telinga Jovita.

Lagi-lagi rasa berkelindan di hati Jovita, antara senang dan takut. Keromantisan dan hasrat seksual Ezra yang menggelora akhir-akhir ini merupakan sebuah ambiguitas² baginya. Bisa diartikan sebagai bentuk kecintaan, tapi juga dapat menjadi upaya menutupi kesalahan.

"Apa lagi yang kautunggu?" tanya Ezra melihat istrinya tidak segera mematuhi permintaannya barusan.

Jovita beranjak ke kamar mandi, tidak punya pilihan selain memenuhi keinginan suaminya. Di depan cermin kamar mandi, ia memperhatikan chemise yang memperjelas lekuk dada dan pinggangnya. Entah mengapa, bukan perasaan bangga karena tubuhnya yang terlihat seksi dengan balutan chemise itu, tapi justru perasaan risi dan jejap³ memenuhi ruang hatinya.

Ia menghela napas, berusaha menghibur diri bahwa itu dilakukan demi menyenangkan suami. Ia lalu membalikkan badan, berjalan ke arah pintu kamar mandi. Dilihatnya celana panjang Ezra yang tersampir di keranjang baju kotor. Ia mendengkus, suaminya itu sering bersikap sembarangan, meletakkan segala sesuatunya dengan berantakan.

Diambilnya celana panjang berwarna biru tua itu. Ia merogoh saku untuk memastikan tidak ada sampah atau benda lain tertinggal sebelum dimasukkan ke keranjang baju kotor. Tangannya terhenti saat meraba saku celana. Sebuah benda berbungkus plastik tertinggal. Diambilnya benda itu.

Seluruh persendian tubuh Jovita seolah terlepas saat menyaksikan benda di genggamannya. Sebuah kondom. Buat apa Ezra mengantongi benda ini? Lagi pula, selama berhubungan dengannya, Ezra tidak pernah mengenakan pengaman karena mereka memang berencana untuk memberikan adik bagi Vanya.

Emosi Jovita membuncah, tanpa pikir panjang menghambur ke luar kamar mandi. Dihampirinya Ezra yang sedang berbaring di tempat tidur memegang ponsel. Dilemparnya kondom itu ke badan suaminya sekuat tenaga.

Ezra terkesiap. "Ada apa, Honey?"

"Dasar pengkhianat!" maki Jovita. "Kebohongan apa lagi yang sekarang akan kaukatakan?"

Ezra mengambil benda yang dilempar Jovita. Ia tersenyum, lalu berdiri mendekati istrinya sambil berkata, "Ini tadi dibagikan sebagai sampel. Mungkin sesekali kita coba pakai ini?"

Napas Jovita memburu. Penjelasan Ezra membuat dirinya seolah-olah perempuan tolol yang dengan mudah dicekoki kebohongan.

Ezra tidak memedulikan ekspresi istrinya, libidonya telanjur memuncak melihat Jovita dalam balutan chemise. Direngkuhnya tubuh Jovita, menciumi leher jenjang di hadapannya. "Kamu terlihat seksi dengan baju ini."

Jovita tak sudi dicumbu. "Go fuck your bitch!" Didorongnya tubuh Ezra, lalu memutar badan, berusaha menjauh dari suaminya. Berjuta rasa jijik menghinggapinya.

Ezra menarik rambut Jovita yang tergerai, lalu dengan satu tangan mencengkeram leher belakang istrinya. "Jadi sekarang kamu berani membangkang?"

Jovita menjerit kesakitan. Ia meronta, berupaya membebaskan diri. "Lepaskan!"

Ezra menghentakkan cengkeramannya, melempar Jovita ke atas tempat tidur. "Kenapa sekarang sulit membuatmu patuh?"

Jovita merasa dirinya dalam bahaya, kaki dan tangannya berupaya memukuli dan menendangi Ezra, berteriak sekuat tenaga.

Ezra kian beringas. Dengan mudah menangkis perlawanan Jovita, balas memukuli lengan dan tubuh istrinya. "Kamu pikir kamu hebat sekarang? Berani sama suami? Seenaknya menuduh suami?"

Jovita menghentikan upaya perlawanan. Dialihkannya energi untuk menahan pukulan Ezra yang bertubi-tubi.

Pukulan Ezra terhenti kala gagang pintu bergerak. Wajah polos Vanya menyembul di sela pintu yang terbuka. "Mommy ..." panggilnya sambil mengucek mata.

Ezra bergegas menuju pintu. "Ada apa, Sayang? Kamu mimpi buruk?" Tadi ia sudah melihat Vanya tertidur lelap di kamarnya

"Aku takut," jawab Vanya dengan suara serak dan kesadaran yang sepertinya belum penuh.

"Kenapa?" tanya Ezra lembut.

Jovita segera mengambil kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dengan sisa-sisa tenaga meraih robe⁴ linen di sisi tempat tidur, buru-buru dikenakannya. "Yuk, Mommy temani tidur." Ia menggendong Vanya, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, membendung sembilu yang menusuk ulu hatinya. Ia tahu Ezra tidak mungkin menghajarnya di depan anak mereka.

Ezra mendengkus kesal, terpaksa menahan hasrat sekaligus amarahnya malam ini.

Jovita menahan air matanya agar tidak menetes, tak mau anaknya mengetahui laranya. Malam ini, Vanya menyelamatkannya dari penyiksaan Ezra, tapi entah bagaimana ia dapat melewati malam-malam selanjutnya. Perasaan tidak berdaya dan tidak berharga menyergap, teramat berat bergelayut di hatinya.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, mentari masih malu-malu mengintip dari ufuk timur. Jovita sudah mematut diri di depan cermin, bersiap untuk menjalani rangkaian kegiatannya walau hati dan tubuhnya terasa remuk redam. Celana chinos, kemeja lengan panjang ditambah lilitan syal yang menutupi leher menjadi pilihannya hari itu untuk menyembunyikan memar di sekujur tubuhnya. Setelah memastikan tidak ada sedikit pun bekas hajaran Ezra terlihat, ia memasukkan seluruh keperluan hari itu ke dalam tas Chanel-nya secepat mungkin. Ia ingin pergi sebelum suaminya terbangun.

Upayanya tidak berhasil. Ezra sudah duduk di pinggir tempat tidur saat Jovita membalikkan tubuh. Ketakutan menyergap dirinya. Setelah semalam dilewati dengan menjadikan Vanya sebagai tameng, ia tak tahu bagaimana menghadapi suaminya pagi ini.

"Sudah mau pergi?" tanya Ezra memandangi istrinya.

"Ya," jawab Jovita lirih.

Ezra berjalan menghampiri istrinya.

Jovita merasakan bulu kuduk berdiri dan dada berdegup kencang. Seumur hidup belum pernah merasakan ketakutan semacam ini.

Ezra berdiri di hadapan Jovita, memegang kedua lengan istrinya.

"Ouch!" jerit Jovita tertahan. Ezra menyentuh persis di bekas pukulannya semalam.

"Sakit?" tanya Ezra lembut.

Jovita mengangguk lemah. Tidak bisa memprediksi kelanjutan perilaku Ezra.

"Maafkan aku. Kamu memprovokasiku semalam hingga aku lepas kendali," pinta Ezra. Ia mencium dahi Jovita, kemudian memeluknya.

Ingin rasanya Jovita melepaskan diri dari pelukan Ezra, tapi menyadari bahwa itu bisa berujung pemukulan lagi. Bersikap patuh tampaknya adalah jalan teraman.

"Say something, Honey," bisik Ezra lirih kala menyadari istrinya tidak berespons terhadap pelukan dan permintaan maafnya.

Jovita mendesah. "Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Yang jelas aku tidak sanggup terus-terusan kamu sakiti."

Ezra melonggarkan pelukannya, memegangi wajah istrinya dengan kedua tangan, memandangi mata almond Jovita. "Aku berjanji akan memperbaiki semua. Semua akan baik-baik saja. Aku terpaksa bersikap kasar karena kamu lagi-lagi menuduhku. Berhentilah menyangsikanku."

Jovita terdiam, seolah mati rasa. Ia tidak bisa memercayai janji Ezra, tapi juga tidak dapat memuntahkan semua kekesalannya.

"Bagaimana jika hari ini kamu izin dari kantor? Beristirahatlah untuk memulihkan diri. Aku temani dirimu, kubatalkan semua janjiku," usul Ezra.

Usulan yang jelas tidak mau diterima Jovita karena itu sama saja membuka peluang penyiksaan. Ia menggeleng. "Banyak yang harus kukerjakan."

"Apakah kamu ada janji dengan pria yang meneleponmu semalam?" tuduh Ezra, mencoba mencari celah kesalahan Jovita.

Jovita kembali menggelengkan kepala. "Aku seharian di kantor. Ada rapat untuk program tahun depan." Ia menahan geram yang nyaris terluapkan.

"Kalau begitu, kita makan siang bersama?" Ezra mengangkat dagu Jovita.

Jovita terpaksa mengangguk, memberi persetujuan kendati hatinya sama sekali tidak mau melakukannya. Menolak permintaan Ezra sudah pasti hanya akan menjadikannya samsak hidup.

-----

¹ chemise: gaun tidur yang membentuk lekuk tubuh.

² ambiguitas: bermakna dua.

³ jejap: jijik.

robe: jubah penutup tubuh.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fadhilah
banyak banget koinya Thor ...... Baca novel ini kaya merasuk ke relung hati dan rasa sakit yg dirasakan jo sekarang bisa aku rasakan,,meskipun aku gak pernah kdrt...
goodnovel comment avatar
Deasy Arianty
koq ga bjsa lanjut baca, bonus ny banyak... semua ga bisa dibuka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status