Share

3. Murid Pemberani

Author POV

Hanna, gadis itu memang mudah akrab. Belum 2 jam dia menempati kelas barunya, tapi dia sudah pandai menarik perhatian teman barunya yang langsung menyapanya seolah sudah kenal lama.

Kebanyakan kaum cowok yang menyapanya. Tapi cewek-ceweknya juga lumayan banyak kok yang suka sama sosok Hanna. Meskipun ada beberapa spesies perempuan yang mendelik sinis dan iri sih, tapi Hanna gak peduli.

Bodo amat! Kalo kata Hanna.

Layaknya di Saruna Bakti, Hanna tetap menjadi murid baik hati dan low profil. Tapi ini baru hari pertama, di hari selanjutnya entah apa yang akan terjadi?

Cuman Hanna yang tahu apa yang akan dilakukannya nanti!

"Kamu mau ke kantin?" tawar Bintang, teman sebangku sekaligus teman baru untuknya.

Hanna menoleh, dia baru saja memasukkan peralatan tulisnya ke dalam laci meja selepas bel istirahat dibunyikan.

"Boleh. Kebetulan perut gue udah laper nih," angguk Hanna nyengir lantas beranjak dibarengi Bintang.

Dua gadis itu mulai melangkah meninggalkan kelas. Tepat di ambang pintu, langkahnya diadang oleh salah seorang cowok yang penampilannya begitu urakan.

"Hai, Manis ... ngomong-ngomong, kita belum kenalan," ucapnya sambil mengamati Hanna yang justru hanya balas menatapnya datar.

"Bias, kamu minggir deh! Jangan ganggu kita," cicit Bintang mengusir tapi cowok itu gak menanggapi.

Sudah Bintang duga.

Tatapannya tetap ia fokuskan kepada Hanna. Gadis cantik yang berhasil membuat matanya gak bisa fokus melihat objek lain di sekitar Hanna. It means, Bias tertarik sama Hanna.

"Gimana kalo kita ngantin bareng, Manis? Gue mampu traktir lo apapun yang mau lo makan nanti, asalkan elo--" kalimat Bias menggantung, matanya menelusuri tubuh mungil Hanna dengan sorot nakal, "... Mau kencan sama gue sepulang sekolah nanti!"

Duagh.

Hanna menendang kemaluan milik Bias tanpa diduga siapa pun. Cowok itu langsung mengaduh dan memegangi wilayah fatalnya. Rasa ngilu dan mual langsung menjalar di sekujur tubuh. Wajahnya bahkan terlihat memerah seperti orang yang sedang menahan sakit.

"Itu sebagai tanda perkenalan gue buat cowok mesum kayak lo!" sembur Hanna garang, lalu menarik Bintang melewati tubuh jangkung Bias yang masih membungkuk kesakitan.

Beberapa pasang mata saling melirik, bisik-bisik kian terdengar. Namun hal itu sama sekali tidak mengusik Bias yang masih mengerang kesakitan. Dia hanya fokus pada 'anu'nya yang baru saja ditendang kasar oleh si anak baru yang pemberani.

Sementara itu, Hanna dan Bintang tengah berjalan menuju kantin.

"Sumpah! Aku gak nyangka loh, Han ... kalo kamu bisa ngelakuin itu sama Bias," Bintang masih takjub menyaksikan pemandangan tadi.

Pasalnya, selama ini belum pernah ada kaum perempuan satu pun yang berani melawan Bias jika sedang dirayunya. Tapi Hanna, dengan statusnya sebagai murid baru justru gak merasa takut sama sekali untuk memberikan sedikit pelajaran pada si playboy mesum akut itu.

Kalo aja Hanna sekolah di sini sejak awal, mungkin cowok macam Bias bakalan pada tobat mainin cewek sesuka hati. Batin Bintang di tengah rasa kagumnya.

---

"Kok, kantin ini sepi ya?" tanya Hanna di tengah suapan terakhir. Seingatnya, kantin di sekolah lamanya gak pernah sepi jika waktu istirahat tiba.

Maklumlah, kantin Saruna Bakti kan selain tempatnya luas banget dan bikin nyaman semua pengunjung, jajanannya juga lezat-lezat. Jadi gak ada seorang siswa pun yang mampu menahan hasrat ingin ngantinnya. Apalagi kalo pas kebetulan ada siswa dermawan yang mau traktir, kantinnya pasti langsung didrop deh.

Uh! Hanna jadi kangen sama suasana kantin Saruna Bakti.

Untuk mengenyahkan rasa lapar, Hanna memesan gado-gado superlezat sesampainya di kantin tadi. Biar gak selezat bikinan mpok Zaitun di Saruna Bakti, tapi Hanna cukup puas kok dengan bumbu racikan si pengolahnya.

Bintang yang anteng mengaduk-aduk es campur pun mendongak, "Maksud kamu?" 

Hanna mengelap mulut dengan tisu yang tersedia. Setelah menyingkirkan piring kosong tak bersisa dari hadapannya ia pun mengedarkan pandangannya sekilas.

"Kantin ini terlalu sepi buat ukuran sekolah elite. Emangnya anak-anak yang lain pada makan di mana kalo jam istirahat kayak gini?" tukas Hanna sekaligus bertanya.

Bintang pun menghentikan kegiatan mengaduk es campurnya. 

"Oh, dari dulu juga kantin ini emang selalu sepi kayak gini kok, Han. Cuman beberapa orang aja yang mau makan ke sini. Tapi aku lebih suka makan di sini daripada di kantin utama. Selain suasananya yang adem, makan di sini pun gak akan direcoki kakak-kakak kelas yang suka gangguin juniornya." tutur Bintang tersenyum, sementara Hanna mengernyit bingung.

Jadi ada kantin lagi selain ini. Pantas aja di sini lebih sepi, mungkin kebanyakan siswa makan di kantin utama kali ya. 

"Emangnya kenapa?" tanya Bintang menatap teman barunya itu.

"Ah? Enggak," gelengnya, "Lain kali, lo temenin gue makan di kantin utama juga ya!" pinta Hanna dan sukses membuat raut Bintang menegang mendengarnya.

Temenin Hanna makan di kantin utama? Itu sama aja kayak--

"Hei! Lo kenapa?" tegur Hanna menepuk bahu Bintang.

Gadis itu pun tersadar, "Ah? Em ... enggak. Ya udah, kita balik ke kelas aja, yuk! Kayaknya bentar lagi juga jam istirahatnya abis...." ajak Bintang cepat sebelum Hanna bertanya-tanya lagi soal fasilitas kantin utama yang enggan dibahasnya.

---

Suasana kelas 11 Ipa 1 sangat hening dan mencekam. Itu semua akan terjadi jika jam pelajaran matematika dimulai. Bukan karena pelajarannya yang terlalu rumit dijabarkan, melainkan efek bawaan guru yang mengajarnya.

Hanna cukup jengah dengan keadaan kelas yang sunyi seperti di gedung tua. Dia pun merasa muak dengan cara mengajar guru matematikanya yang teramat monoton. Hal itu sukses membuat Hanna terus menguap dan tak bisa menahan rasa kantuk yang menyerang.

Dapat dipastikan, mata Hanna sangat berat sekarang. Kalau ada kasur ajaib di dalam kelas, mungkin Hanna adalah orang pertama yang akan menempatinya. Hanna gak bisa membiarkan rasa ngantuknya semakin mendera.

"Pak!" seru Hanna mengacungkan tangan.

Pria tambun berkumis baplang di depan kelas pun menoleh seraya menatap Hanna tajam.

"Ada apa?" sahut Pak Isak--nama guru itu--ketus.

Hanna langsung berdiri di tempatnya. Bintang mendongak, mencoba untuk memperingatkan teman sebangkunya itu untuk duduk kembali. Tapi Hanna tetaplah Hanna, dia seakan gak mau ambil pusing dengan cara mengabaikan peringatan yang Bintang tunjukkan.

"Cara mengajar Bapak bikin saya cepet ngantuk, Pak! Boleh izin ke toilet?" izin Hanna terang-terangan.

Semua mata tertuju ke arahnya. Mereka takjub, baru kali ini ada murid yang berani berkata terang-terangan seperti itu di jam pelajaran Pak Isak yang terkenal dengan kegalakannya.

"Toilet?" Pak Isak membeo, dia menaikkan sebelah alis tak percaya "Tidak! Saya tidak mengizinkan kamu pergi dari kelas ini," larangnya tegas.

"Kenapa? Saya cuma mau cuci muka saja, apa salahnya? Gak ada UUD larangannya juga saya pikir!" bantah Hanna mulai kesal.

Dia ingin sekali mencabuti kumis baplangnya secara paksa.

"Saya bilang tidak, ya tidak! Cepat duduk atau saya--"

"Makasih atas izinnya!" potong Hanna berani, lalu dia melenggang menuju pintu keluar. Membuat semua murid berdecak takjub tak percaya. 

Namun hal itu tidak berlaku untuk gurunya, alih-alih takjub dia malah murka karena larangannya sudah ditentang oleh murid baru tersebut.

"JANGAN HARAP KAMU BISA MASUK LAGI DI PELAJARAN SAYA ANAK BARU!" teriak Pak Isak menggelegar namun tak dihiraukan oleh Hanna.

Gadis itu malah berjalan santai meninggalkan kelas. Sampai akhirnya ia berhenti sendiri sambil menepuk jidat.

"Mampus! Gue kan gak tau arah toilet di sebelah mana," rutuknya sesaat, tapi dia pun mengangkat bahu seraya melanjutkan langkah.

Hanna bukan orang bisu, dia bisa bertanya pada murid lain yang berkeliaran di luar kelas.

---

Hanna merasa segar setelah air dingin di dalam keran berhasil mengusir rasa kantuknya. Dia menyibakkan rambut sebahunya sekilas. Kini dia pun berjalan meninggalkan toilet, berniat untuk kembali ke kelas meski sebelumnya sudah dilarang untuk mengikuti pelajaran Pak Isak lagi.

Peduli amat! Hanna masuk buat menyerap ilmunya, kalo pun gurunya itu marah dan melaporkan ke kepala sekolah. Hanna tinggal membela diri saja dan berbicara sesuai fakta yang ada. Toh, Pak Fero juga akan mengerti jika sudah mendengarkan penjelasan Hanna.

Di tengah langkah menuju kelas, tiba-tiba seseorang dengan berani menarik tangan Hanna dan menyeret tubuh mungilnya ke belakang gedung sekolah. Sampai di sana, tangan Hanna pun dilepas.

"Apa-apaan sih--ELO?" mata Hanna membulat tatkala melihat sosok yang amat sangat dibencinya selama ini.

Dia Devano, pentolan Bimantara yang memiliki wajah tampan pujaan para kaum hawa di setiap penjuru Bimantara.

"Hai?" tangan Dev melambai, "Gue pikir kabar yang gue denger itu cuman gosip tanpa bukti, tapi setelah gue berhadapan langsung sama lo ... sekarang gue baru percaya dan...." Dev menggantungkan kalimatnya.

Ia memundurkan posisinya satu langkah sebelum akhirnya ia kembali berucap, "....Welcome to the my land, Mrs Devil!" diiringi dengan gerakan kedua tangan yang merentang lebar.

Hanna meludah muak melihatnya. Darahnya mulai mendidih naik ke ubun-ubun. Apalagi senyuman iblis yang Dev pamerkan, menyebabkan Hanna untuk ingin sekali ia menonjok rahang cowok itu sampai mengeluarkan darah segar bercucuran. 

Tapi Hanna mencoba untuk meredam keinginannya, dia harus bersabar. Ini bukan waktu yang tepat untuk melancarkan serangannya!

Kita tunggu tanggal mainnya. Gue pastiin, muka sok tampan lo itu bakal susah buat sekadar tersenyum lagi sama siapa pun! Tunggu aja pembalasan gue, iblis sialan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status