Gerakan mengulum dan menaik turunkan dengan mulut yang di lakukan wanita berambut panjang itu semakin cepat.
Sesekali tangannya ikut memegangi benda tumpul berurat yang sudah sangat tegang tersebut dan mengurutnya lambat-lambat, menghasilkan sensasi yang pastinya begitu memabukan untuk si empunya benda tumpul tersebut.
Dari posisinya yang duduk di lantai dan Johan yang duduk di kursinya dengan kedua kakinya yang terbuka dan celana jeans nya dengan resleting yang terbuka, ia melakukan blow job.
Di jilatinya milik Lelaki itu sambil melirik ke atas, memandang wajah Johan yang menegadah ke atas dan mata yang terpejam menahan segala rasa yang di hasilkan dari kepiawaian si wanita dalam bermain.
Namun sayang, yang kini dalam pikiran Johan, bukanlah wajah wanita yang sedang memberinya kenikmatan. Tapi wajah adik tirinya lah yang memenuhi hasrat di otaknya.
Di bayangkan wajah polos dari Adik tirinya tersebut yang duduk bersimpuh dan mengulum miliknya.
"...Lir...." ia mendesis dengan mata yang terpejam rapat-rapat, menahan luapan kenikmatan saat milik nya di sesap dan di naik turunkan oleh mulut wanita berambut panjang itu.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua, suasan sepi setelah sebelumnya tadi di ruangan sebelah mereka mengadakan rapat BEM.
"...Aku tidak mau celana ku sampai kotor..." Johan berkata.
Membuat wanita berambut panjang itu menengadahkan wajahnya ke atas untuk melihatnya tanpa menghentikan gerakannya.
Johan tersenyum, membuat wajahnya yang terukir sempurna menjadi semakin tampan.
Wanita itu tahu maksudnya, dan tanpa bicara, ia melanjutkan aktifitasnya.
Cepat dan semakin cepat gerakan naik turun dan mengulum dari si wanita berambut panjang itu, sampai pada suatu titik, Johan memegangi kepala si wanita dengan kedua tangannya dan membenamkan di antara kedua pahanya yang terbuka.
Wanita itu tersedak dan terbatuk saat cairan putih hangat keluar dengan begitu banyak dan memenuhi rongga mulutnya.
Johan langsung mendorong kepala si wanita agar menjauh dari nya, si wanita jatuh terduduk dengan Wajah dan matanya yang memerah dengan sudut-sudutnya yang mengeluarkan air mata.
Ia mengelap ujung bibirnya yang tersisa cairan milik Johan dengan punggung tangannya.
"Kau mengotori celana ku." Johan berkata tanpa emosi. Di lap celana jeans nya yang terkena beberapa tetes cairan putih miliknya sendiri dengan tisu yang selalu tersedia dalam kotak di atas meja nya.
Kening wanita itu berkerut, padahal ia sudah setengah mati menelan cairan putih dengan rasa asin tersebut.
Johan bangkit dari duduknya di ikuti si wanita.
" Lain kali jangan di sini." Johan berkata membelakanginya sambil merapikan baju nya.. "Aku tidak mau repotasi ku tercoreng karena ulah jalang mu." Lanjutnya.
"Aku cemburu melihat gadis itu !" Wanita berambut panjang itu berkata dengan nada sarat akan emosi.
Johan langsung menoleh ke arahnya.
"Walaupun dia adikmu, tapi aku tetap tidak suka kau bisa bersikap begitu manis saat bersamanya..." ucapnya sambil membuang begitu saja tisu yang baru saja ia gunakan untuk membersihkan kedua tangannya dari sisa-sisa cairan yang menempel.
"Kau mau cemburu atau apa pun itu terserah," Johan berkata sambil memandangnya dingin. " Asal kau jaga mulut mu agar tidak mengatakan hal yang tidak perlu pada nya, Sonia."
Wajah wanita bernama Sonia itu memerah dengan kening yang semakin berkerut. Namun ia tak berani membantah atau berkata apa pun.
"Bilang pada Ketua BEM Fakultas masing-masing, aku memberikan ijin untuk menyuarakan aspirasi mereka ke Gedung Pemerintahan." Johan berkata sambil mencangklong tas warna hitam nya di bahu sebelah kanan.
"Suasan sedang tidak kondusif, kalau Kampus kita ikut-ikutan turun ke jalan, bukankah malah semakin ricuh..??" Sonia berkata. "Di rapat tadi juga kau sudah menolak, kenapa sekarang malah setuju...??" Ia tak mengerti.
Senyum samar tersungging di sudut bibir laki-laki berusia 23 tahun itu. "Aku berubah pikiran." Jawabnya singkat, lalu keluar dari ruangannya.
Cepat-cepat Sonia mengambil tas nya yang berada di kursi dan berjalan keluar mengikuti Johan.
"Coba pikirkan lagi, kalau ada apa-apa kau yang akan di salahkan karena sudah memberi ijin." Sonia berjalan beriringan dengan Johan melewati lorong lantai 3.
"Tidak masalah kalau mau menyalahkan." Johan berkata santai. "Asal aku bisa melihat beberapa dari kalian terkena gas air mata atau tertembak dengan peluru karet, tidak masalah aku di salahkan." Johan berkata dalam hati.
Dengan membayangkan teman-teman sekampusnya itu mengerang kesakitan dalam upaya memperjuangakn aspirasi mereka di tengah kebijakan Pemerintah yang kontrofersial itu membuat darah Johan bergolak dan hampir-hampir wajah gila nya tidak bisa ia sembunyikan.
Ia memejamkan matanya sesaat, "Baru membayangkan saja sudah sebahagia ini..." ucap nya dalam hati.
Mereka berjalan menuruni tangga dan sampai di koridor lantai 2 yang mengarah langsung ke lapangan di mana kegiatan Para mahasiswa baru sedang berlangsung.
"Bukankah itu adik mu...?" Sonia mengehentikan langkahnya.
Johan melihat di mana mata Sonia mengarah. Ia mencengkeram pagar pembatas dengan kedua tangannya kuat-kuat saat melihat Lira yang sedang duduk berdua dengan Andreas di bangku tidak jauh dari lapangan.
Johan bisa melihat wajah Lira yang tertawa mendengar guyonan atau entah apa yang di lontarkan oleh Laki-laki dengan wajahnya yamg mirip orang asing tersebut.
"Adikmu itu sudah besar, biarkan saja dia." Sonia berkata saat melihat wajah Johan yang menegang.
Ia mengeram dan menatap Sonia tajam. "Tidak ada yang boleh dekat-dekat dengan Adikku !" Bentaknya membuat Sonia kaget.
Tanpa menunggu reaksi dari wanita berambut lurus itu, Johan pergi meninggakkannya.
"Mau sampai kapan penyakit sister complex nya itu di pelihara...??" Sonia mendengus kesal.
Johan berjalan cepat menuruni anak tangga menuju lantai bawah, dan terus berjalan lulus menuju lapangan yang biasanya di gunakan untuk sepak bola tanpa melihat kanan dan kiri.
Pikiranya hanya tertuju pada Adik nya.
Di lihatnya dari kejauhan Lira yang masih duduk berdua dengan Andreas. Bisa di lihatnya wajah Adiknya yang semakin cantik dengan rona kemerahan di pipinya. Menambah panas hatinya.
"Lir, ayo kita pulang !" Ajak Johan begitu sampai di dekat mereka.
Lira terkejut melihat Kakaknya datang, tapi tidak untuk Andreas yang masih bersikap biasa saja dan memainkan permen cupa cup nya yang kali ini berwarna kuning rasa jeruk.
"...Bukannya Kakak masih ada kelas...??" Tanya Lira akhirnya setelah ia sempat terdiam karena terkejut.
"Pokoknya ikut Kakak pulang !" Johan berkata dengan nada lebih tinggi.
Acara OSPEK memang telah selesai dari 30 menit lalu.
"Ta, tapi Kak...aku sedang menunggu temanku untuk pulang bersama..." Lira berkata sambil memandang Kakanya.
Wajah Johan mengelap. "Kau kuliah untuk belajar, bukan untuk mencari teman !" Johan berkata dengan nada bicara sarat akan emosi.
"Tapi Kak...aku..." mata Lira sudah berkaca-kaca. Ia malu di bentak seperti itu oleh Kakaknya di depan Andreas.
"Kau sudah berani membantah omonganku Lir ?!" Kembali suara Johan yang keras terdengar.
"Dia sudah besar, kenapa kau memperlakukannya seperti anak kecil...?" Andreas berkata santai sambil mendongkak kan wajahnya menatap Johan yang berdiri di dekatnya.Johan memandang Lelaki berwajah oriental dengan mata sipit dan kulit putihnya yang tengah duduk dengan kaki kananya yang terangkat di paha kiri dan sedang mengulum permen itu."Tuan muda juga mau ikut campur urusan orang...??" Bibir Johan tersenyum kaku dengan nada bicaranya yang berkesan meremehkan.Andreas membuang muka sesaat dan terkekeh. Ia tahu Johan memanggilnya Tuan muda hanya untuk mengejek nya."Jangan seperti itu Kak, Kak Andreas sudah berbaik hati menemani menunggu temanku..." Lira merasa tak enak. Ia berdiri di tengah Johan dan Andreas yang masih duduk santai di tempatnnya."Kenapa nggak bilang kalau
Tidak." Johan menjawab singkat tanpa mengalihkan pandanganny dari depan dan tetap berkonsentrasi menyetir.Reflek Lira pun menoleh ke arah Kakaknya yang sedang menyetir di sampingnya."Kenapa Kak...??" Anya tampak kecewa. "Katanya nggak punya pacar, aku jadi pacar Kakak saja..." nada bicara Anya terdengar manja.Johan terkekeh tanpa melihat ke arahnya.Anya tersenyum lebar melihat wajah Seniornya yang tertawa kecil itu."Mau yaa...??" Kembali ia berkata sambil tetap dalam posisi tubuh nya condong ke depan dan memandag Johan penuh pemujaan.Laki-laki dengan alis tebal dan wajah malaikatnya itu terdiam memandang lurus ke depan dengan bibir nya mengulas senyum tipis."Agresif sekali ternyata Anya..." Lira berkata
Tak lama mereka telah duduk di sebuah Cafe yang berada di dalam Mall tersebut. Cafe yang terkenal dengan berbagai jenis Kopi Nusantaranya itu memang terkesan sepi dengan sedikitnya pengunjung yang duduk di situ, padahal saat ini sedang jam makan siang yang identik dengan penuh nya Tempat makan.Bukan karena Cafe tersebut tidak terkenal, tapi karena Cafe tersebut merupakan salah satu Cafe ekslusif yang tentu membuat pengunjung berpikir 2 kali untuk masuk, mengingat harga 1 gelas kopi nya saja bisa mencapai 80.000 rupiah."Kalian sering yaa makan di sini...?" Anya berkata basa-basi saat Johan dan Lira sedang membuka 1 buku menu untuk di baca berdua."Kadang-kadang..." Johan menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari buku menu."Pemiliknya teman baik Papa, dulu kami sering di ajak ke sini waktu awal-awal
Ada di mana..?Kenapa nggak ikut kelas ??" Suara wanita terdengar dari dalam ponsel milik Johan yang ia tempelkan di telingan."Kalau kau menelpon ku hanya untuk bertanya hal nggak penting seperti itu, akan aku tutup." Johan menjawab dengan nada santai.Ia berdiri bersandar pada tembok di sisi Mall yang tidak terlalu ramai dengan orang-orang.Beberapa wanita yang berjalan melewatinya melirik atau bahkan menoleh ke arahnya, hanya sekedar mengagumi fisik rupawan dengan postur ideal yang di miliki Laki-laki berusia 23 tahun dengan alis tebal dan rambut lurus nya itu."Jo !" Suara wanita dari dalam ponsel mengeras. "Sudah bertahun-tahun, tapi aku tetap nggak pernah kau anggap setelah semua yang aku lakukan padamu..??" dari nada bicaranya seolah tak percaya.Wajah Johan tampak malas, ia m
Saat Johan dan Lira sampai di ruang tengah yang luas dengan kursi-kursi besarnya yang terbuat dari akar pohon dengan lapisan empuk di dudukannya dan bantal-bantal kursi dengan cover nya yang bergaya bohemian.Di situ telah duduk Seorang laki-laki berusia sekitar setengah abad yang tampak begitu berwibawa dengan kaos polos biru berkerah nya.Di kursi lainnya duduk pula seorang wanita seusianya,dengan rambut panjangnya yang tergelung rapi tengah tersenyum ke arah mereka."Mamah...??" Wajah Lira seperti tak percaya.Wanita yang ternyata adalah Ibu nya itu bangkit dari duduknya dan merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum."Apa kabar Lir...?" ucap Liana dari kejauhan.Senyum di wajah Lira langsung merekah. Ia berlari menghambur ke arah wanita itu dan memelukny erat."Kangen banget aku..." ucap nya sambil memandangi wajah wanita yang tela
Malam di Rumah Keluarga Prawira yang bergaya ernik-modern begitu sunyi kendati di luar Rumah terdapat banyak Satpam dan Bodyguard yang berjaga.Di dalam kamarnya yang gelap, Johan terbaring telentang dengan mata nya yang menatap nyalang langit-langit kamarnya.PLAAKK !!Tamparan Ayahnya tadi padanya membayang dalam ingatannya."Kenapa nilai mu bisa turun ?!" Dari pada bertanya, kata-kata Ayahnya tadi sebelum tidur terdengar seperti bentakan.Saat itu Johan berada di ruang kerja Ayahnya. Dan di situ hanya ada mereka berdua. Ayahnya tadi yang memanggilnya. Dan Johan tahu, pasti Ayahnya akan memanggil ke ruang kerjanya, di saat Ibu tiri dan Adik tirinya Lira sudah masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Seperti yang sudah Johan duga, pagi harinya Ayahnya telah heboh melihat sangkar burung Jalak Bali nya yang telah kosong."Kalau kau tidak lupa mengunci nya, kenapa pintu kandang bisa terbuka dan burug itu hilang ?!" Wajah Aji merah padam dengan mata melotot memarahi Pelayan Laki-laki yang bertugas mengurus burung-burung kesayangannya."Ta, tapi saya benar-benar sudah menutup nya Tuan..." Lelaki berperawakan kecil itu berkata takut-takut."Alasan !" bentak Aji makin emosi."Maaf kan saya Tuan..." Pelayan itu langsung menunduk memohon. Ia sangat takut jika seandainya Tuan nya itu meminta ganti rugi atas hilang nya Burung seharga jutaan rupiah itu.Johan yang sedang duduk di meja makan bersama Lira dan Ibu tirinya itu makan dengan santai, seolah apa yang kini ia den
"...Ka...Kak..." Wajah laki-laki berambut cepak itu memerah, nafasnya sudah satu-satu. Berkali-kali ia menepuk-nepuk matras agar Johan menyudahi cekikan pada lehernya.Sedetik kemudian mata Johan membulat dan melepaskan Juniornya itu yang langsung berguling dan terbatuk-batuk."Maaf, tadi aku melamun." Johan bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Juniornya tersebut bangkit."Nggak apa-apa Kak..." Lelaki berambut cepak itu berkata. Walaupun jelas sekali jika tadi ia sangat kesakitan dan hampir kehabisan nafas.Kedua orang itu mundur dengan jarak cukup, dan membungkuk secara bersamaan sebagai tanda berakhirnya pertandingan mereka, yang kemudian di gantikan oleh pasangan tanding lain."Mana Rendy...?" tanya Johan sambil meminum air mineral dan menyeka kerin