Share

6. Insiden kantin

Hanna Pov

Sendi lututku terasa hampir copot. Upacara baru saja selesai. Akhirnya, rutinitas di senin pagi yang membosankan itu berhasil kulewati juga.

Aku mendaratkan bokong di bangku kelas. Lega banget rasanya, setelah berdiri kurang lebih satu jam di bawah sengatan sinar mentari pagi yang membuat keringat mengguyur di sekujur tubuh, akhirnya selesai juga.

Bintang, teman baruku itu mencolek bahuku hingga aku menoleh.

"Kenapa, Bin?"

"Temenin ke kantin yuk, Han! Aku haus nih...."

Duh, Bintang mengajakku ke kantin di tengah rasa mager yang melanda. Ya ampun! Kalo gue nolak dia kecewa gak ya?

"Ayo dong, Han! Tenggorokan aku kering nih, masa kamu tega biarin aku kehausan kayak gini sih...." lanjutnya membujuk, tangannya kini sibuk mengguncang bahuku.

"Duh, Bin, gue--"

"Aku traktir deh," selanya cepat, mendengar kata traktir kata mager pun seolah lenyap entah kemana.

"Beneran nih?" tatapku serius.

"Iya. Kapan sih aku bohongin kamu, Han?" angguknya mantap, lalu membuat senyuman lebar terukir di bibirku.

"Ya udah deh, yuk! Tapi ... gue mau ke kantin utama ya," pintaku sudah berdiri.

"Hah? Kantin utama?" pekiknya menoleh kaget dan aku berani bersumpah, mukanya pucat pasi kayak orang yang mau dieksekusi mati.

Suer deh!

"Ayo lah, kali-kali kita ngunjungin kantin utama kan gak bakal dihukum Pak Isak juga. Lagian gue penasaran, keistimewaan yang ada di kantin utama sama kantin yang biasa kita datengin itu apa sih? Sampe-sampe ... hampir semua murid dari seluruh angkatan pada betah di sana daripada di kantin satunya lagi," ocehku menduga-duga, sungguh aku cuman pengin tahu saja lokasi kantin utama yang selalu diprioritaskan sama anak-anak Bimantara lainnya yang doyan ngabisin waktu istirahat di sana.

----

Akhirnya, setelah susah payah membujuk Bintang agar dia mau membawaku ke kantin utama, gadis bermata belo itu pun pasrah juga mengiyakan keinginanku yang sulit terbantahkan.

Jangan salahkan aku karena mempunyai sifat keras kepala dan sedikit pemaksa! Salahin saja papaku yang ganteng dan juga doyan maksa anaknya biar ini itu. Jadi, gak aneh kan kalo misalkan aku kadang-kadang suka maksain kehendak tanpa mengenal penolakan? Karena jawabannya adalah, gen pemaksa dan kepala batu itu diturunkan sendiri oleh papa tercinta. Juan Marcello Aleandro.

Dan di sinilah kami sekarang.

Duduk berdua di salah satu meja kantin yang tersisa. Well, bahkan ini hanya waktu jeda sehabis upacara selesai dan kantin utama ini benar-benar sudah padat layaknya supermarket yang lagi diserbu sama pemburu diskon besar-besaran.

Oke! Kantin ini memang lebih luas dari kantin satunya lagi, kios makanannya juga lebih banyak dan beragam. Kebersihannya pun terjamin. Bisa dibilang, kantin ini adalah surga kebersihannya Bimantara. Meskipun banyak pengunjungnya tapi mereka gak mengabaikan peraturan tertulis yang mengharuskan siapa pun yang sudah makan di kantin ini sampah secuil apapun harus dibuang ke tong sampah yang tersedia dengan bentuk sedemikian uniknya. Tanpa terkecuali!

Aku akui, kantin utama Bimantara ini memang lebih berkualitas dibanding kantin satunya lagi. Bahkan, kantin Saruna Bakti pun nyaris tertandingi.

Jadi, aku rasa wajar saja kalau anak-anak lainnya lebih betah jajan di kantin ini dari pada kantin belakang yang pertama kali aku kunjungi waktu itu.

Tapi menurutku, tetap aja sih. Walaupun kantin ini fasilitasnya lebih high class, kantin satunya lagi pun jangan sampai terlupakan begitu saja. Bener, kan?

Aku dan Bintang duduk berseberangan. Tepatnya di pojok kanan berdekatan dengan kios es krim yang salah satu dagangannya sedang aku jilati penuh hikmat.

"Enak?" tanya Bintang menatapku spechless, mungkin reaksinya sama dengan Zola ketika pertama kali melihatku menjilati es krim pemberiannya.

Duh, jadi kangen sama anak itu deh....

"Banget. Mau?" anggukku semangat lantas menyodorkan es krim cone rasa stroberry yang sudah menipis karena terus kujilati tepat ke hadapannya.

"Gak deh, makasih. Aku masih mampu beli es krim yang utuh!" gelengnya meringis sembari mendorong tanganku menjauh dari hadapannya.

Aku mengangkat bahu cuek. Mungkin ini menjijikan bagi sosok teman baru seperti Bintang Galiandra. Tapi beda cerita kalau yang ditawarinya adalah seorang Zola Abraham. Bukan penolakan yang ia tunjukkan, melainkan keantusiasannya yang langsung menyambar es krim bekas jilatanku dan melahapnya seperti gelandangan yang kekurangan asupan makanan.

Tuh kan aku bahas Zola lagi. Huft....

Aku kembali menjilati es krimku tanpa jeda. Kayaknya, Bintang gak tahan deh melihat aktifitasku yang mulai menggugah seleranya. Karena, pada saat aku sedang menikmati sisa-sisa es krim yang melumer di sudut bibir, dia pun beranjak guna memesan es krim di dalam cup yang langsung ia bayar kontan.

"Hahaha," spontan tawaku pun pecah.

"Kenapa kamu?" tanya Bintang sekembalinya duduk di seberangku.

Aku lantas menggeleng meredam tawa, "Lucu aja. Tadi pas gue tawarin, lo gak mau. Eh, lama-lama lo ngiler juga kali ya ngeliat gue sebegitu nikmatnya jilatin es krim ini. At least, lo beli deh. Tapi sayang, lo beli yang cup, padahal lebih lezat yang cone kayak gini tau...." kicauku mengerling jenaka.

Bintang hanya tertawa kecil tanpa membalas ocehanku. Lalu, dia pun segera melahap es krimnya dengan gerakan pelan. Huh, lembek amat sih si Bintang!

Di tengah kegiatan Bintang yang lagi asyik sama es krimnya serta aku yang lagi seru melihat foto-foto unyu si kembar Bara-Barie di galeri ponsel, dari kejauhan tahu-tahu aku melihat tiga orang yang cukup familiar dalam ingatanku. Salah satunya si iblis sialan yang tempo hari menyambut kehadiranku sebagai siswa baru di sekolah ini.

Siapa lagi kalau bukan Devano Abraham? Cih, jadi pengen muntah tiba-tiba nih kalau lihat mukanya yang sok kecakepan. Meski sebenarnya, dia emang mukanya beneran cakep sih.

Dan di antara mereka bertiga, ada satu orang yang berhasil membuatku menautkan kedua alis. Kalau gak salah, aku melihat lawan berkelahiku dulu saat tawuran yang berhasil kubuat babak belur sampai ia terkapar ke atas aspal.

Dia udah sembuh? Gue pikir udah lewat.

"Bin!" panggilku, Bintang lantas mengangkat muka balas menatapku.

"Kenapa?"

"Lo kenal mereka gak?" tanyaku menunjuk ke arah belakang Bintang menggunakan dagu.

Bintang sempat mengernyit tak paham, tapi kepalanya bergerak juga menengok ke belakangnya. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja tubuhnya seakan menegang. Aku gak mengerti apa yang terjadi. Tapi setahuku, sejurus kemudian Bintang pun segera membalikkan lagi kepalanya ke arahku diiringi dengan mukanya yang memucat.

What happened?

"Lo kenapa, Bin?" tanyaku menyentuh punggung tangannya.

Bintang menggeleng, "Emm ... a--aku gak a--apa-apa kok, Han...." jawabnya tergagap. Loh, kok kayak orang ketakutan gini? Dia gak habis melihat setan di siang bolong kan?

Demi mencari tahu apa yang terjadi, aku pun mencoba mencari titik kebohongan yang lagi disembunyiin teman baruku ini. Tapi rasanya terlalu sulit, karena Bintang memilih untuk menunduk terus dibanding menatapku seperti biasanya. Kayaknya ada yang gak beres, dan aku rasa, ketakutan yang Bintang rasakan ini ada hubungannya sama salah satu dari ketiga cowok songong itu.

Aku jadi penasaran!

"Han, le--lebih baik ... kita balik ke kelas aja yuk!" ajak Bintang mendadak.

Perhatianku kembali teralih saat aku sedang fokus menatap trio iblis itu sangat tajam. Bahkan si iblis Dev malah sempat tersenyum miring saat melihatku menatapnya penuh kebencian.

"Balik ke kelas?"

"Iya. Lagipula, bentar lagi juga bel masuk kan, aku gak mau kalo sampe kita telat terus diomelin sama Bu KeuKeu," ujarnya beralasan.

Bu KeuKeu itu guru Kimia yang mempunyai sifat lembut dan tegas di waktu yang bersamaan. Tatapannya selalu mengintimidasi, tapi beliau gak menyebalkan kayak Pak Isak.

Aku menghela napas sejenak, "Ya udah deh gue setuju. Lagian, gue juga udah enek lama-lama di sini...." tukasku seraya melirik ke arah meja yang dihuni sama trio iblis itu dengan sinis.

Bintang kemudian berdiri. Aku pun begitu. Namun, di saat kami sudah siap melangkah meninggalkan kantin yang mulai lenggang ini. Tiba-tiba sosok iblis Devano berdiri mengadang langkahku dan juga Bintang yang cukup terlonjak kaget karena kepalanya sempat membentur dada sang iblis.

Bintang juga ngapain harus nunduk kayak gitu sih?

"Ma--maaf, Kak ... a--aku, aku gak ngeliat ada Kakak di depan," ujar Bintang gugup tanpa mau melihat muka si iblis di hadapannya.

Aku menganga lebar. Apa-apaan? Kenapa dia minta maaf? Ya Tuhan! Ada apa dengan Bintang? Jelas-jelas cowok sialan itu yang sengaja mengadang langkah kami. Ugh!

"Its okey, gue bisa maklum kok," sahutnya tersenyum, tanpa kuduga dia pun menepuk pucuk kepala Bintang seenaknya.

Lagi-lagi aku terperangah tak percaya. Apa yang sedang kulihat sekarang, hah? Kenapa Bintang terima-terima saja kepalanya ditepuk-tepukin si tangan iblis kayak dia?

"Bin, lo apaan sih? Kenapa lo terima-terima aja kepala lo ditepukin cowok macam dia? Kehabisan obat lo?" tegurku sarkas.

Bintang mendongak menatapku melas. Sorotnya mengatakan bahwa dia ingin segera pergi dari kantin ini. Aku paham! Dan bukan cuman Bintang yang ingin segera enyah, tapi aku juga sama. Sama-sama ingin keluar dari tempat memuakkan ini!

"Ya udah, ayo kita pergi!" ajakku menarik tangan Bintang, dan ketika aku hendak melewati tubuh si iblis Dev. Tanpa kupikirkan sebelumnya, bahuku ditahan oleh tangan jahanamnya itu. Kontan, tatapanku pun terarah kepadanya.

"Keep stay in here, Mrs Devil...." desisnya menyeringai.

----

Aku melangkah penuh emosi. Kedua tanganku terkepal kuat, bahkan rasanya otakku nyaris meledak saking kebanyakan menampung amarah yang tak terlampiaskan.

"Iblis sialan," geramku mengatupkan rahang, dengan entakkan kasar aku mempercepat langkah menuju kelas.

Semoga aja Bu KeuKeu gak introgasi gue!

Akhirnya, aku sampai juga di depan kelas. Pintunya tertutup rapat dan tanpa ragu aku mengetuk pintu itu beberapa kali. Seorang wanita cantik berkacamata pun muncul di balik pintu yang baru dibukanya.

"Hanna?" sebutnya sambil menatapku dengan tegas.

"Maaf saya terlambat, Bu, tadi ada urusan sedikit sebelum ke sini," ujarku tak gentar sedikit pun, meski Bu Keukeu menunjukkan sorot intimidasi di balik kacamatanya tapi aku berusaha mengendalikan diri agar tetap terlihat tenang.

"Urusan apa? Sampai-sampai, kamu harus datang terlambat mengikuti kelas saya?" balasnya bersedekap, kepalanya pun sedikit memiring ke arah kiri.

Oke! Mungkin ini cara Bu Keukeu untuk menghadapi murid sepertiku. Dan aku paham. Lo cuma harus bersikap tenang aja, Han!

Diam-diam, aku menyemangati diriku sendiri sebelum menjawab pertanyaan guru kimiaku ini.

"Tadi ada yang coba mau jahilin saya, Bu. Saya gak bisa tinggal diam gitu aja, dan saya pikir memberikan sedikit pelajaran untuk orang itu gak ada salahnya. Jadi--"

"Kamu berantem?" tembaknya menyela dan aku akui tebakan Bu KeuKeu hampir benar--seharusnya.

Aku membuang napas kecil. Lantas menggeleng sesuai kenyataan.

"Lalu?"

"Seharusnya sih saya menghajar dia, tapi saya cuma sempat menamparnya saja. Kedatangan Pak Fero yang mengecek kantin utama keburu membuat saya terpaksa mengurungkan niat untuk menonjok hidungnya."

Bu KeuKeu menaikkan sebelah alis menatapku. Sehingga aku heran sendiri, ini kenapa kayak aku lagi curhat sama Mama, ya? Duh, bahkan sama Ibu negara aja aku jarang bertukar cerita.

Aku lantas membalas tatapannya tanpa segan. Dan tiba-tiba saja senyuman bangga pun tersungging di bibir merah pucatnya. Hey! Senyuman bangga, eh?

"Good job! Saya salut sama gadis pemberani seperti kamu. Saya pikir, brandal seperti Devano Abraham itu harus mendapat sentilan keras dari gadis seperti kamu!" lontar Bu KeuKeu dan itu sukses bikin aku tercengang.

Kok Bu Keukeu tau sih kalo orang yang gangguin gue itu si iblis sialan Dev? Padahal, gue kan gak sebutin namanya. Apa jangan-jangan guru kimia gue ini punya kemampuan menerawang dari jarak jauh lagi?

"Saya tau dari temanmu Bintang. Jangan khawatir, saya bukan vampire yang bisa baca pikiran orang gitu aja," celetuk Bu Keukeu terkekeh geli, lagi-lagi membuat aku tertegun mendengarnya.

Duh, kenapa jadi aneh gini?

"Sudahlah. Saya tidak ingin menghabiskan jam pelajaran saya dengan hanya berdiri mengobrol di ambang pintu seperti ini. Lebih baik, kamu masuk sekarang! Ikuti pelajaran saya dengan baik...." tutur Bu Keukeu kembali tegas, lalu menghelaku untuk masuk.

Aku mengerjap bodoh untuk sesaat. Tapi ujung-ujungnya langkah kakiku mengayun masuk disusul oleh Bu Keukeu yang sudah menutup kembali pintunya. Aku berjalan ke arah bangkuku dan di sana Bintang sudah menunggu dengan raut penasarannya.

"Oke class, kita masuk ke bab baru untuk pertemuan hari ini!" seru Bu Keukeu bersamaan dengan mendaratnya bokongku di kursi sebelah Bintang.

---

"Keep stay in here, Mrs Devil!"

Langkahku otomatis tertahan. Dan kini, tatapanku sedang menyorot sengit ke manik elangnya.

"Adam!" serunya memanggil sebuah nama.

Kulihat, cowok yang sedikit berjalan pincang dan di bagian keningnya ditempeli plester coklat itu pun bangkit menghampiri si iblis di hadapanku ini.

Bener! Cowok ini adalah lawan gue yang udah gue bikin KA-O di TKP tawuran waktu itu.

"Kenapa, Bro?"

"Lo urus mangsa lo! Dan biar Mrs Devil ini tetap di sini sama gue," katanya memerintah.

Mangsa? Maksudnya?

Cowok bernama Adam itu lantas mengangguk patuh. Di tengah langkahnya yang terseok, dia pun menggiring Bintang menjauhiku.

"Hey! Mau dibawa ke mana temen gue?" teriakku hendak mengejar.

"Lo stay di sini aja, Mrs Devil!" cegah sang iblis mencengkeram bahuku sedikit erat.

Terpaksa, aku pun membiarkan Bintang dibawa cowok pincang itu. Semoga aja Bintang gak dianeh-anehin sama cowok model si Adam itu!

"Mau lo apa, sih?" sentakku menatap nyalang.

"Simple, kok. Gue cuma mau berduaan aja sama lo di sini. Boleh kan?" jawabnya enteng.

Cih! Aku mendecih. Lalu membuang muka ke arah lain. Muak kalo harus lihatin mukanya yang gak bisa lepas dari seringain iblisnya.

"Panca!" suara beratnya kembali menggelegar di sepenjuru kantin yang untungnya sudah kosong ini.

"Yes, Bos?" lelaki berambut sedikit gondrong itu beranjak mendekati iblis Devano.

"Lo awasin di pintu kantin sana! Kalo ada Pak Fero, lo cepet-cepet kasih tau gue...." suruhnya bossy.

"Baik, Bos. Gue bakal jaga-jaga di pintu sana," angguk cowok itu, terus dia melenggang meninggalkan aku dan bos songongnya ini.

"And then, tinggal hanya kita berdua di kantin ini," cetusnya memiringkan kepala ke kanan. Tak lupa, smirknya selalu menghiasi bibirnya.

Aku kembali menghadapkan muka ke arahnya. Gigiku bergemerutuk menahan amarah yang mulai mendidih, tanganku bahkan sudah refleks mengepal dua-duanya.

"Terus. Kalo. Hanya. Tinggal. Berdua. Lo. Mau. Apa. Hah?" tanyaku sambil sengaja menekan setiap kata.

Si iblis sialan itu menyunggingkan senyuman devilnya. Mata elangnya menerobos menatap mataku dalam. Beberapa detik, aku sempat terhipnotis oleh tatapannya. Namun, secepat kilat aku membuang pandangan ke arah lain. Bahaya juga kalo sampai aku terbius pesonanya!

"Gue seneng. Seneng karena akhirnya lo ada di sekolahan yang sama dengan gue. Seneng karena tiap hari kita bakalan ketemu tanpa harus susah payah datengin lo ke sekolahan lama lo itu. Dan seneng karena gak lama lagi, lo bakal jadi milik gue, Mrs Devil...." kicaunya panjang lebar dan berhasil membuatku kembali menatapnya murka.

APA-APAAN?

"Sinting lo!" umpatku kasar.

Dia mendengus, "Gue sinting pun gara-gara elo yang sulit gue dapetin, Sayang. Lo selalu anggap gue musuh bebuyutan lo, padahal seperti yang kita tau ... kalau di masa lalu, gue sama lo itu--"

"CUKUP!" bentakku memotong kalimatnya yang mulai memuakkan, "Gak usah bawa-bawa masa lalu ke sini ya! Buat sekadar mengingatnya aja gue udah mau muntah tau gak? Masa lalu itu cuma cerita lama yang udah gue lempar jauh-jauh, dan apapun yang terjadi dulu ... gue pikir itu cuma salah satu ketololan gue yang harus gue sesali." paparku panjang tanpa jeda.

"Justru gue malah mau jadiin lo milik gue lagi. Menyusun kembali cerita cinta yang sempat kandas bahkan sebelum dimulai."

Kandas? Jadul amat bahasanya.

Aku mendengus kecut. Jangan harap aku mau dimiliki sama iblis kayak dia. Kasihan banget kan cowok ini, mimpi kok tinggi-tinggi amat. Gak takut jatuh?

"Jadi gimana, apa lo berminat buat balik lagi ke dekapan gue?" cetusnya menarik kembali pikiranku ke alam sadar, dan mataku terbelalak saat wajah iblisnya mendekat ke wajahku tanpa kusadari sebelumnya.

PLAAK.

Satu tamparan keras aku layangkan ke pipinya. Sehingga kepalanya terempas ke kiri saking kerasnya tamparanku barusan.

Dia bergeming. Tangannya mulai meraba pipi kanan yang meninggalkan bekas kemerahan membentuk telapak tanganku samar. Dia menggeram tertahan, lantas menghadapkan kembali wajahnya menatapku berapi.

"Elo!" serunya menunjuk wajahku.

"Bos! Ada Pak Fero lagi menuju ke sini," teriak anak buah si iblis tiba-tiba. Membuat iblis Devano lantas menurunkan telunjuknya dan berbalik melengos meninggalkanku.

Tapi sebelum dia menjauh, dia sempat menoleh dari balik pundaknya dan berkata,"Kali ini lo selamat, Mrs Devil. Tapi perlu lo ingat! Sampai kapan pun, gue gak akan pernah berhenti buat bikin lo tunduk dan kembali ke dekapan gue kayak impian gue selama ini. Ingat itu!"

Dan selepas melayangkan ancamannya, cowok berpunggung lebar itu pun berjalan ke luar kantin bersama anak buahnya tadi.

"HANNA DEVILA ALEANDRO!"

Aku terlonjak dan seketika berdiri tegak secara spontan saat nama lengkapku disebutkan lantang oleh suara yang menggelegar di depan sana.

"Maju ke depan dan selesaikan soal nomor tiga!" suruh Bu Keukeu tak mau dibantah.

Semua tatapan mengarah padaku. Dan karena aku sudah mengetahui kesalahanku apa, mau tidak mau aku pun berjalan ke depan mengambil spidol besar hitam dari tangan Bu Keukeu.

Gara-gara teringat sama insiden di kantin. Gue jadi disuruh kerjain soal di papan tulis putih ini. Duh, moga aja otak gue encer buat mecahin rumus kimia yang lumayan rumit itu.

Huft. Semangat Hanhan!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status