Shanum mengerjapkan matanya saat mendengar suara alarm berbunyi. Ia pun membuka matanya dan berusaha memfokuskan pandangannya. Kepalanya menoleh pada Abizar yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya untuk memindahkan tangan kekar Abizar yang memeluk pinggangnya.
Jam masih menunjukkan pukul empat dini hari. Shanum memang terbiasa bangun jam segini. Apalagi semenjak menikah dan sering melakukan aktifitas ranjang bersama suaminya. Ia tentu harus mandi wajib ditambah menyiapkan sarapan untuk sang suami. Merepotkan? Tidak. Karena ini adalah ibadah seumur hidup bagi Shanum. Dan ia melakukannya dengan ikhlas.
Wanita yang hampir berumur dua puluh enam tahun itu kemudian beranjak dan menyingkap gorden rumahnya yang menampilkan langit yang masih kebiruan. Ia lalu masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Baru setelah itu ia membangunkan Abizar.
"Hmmm. Lima menit lagi," ucap Abizar dengan suara parau saat Shanum mengusap-usap kepalanya dan memanggil namanya seperti biasa. Cara wanita itu memang sangat lembut untuk membangunkan suaminya. Shanum tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai membentak meski ia kesal setengah mati dengan suaminya sendiri.
"Iya tapi bangun dulu. Mandi sama solat subuh jamaah. Hayuk. Nanti tidurnya lanjut lagi. Kan kamu dinas siang," ucap Shanum yang masih berusaha untuk lembut.
Abizar perlahan membuka matanya dan tersenyum ke arah Shanum." Kamu kan juga dinas siang. Mending kelonan dulu." Ia malah menarik Shanum hingga terjatuh ke atas tubuhnya.
Shanum berusaha bangkit lagi tapi pelukan Abizar terlalu erat." Ih! Mas mah. Kan semalam sudah. Dua ronde malah. Kurang?" tanyanya dengan gemas. Abizar malah mengangguk-anggukan kepalanya. Membuat Shanum akhirnya pasrah terbaring di atas tubuh suaminya.
...........
"Sudah Bunda bilang, jangan pernah berurusan lagi dengan duda itu. Meskipun dia masih muda dan tidak punya anak. Tetap saja. Bunda gak suka," ucap Resita, Ibu dari Meta ketika melihat anaknya diantar pulang oleh Haidar. Pria yang dua bulan lalu sempat datang ke hadapan ia dan suaminya. Sebelumnya Meta sudah bercerita soal Haidar juga statusnya. Hal itulah yang memberatkan mereka.
"Kenapa sih, Bun? Mas Haidar tuh pria baik."
"Pria baik kok bercerai sama istrinya? Terus menikah siri lagi. Lalu istrinya meninggal juga. Kamu mau kena sial? Jelas-jelas pria itu membawa sial, Meta. Kamu itu dokter, kamu cantik. Kamu bisa mendapat yang jauh lebih baik lagi," ucap Resita seakan tak terbantahkan.
"Tidak adil jika melihat seseorang hanya dari statusnya, Bun. Dia juga pasti gak ingin melakukan semua itu. Tapi kalo takdir bagaimana?" Meta merasa Ibunya terlalu berlebihan. Padahal apa salahnya menikah dengan duda?
"Terserah. Sana masuk ke kamarmu. Awas saja jika kamu masih berhubungan dengan pria itu. Bunda akan jodohkan kamu dengan anak teman bunda."
"Ini bukan jaman Siti Nurbaya, Bun!" pekik Meta tak suka dan langsung berlari melalui anak tangga menuju ke kamarnya. Ia benar-benar tidak suka saat orangtuanya terlalu ikut campur dengan kehidupannya. Padahal ia sudah rela untuk kuliah kedokteran dan menjadi dokter gigi demi memenuhi keinginan orangtuanya. Tapi sepertinya semua belum cukup. Mereka masih mengaturnya seperti anak kecil. Padahal umurnya sudah dua puluh lima tahun.
Meta berjalan menuju jendela kamarnya dan membukanya. Ia melihat Haidar melambaikan tangan ke arahnya dan tersenyum seperti biasa. Hal itu memang sering Haidar lakukan akhir-akhir ini karena pria itu tak bisa mengantarkannya sampai di depan rumah. Jadi Haidar akan menunggu terus di sana sampai Meta membuka jendela kamarnya demi memastikan wanita itu sudah sampai dengan selamat. "Pria sebaik Haidar mana mungkin sifatnya buruk. Ia hanya berada dalam situasi yang buruk dulu."
...........
Wanita berambut hitam lurus itu berteriak kesakitan saat sesuatu di dalam perutnya terasa begitu mencengkeramnya. Sangat nyeri sampai ia tidak bisa berdiri lagi. Ia pun jatuh terduduk di lantai dengan darah yang mengalir dari bagian pangkal pahanya. "Mas! Mas Kev!" Ia berteriak sekuat tenaga di sela rasa sakitnya.
Tak lama derap langkah kaki yang cepat terdengar mendekat ke tempat wanita itu. Pria berkulit putih dengan mata tajam dan rambut hitam itu terkejut melihat istrinya sudah terkulai lemas dengan darah di bawahnya." Astaga, Mel. Kita harus ke rumah sakit sekarang." Ia langsung membopong Camelia masuk ke dalam mobilnya. Dengan panik ia mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat." Kamu bertahan sayang."
Camelia menggeleng-gelengkan kepalanya menahan sakit yang terasa di bagian bawah perutnya." Sakit, Mas. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengan anak kita."
"Jangan bilang begitu. Semua pasti baik-baik aja."
Tak lama mereka pun sampai di salah satu rumah sakit terdekat dari rumah mereka. Rumah sakit yang tak terlalu besar dan kurang lengkap tapi hanya ini harapan Kevin satu-satunya. Yang terpenting adalah istrinya mendapat penanganan pertama dulu.
Camelia pun dibawa ke ruang UGD. Kevin hanya bisa menunggu di luar sembari berharap dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada istri dan calon anak mereka yang sudah mereka nanti-nanti sejak tujuh tahun yang lalu. Kevin mencoba menghubungi kedua orangtuanya tapi tidak ada yang angkat. Padahal hari masih sore, seharusnya mereka tahu jika ia menghubungi." Mereka sudah tidak peduli kah?" Ia menggenggam dengan kesal ponsel di tangannya. Ingin ia membanting benda pipih itu sekarang juga tapi ia masih membutuhkannya.
Keluarga istrinya? Tidak ada. Camelia anak sebatang kara yang tinggal dari panti asuhan. Mereka dulu bertemu di kampus dan akhirnya jadian sampai menikah. Meski orangtua Kevin tak suka jika Kevin menikah dengan gadis yang tak jelas asal usulnya. Tapi Kevin membuktikan jika pilihannya akan membuatnya bahagia.
Sayangnya keluarganya seakan mengutuk Kevin dan Camelia. Sampai mereka sangat kesulitan memiliki buah hati. Beberapa kali Camelia selalu keguguran di bulan pertama kehamilannya. Baru sekarang kehamilan Camelia bertahan hingga usia kandungan ke lima. Tapi tentu itu bukanlah dari sumpah serapah keluarganya melainkan penyakit tumor jinak atau miom yang istrinya derita. Sehingga ia kesulitan untuk mengandung. Beberapa kali kandungannya kalah dengan tumornya. Maka saat ini Kevin berharap jika calon anaknya bisa lebih kuat dari tumor itu.
Camelia sangat takut dengan operasi sehingga Kevin sangat sulit membujuk istrinya untuk operasi pengangkatan tumor. Sedikit kecewa, karena Kevin menganggap Camelia lebih mementingkan dirinya tak memiliki keturunan dibanding berkorban sedikit untuk melakukan operasi.
Lama Kevin sibuk dalam pikirannya sendiri, seorang pria berjas putih keluar dari ruang UGD dan menyebut nama Camelia. Kevin pun segera bangkit dan menghampirinya." Bagaimana keadaan istri saya, dok?"
"Maafkan kami. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya. Tumornya sudah terlalu besar. Lebih baik segera operasi pengangkatan sebelum tumor itu semakin ganas dan menjadi kanker. Karena resikonya bisa lebih fatal."
Dunia Kevin seketika runtuh. Entah sudah ke berapa kalinya ia mendengar soal gugurnya calon anak-anaknya. Ia jatuh terduduk seketika dengan perasaan hancur. Seandainya Camelia sedikit saja memenuhi permintaannya, mungkin mereka sudah memiliki buah hati saat ini dan keluarganya lebih bisa menerima pernikahannya. Karena keluarganya sudah sangat menginginkan seorang cucu.
"Operasi kuretase akan dilaksanakan sebentar lagi. Anda bisa segera menemuinya nanti di ruang perawatan," ucap dokter itu lagi sebelum meninggalkan Kevin serta serakan-serakan harapannya yang baru saja hancur.
Haidar menghela nafas dan mengaduk-aduk matchiato latte-nya dengan tatapan kosong ke luar jendela cafetaria yang berada di lantai sepuluh. Dari sini ia bisa melihat pemandangan kota Jakarta dan hiruk pikuk kemacetan di jalan raya. Dirinya sedang tak bersemangat setelah dinas malam yang terasa panjang dan melelahkan. Ditambah hubungannya dengan Meta yang masih stuck dan belum ada perkembangan apapun. Apalagi untuk meyakinkan kedua orangtua Meta jika dirinya bisa menjadi imam yang baik untuk Meta, rasanya akan sangat sulit. Belum meyakinkan saja ia sudah ditolak mentah-mentah.Lagipula apa yang salah dengan status duda? Hanya pernah menikah sebelumnya bukan berarti ia imam yang buruk kan? Jika memang sudah jalannya untuk
Kevin terus menggenggam tangan Camelia yang terasa dingin bahkan pasca dua jam kuretase yang ke sekian kalinya. Kuretase itu mengeluarkan harapan yang tumbuh dalam diri Camelia tanpa tersisa. Sudah hampir tujuh tahun ini dan mereka masih sering mengalaminya. Karena tumor jinak yang Camelia miliki di rahimnya membuat wanita itu tak bisa hamil. Atau tepatnya, kehamilannya sulit berkembang. Terkalahkan oleh tumor yang besarnya sekepalan tangan balita.Perlahan kedua kelopak mata Camelia mengerjap. Wanita itu kemudian membuka matanya perlahan. Tatapannya tampak kosong, tangannya memegangi perutnya yang terasa rata seperti kehilangan sesuatu yang beberapa bulan ini menemaninya dari dalam sana, hingga setitik air mata jatuh d
"Num. Sibuk gak?" tanya Keanu yang tahu-tahu membuka pintu ruangan Shanum. Membuat Shanum sedikit terkejut karena tadinya ia sedang menuliskan buku rekam medis milik pasien terakhirnya."Mas ih! Salam dulu kek. Bikin kaget aja." Shanum malah menggerutu. Untung saja jantungnya sangat sehat.Keanu malah tersenyum geli." Assalamualaikum." Ia pun menuruti keinginan sahabatnya itu."Waal
Sepulangnya Shanum dan Abizar ke rumah, mereka langsung beristirahat demi menjaga stamina untuk perjalanan panjang besok malam."Mas mau dibuatin kopi?" tanya Shanum saat melihat Abizar sedang duduk bersandar di ranjangnya."Gak usah, sayang. Lagian nanti jadi gak bisa tidur cepat. Kita kan besok mau perjalanan panjang.""Iya juga sih." Shanum pun beranjak menuju lemarinya dan menga
Sekitar tengah malam, Abizar dan Shanum baru sampai di Labuan Bajo. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan mobil beserta supir yang sudah mereka pesan sebelumnya. Mereka pun dibawa ke Mohini Resort, salah satu tempat penginapan yang berada tak jauh dari pantai dan bukit. Meski malam hari, Shanum tahu jika pemandangan di sekelilingnya sangatlah indah.Aroma pantai.Angin malam.Mem
Bulan madu Shanum dan Abizar berlalu begitu cepat. Mungkin benar kata orang, apapun hal bahagia di dalam hidupmu terasa berlalu sangat cepat. Lain jika sebuah rasa sakit dan sedih, pasti terasa lama sekali hari berjalan karena sibuk meratapi kekecewaan seperti yang Haidar alami kini.Sejak hubungannya dengan Meta yang tak berjalan mulus, Haidar memilih untuk bekerja lebih keras di bagian penyakit dalam. Bahkan seringkali ia tak pulang ke rumah hanya demi bekerja. Karena jika di rumah pun, ia hanya akan merasa kesepian karena tidak ada satu pun orang yang menyambutnya di rumah.
Siang harinya...Setelah menyelesaikan konsultasi dengan pasien terakhirnya, Shanum segera keluar dari ruangannya. Ia hampir saja terjungkal karena kaget saat membuka pintu ruangannya, Abizar berdiri di sana dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. "Mas, ngagetin tahu!" Ia memegangi dadanya yang berdegup cepat.Abizar hanya diam kemudian menarik tangan Shanum dan masuk lagi ke dalam ruangan istrinya yang telah kosong itu dan menutup pintunya. Perawat yang mendampingi Shanum praktek juga sudah kelur lebih dulu.
Haidar menatap Meta yang kini duduk di depannya. Tadinya ia dan wanita itu memang tidak berniat untuk bertemu apalagi duduk berdua lagi seperti ini. Rasanya terlalu sakit untuk Haidar melakukannya lagi, seakan mengulang kisah lama mereka. Sayangnya kini Meta sudah menerima perjodohannya dengan pria pilihan orang tuanya. Itu berarti hubungan mereka berdua juga sudah berakhir.Namun saat sedang berada di sebuah cafe, tiba-tiba Haidar tak sengaja berpapasan dengan Meta yang baru saja memesan matcha latte favoritnya. Wanita itu akhirnya mengajak Haidar untuk bergabung."Apa kabar?" tanya Meta yang berbasa-basi. Meski ia sadar jika kehadi