“ Istri lo mau melahirkan, kenapa lo malah pingsan di sini sih?” Haidar mengguncang- guncangkan tubuh Keanu yang limbung setelah mendapat panggilan dari ruang UGD soal istrinya yang mengalami kontraksi sebelum jadwal operasi dilakukan. Tapi setelah menjelaskan telepon yang diterimanya, dia malah jatuh ke lantai dan hampir tak sadarkan diri.
“ Gue kok takut ya?”
Haidar mendengus geli melihat wajah sahabatnya saat ini. Keanu sungguh menyebalkan dengan wajah konyolnya itu. “ Dokter bakal ngasih Tiara obat pereda kontraksi. Operasinya akan dilakukan sebentar lagi. Mending lo bersiap deh,” ucapnya yang sempat menelpon bagian UGD dan menanyakan soal kabar Tiara.
Keanu hanya mengangguk dan kembali duduk di kursinya dengan tatapan kosong. “ Gue harus masuk ke dalam juga nggak menurut lo?” tanyanya dengan wajah polos.
“ Lo udah diskusiin sama istri lo soal itu belum?” tanya Haidar balik. Entah kenapa ia m
Terkadang waktu menjadi obat yang paling ampuh untuk melupakan. Seiring berjalannya waktu dan kelapangan hati untuk mengikhlaskan seseorang yang telah bahagia, maka hati pun ikut merasa lega. Seolah segala beban dan sesak itu menghilang.Haidar menikmati kopi amerikanonya sembari menatap ke luar jendela. Hujan baru saja reda setelah hampir dua jam membasahi bumi. Ia pun telah menghabiskan dua gelas kopi demi membunuh waktu secara perlahan. Sudah beberapa bulan ini, menghabiskan waktu di kafe menjadi kegiatan libur kerjanya. Walau sendirian, ia merasa nyaman. Terlihat menggenaskan memang, tak jarang Keanu mengejeknya... tapi ia tidak peduli.Matanya menangkap sosok yang baru saja turun dari mobil. Lalu pria yang dilihatnya itu berjalan menuju pintu penumpang dan membukakaknnya. Dia memapah wanita dengan perut yang membuncit dan tampak kesusahan untuk berjalan sendirian. Keduanya saling melempar senyum sebelum berjalan masuk ke dalam kafe. Mereka duduk tak jauh dari meja
Abizar menjatuhkan data pasien yang digenggamnya. Matanya berkaca-kaca seketika. Degup jantungnya terasa begitu cepat. Tangannya seketika bergetar saat melihat foto pasien itu yang sangat mirip dengan mendiang istrinya, Adelia. Tapi dengan nama yang berbeda. Juga rambut wanita itu yang lurus dengan warna hitam, berbeda dengan rambut mendiang istrinya yang bergelombang dengan warna kecoklatan. Tapi wajahnya sangat mirip sampai Abizar seakan sulit membedakannya. Ia pun memilih untuk memungut data pasien itu dan ditutupnya langsung. Meski degup jantungnya masih sangat terasa.Abizar merasa harus memastikannya. Jika wanita itu memanglah hanya kebetulan mirip dengan mendiang istrinya. Seketika ia terdiam. Lalu kenapa jika di
Selang satu bulan setelah pernikahan Shanum dan Abizar, mereka belum sama sekali pergi bulan madu karena keterbatasan waktu cuti. Meski Abizar pemilik rumah sakit tempatnya bekerja tapi Shanum sama sekali tidak ingin semena-mena dengan kekuasaan yang keluarga suaminya miliki. Ia tetap mengikuti peraturan yang ada di rumah sakit termasuk jatah cuti dan jadwal cuti yang harus bergiliran dengan dokter lain.Tadinya Shanum sudah tidak berminat lagi dengan bulan madunya. Toh ia sudah selalu bersama Abizar. Mereka sudah melakukannya dengan sering. Bulan madu baginya hanya perbedaan tempat saja saat 'melakukan' hal yang biasa dilakukan pengantin baru.
Shanum mengerjapkan matanya saat mendengar suara alarm berbunyi. Ia pun membuka matanya dan berusaha memfokuskan pandangannya. Kepalanya menoleh pada Abizar yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya untuk memindahkan tangan kekar Abizar yang memeluk pinggangnya.Jam masih menunjukkan pukul empat dini hari. Shanum memang terbiasa bangun jam segini. Apalagi semenjak menikah dan sering melakukan aktifitas ranjang bersama suaminya. Ia tentu harus mandi wajib ditambah menyiapkan sarapan untuk sang suami. Merepotkan? Tidak. Karena ini adalah ibadah seumur hidup bagi Shanum. Dan ia melakukannya dengan ikhlas.
Haidar menghela nafas dan mengaduk-aduk matchiato latte-nya dengan tatapan kosong ke luar jendela cafetaria yang berada di lantai sepuluh. Dari sini ia bisa melihat pemandangan kota Jakarta dan hiruk pikuk kemacetan di jalan raya. Dirinya sedang tak bersemangat setelah dinas malam yang terasa panjang dan melelahkan. Ditambah hubungannya dengan Meta yang masih stuck dan belum ada perkembangan apapun. Apalagi untuk meyakinkan kedua orangtua Meta jika dirinya bisa menjadi imam yang baik untuk Meta, rasanya akan sangat sulit. Belum meyakinkan saja ia sudah ditolak mentah-mentah.Lagipula apa yang salah dengan status duda? Hanya pernah menikah sebelumnya bukan berarti ia imam yang buruk kan? Jika memang sudah jalannya untuk
Kevin terus menggenggam tangan Camelia yang terasa dingin bahkan pasca dua jam kuretase yang ke sekian kalinya. Kuretase itu mengeluarkan harapan yang tumbuh dalam diri Camelia tanpa tersisa. Sudah hampir tujuh tahun ini dan mereka masih sering mengalaminya. Karena tumor jinak yang Camelia miliki di rahimnya membuat wanita itu tak bisa hamil. Atau tepatnya, kehamilannya sulit berkembang. Terkalahkan oleh tumor yang besarnya sekepalan tangan balita.Perlahan kedua kelopak mata Camelia mengerjap. Wanita itu kemudian membuka matanya perlahan. Tatapannya tampak kosong, tangannya memegangi perutnya yang terasa rata seperti kehilangan sesuatu yang beberapa bulan ini menemaninya dari dalam sana, hingga setitik air mata jatuh d
"Num. Sibuk gak?" tanya Keanu yang tahu-tahu membuka pintu ruangan Shanum. Membuat Shanum sedikit terkejut karena tadinya ia sedang menuliskan buku rekam medis milik pasien terakhirnya."Mas ih! Salam dulu kek. Bikin kaget aja." Shanum malah menggerutu. Untung saja jantungnya sangat sehat.Keanu malah tersenyum geli." Assalamualaikum." Ia pun menuruti keinginan sahabatnya itu."Waal
Sepulangnya Shanum dan Abizar ke rumah, mereka langsung beristirahat demi menjaga stamina untuk perjalanan panjang besok malam."Mas mau dibuatin kopi?" tanya Shanum saat melihat Abizar sedang duduk bersandar di ranjangnya."Gak usah, sayang. Lagian nanti jadi gak bisa tidur cepat. Kita kan besok mau perjalanan panjang.""Iya juga sih." Shanum pun beranjak menuju lemarinya dan menga