Begitu melangkah masuk ke Dock 37 Bar & Kitchen, mata Jovita menyapu ke sekeliling ruangan. Mencari Joseph, Thomas, atau Edda. Berusaha menemukan orang yang dikenal untuk berbincang sambil menikmati sarapan bersama. Suasana restoran pagi ini lebih lengang dari dua hari kemarin. Ia melirik arloji, hampir pukul 7. Biasanya Joseph sudah datang sekitar jam ini, sedangkan Thomas dan Edda sedikit lebih siang.
"Mencariku?" tegur seorang pria dari arah belakang Jovita. Aroma kayu bercampur rempah menguar dari tubuhnya.
Jovita tersenyum lebar sambil menoleh. Suara dan wangi parfum pria itu sudah terekam di memorinya. "Mencari orang yang sudah bisa memaklumi kebiasaan b**a-basiku."
Joseph menciptakan lengkungan tipis di bibir. Ia menunjuk ke salah satu meja di sudut resto. Terdapat empat kursi yang masing-masing berada di tiap sisi meja. Ia mempersilakan Jovita berjalan terlebih dahulu.
"Bagaimana cara menjaga kesehatan otak kita agar tidak mudah pikun?" ta
Usai sesi seminar berakhir, Jovita segera melesat ke kamarnya, mengganti pakaian dan sepatu olahraga. Ia tidak mau menghabiskan sore ini dengan meratapi keberengsekan Ezra di tepi sungai. Saran Joseph untuk berolahraga merupakan cara yang lebih baik untuk memanfaatkan waktu dan mengalihkan pikiran. "Hanya dibutuhkan tekad untuk mewujudkannya, bukan?" celetuk seorang pria ketika Jovita melangkahkan kaki masuk ke lift. Joseph sudah berada di dalam lift dengan pakaian olahraga. "Aku merasa harus menghormati orang yang memberi jawaban atas pertanyaanku," sahut Jovita dengan senyum merekah. "Kamu hendak berolahraga di gimnasium?" Joseph menggeleng. "Sore ini sepertinya cerah, mungkin aku akan menyusuri sungai Yarra." "Apakah kamu sudah pernah mengunjungi Royal Botanic Gardens?" tanya Jovita. Tiba-tiba terlintas di kepalanya untuk berolahraga di sana. "Belum. Kamu akan ke sana?" Joseph ganti bertanya. Jovita mengangguk. "Kamu bisa pergi bers
Antrean panjang peserta seminar terlihat memenuhi area eksebisi di depan Goldfields Theater. Keynote speaker penutup acara seminar, Nick Vujicic mampu memukau hadirin dan membuat mereka rela berbaris demi mendapat tanda tangan dan foto bersama sosok inspiratif itu. Nick adalah motivator berkewarganegaraan Australia Amerika yang mengidap tetra-amelia syndrome - sebuah kelainan langka yang membuat bayi terlahir tanpa lengan dan kaki. Perjuangan hidup Nick yang jauh dari kata mudah menggugah peserta untuk turut memiliki semangat bangkit dari keterpurukan. Jovita melongok ke deret di depannya, menghitung berapa orang lagi yang harus dinanti untuk dapat berbincang sejenak dengan Nick. Masih sekitar dua puluh orang, tiap orang rata-rata menghabiskan waktu 3 menit, sehingga ia harus menunggu sekitar satu jam dalam barisan yang sudah mengular ini. Ia mengembuskan napas berat, kalau saja bukan Nick Vujicic yang fenomenal dan potensial untuk kolaborasi bisnis, sudah pasti ia
Pukul 7 malam, mereka berempat telah berada di Charcoal Lane Restaurant. Tempat makan yang menyajikan makanan asli Australia ini berlokasi di daerah Fitzroy yang terkenal sebagai pusat wisata kuliner Melbourne. Daging kanguru dan walabi, serta ikan barramundi menjadi menu andalan restoran ini. Kesan simpel hadir dalam balutan interior restoran yang didominasi oleh warna hitam putih. Lantai parquet1 dan dekorasi lampu-lampu besar terbuat dari rotan menciptakan kehangatan yang membuat pengunjung betah berlama-lama menyantap sajian restoran tersebut. Mereka berempat duduk mengelilingi meja yang berada tidak jauh dari bar. "Apakah kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Thomas kepada Jovita yang duduk di sisi kirinya. "Pernah satu kali, temanku Agnes yang mengajakku ke sini dua tahun lalu. Dua hari lalu, aku dan Joseph makan malam bersamanya di restoran Indonesia," sahut Jovita. Ada nyeri di dada mengingat momen dua tahun lalu bersama Ezra di s
Melangkah ke luar dari konter imigrasi Bandara Soekarno Hatta, sekujur tubuh Jovita dipenuhi keringat dingin. Sejak di pesawat, kepalanya terasa nyeri sebelah, ulu hatinya pun seperti ditusuk-tusuk. Obat pereda sakit yang diberikan oleh pramugari sama sekali tidak membantu. Seingatnya, ia belum pernah merasa tidak keruan seperti ini. Tidak hanya fisik, tapi juga emosi. Baru kali ini, pulang menjadi momen yang meresahkan baginya. Sambil mengambil bagasi, ia berpikir keras bagaimana menghadapi Ezra. Pikiran yang terus memenuhi otaknya selama penerbangan. Ia harus menahan diri, berpura-pura tidak tahu tentang perselingkuhan Ezra hingga saat yang telah direncanakannya. Namun juga tidak sudi jika lelaki itu menyentuh tubuhnya, sesuatu yang pasti dilakukan suaminya. Kali ini tampaknya ia akan mengalami kesulitan bermain peran, tidak seperti yang biasa dilakukannya saat mengisi seminar atau berhadapan dengan banyak orang. "Mommy!" panggil seorang anak perempuan yan
"Aku belum bisa menjemputmu siang ini, masih ada sidang. Bagaimana jika pulang agak sore dari rumah sakit, aku akan menjemputmu selesai dari pengadilan," ujar Ezra saat siang itu Jovita meneleponnya. Jovita sengaja memberi tahu secara mendadak kepulangannya kepada Ezra, meski sudah sejak kemarin mendapat informasi dari Dokter Yasmin. Ia punya rencana yang sudah disusunnya sendiri. "It's okay, Bear. Joko akan ke sini sekalian menjemput Vanya pulang sekolah. Mungkin kami mampir ke toko buku sebentar sesuai janjiku pada Vanya. Lagi pula jam sidangmu kan tidak bisa dipastikan kapan selesainya," sahut Jovita. Memang itu yang diinginkannya, pulang tanpa Ezra. "Astaga, Honey! Kamu baru keluar dari rumah sakit, apakah tidak bisa ditunda ke toko bukunya?" protes Ezra. "Kasihan Vanya. Dia kan belum bisa paham kondisi kita, aku tidak mau dia merasa diabaikan dan dinomorduakan," sindir Jovita halus. "Lagi pula dokter bilang aku sudah se
Jovita mengatur napas saat mendengar mendengar suara kunci pintu dibuka. Suara riang seorang perempuan yang dibuat kekanak-kanakan menyapa berbarengan dengan terbukanya pintu, "Chagia, kamu ..." Perempuan itu tak sanggup meneruskan kalimat, wajahnya pucat seketika begitu melihat sosok yang berdiri di mulut pintu. "Aku istri Chagia-mu," sahut Jovita dengan senyum terulas di bibir. Ia berusaha tenang meski ritme jantungnya melonjak cepat. Amelia mematung. Jovita mengamati perempuan di hadapannya. Tubuh Amelia lebih kecil darinya, setinggi rata-rata wanita Indonesia sekitar 158-159 cm dan berat badan yang sepertinya tidak mencapai 50 kg. Wajah bulat perempuan ini dipoles riasan yang sedikit berlebihan sehingga membuatnya terlihat lebih tua dari usia seharusnya
Tubuh Jovita bergetar hebat saat taksi melaju ke luar dari areal apartemen. Ditariknya napas perlahan, lalu pelan-pelan diembuskan. Dilakukannya berulang kali hingga tubuhnya lebih rileks. Setelah merasa mampu menguasai diri, ia meraih ponsel. Terdapat beberapa panggilan tidak terjawab dari Ezra. Ia segera mengirim rekaman barusan ke Bayu, sebagai tindakan antisipasi bila ponselnya disita, termasuk rekaman pembicaraan dengan Amelia sebelumnya. Sebuah panggilan masuk, kali ini dari Bayu. "Halo, Bay," sapa Jovita. "Kamu barusan mengirimku rekaman? Kamu nekat datang ke sana sendirian?" Bayu langsung menghujani dengan pertanyaan tanpa b**a-basi. Suaranya terdengar cemas. "Ya, barusan aku menemui perempuan itu."
Jovita berusaha menenangkan diri. Dengan menahan sakit, ia duduk bersila di atas tempat tidur, meski rusuknya terasa remuk. Ia mengatur napas, memberi asupan oksigen bagi prefrontal cortex¹-nya agar dapat mengendalikan emosi. Setelah tubuhnya lebih rileks, ia mengidentifikasi emosi yang dirasakan. Takut kehilangan Vanya dan marah terhadap Ezra adalah emosi yang dirasakannya. Kemarahan yang disebabkan karena suaminya itu selangkah lebih cepat mengambil tindakan yang merugikan dirinya. Tindakan yang luput diperhitungkannya karena ia kurang menggunakan banyak sudut pandang. Keterbatasan sudut pandang sebab ia terlalu percaya diri akan kemampuannya mengatasi masalah. Selama ini, ia dengan mudah menangani persoalan, bahkan sering dijuluki sebagai problem solver yang andal. Gelar yang membuatnya meremehkan tindakan Ezra. Kali ini, ia mengakui kekalahannya.