Share

4- Kehilangan Harapan

Kevin terus menggenggam tangan Camelia yang terasa dingin bahkan pasca dua jam kuretase yang ke sekian kalinya. Kuretase itu mengeluarkan harapan yang tumbuh dalam diri Camelia tanpa tersisa. Sudah hampir tujuh tahun ini dan mereka masih sering mengalaminya. Karena tumor jinak yang Camelia miliki di rahimnya membuat wanita itu tak bisa hamil. Atau tepatnya, kehamilannya sulit berkembang. Terkalahkan oleh tumor yang besarnya sekepalan tangan balita.

Perlahan kedua kelopak mata Camelia mengerjap. Wanita itu kemudian membuka matanya perlahan. Tatapannya tampak kosong, tangannya memegangi perutnya yang terasa rata seperti kehilangan sesuatu yang beberapa bulan ini menemaninya dari dalam sana, hingga setitik air mata jatuh dari sudutnya. "Maaf." Hanya kata itu yang bisa Camelia ucapkan saat kepalanya menoleh dan mendapati Kevin menatapnya dengan rasa bersalah." Dia kalah lagi."

Kevin menggelengkan kepalanya, berusaha kuat di atas rasa sakit dan kecewanya." Tidak apa-apa. Dia sudah tenang dengan saudaranya yang lain di sana."

Camelia terdiam, menggenggam balik tangan Kevin yang sedari tadi menggenggamnya.

"Dokter bilang tumormu semakin besar. Apa tak sebaiknya kita melakukan operasi? Aku bisa saja menandatangani surat ijin operasi saat kamu tak sadar tadi. Tapi aku tak melakukannya karena masih menghargai keinginan juga rasa takutmu, sayang." Kevin menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah istrinya.

Camelia terisak. Bukan tanpa alasan ia takut dengan operasi apalagi operasi besar. Pengangkatan tumor bukanlah operasi yang mudah. Resikonya besar. Ia jadi teringat dengan sahabatnya yang pernah menjalani operasi pengangkatan tumor payudara dan akhirnya meninggal. Ia takut jika dirinya juga tak kuat dan malah kalah dalam operasi itu. Meninggalkan Kevin-- suaminya sendirian di dunia ini rasanya begitu berat.

Melihat Indira-- sahabatnya dulu yang sangat tersiksa dengan penyakitnya juga pasca operasi yang membuat kondisinya sangat drop bahkan kritis. Menimbulkan trauma tersendiri di benak Camelia. Ia sangat takut jika operasi itu dilakukan hanya akan menimbulkan penderitaan dan rasa sakit yang lain. Meski dengan operasi itu ia bisa memiliki kesempatan besar untuk hamil normal. Tapi entah kenapa rasa takutnya malah lebih besar dibanding keinginannya untuk melengkapi keluarga kecilnya. Ia terlalu egois.

"Jika kamu gak operasi juga. Bisa-bisa nyawamu terancam, sayang. Aku mungkin bisa kehilangan calon anak-anak kita karena aku masih punya kamu. Tapi jika aku kehilangan kamu juga, kepada siapa lagi aku berharap?"

"Maaf, Mas. Maaf. Aku memang sepengecut itu. Aku benar-benar takut."

"Aku juga sangat takut kehilangan kamu sayang. Mengertilah. Semua ikhtiar ini bukan hanya demi kelancaran kehamilan kamu nanti, tapi yang paling utama adalah untuk kesehatan kamu. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk membujukmu lagi agar mau dioperasi. Setiap detik yang terus bertambah, aku terus khawatir jika semuanya akan memburuk. Bukan aku bersuudzon dengan takdir Allah, tapi jika kita tidak berikhtiar ... apa bisa semua sesuai harapan yang kita inginkan?"

"Tolong biarkan aku berpikir, Mas. Aku butuh waktu. Aku janji aku akan melakukannya tapi tidak dalam waktu dekat ini," ucap Camelia yang makin merasa bersalah karena membuat suaminya selalu dilanda rasa khawatir ketika kondisinya sedang drop.

"Aku akan menunggunya. Aku harap semua tidak akan terlambat. Aku tahu kamu akan melakukannya di saat yang tepat dan saat kamu siap. Aku tidak mau memaksa kamu. Tapi tolong pikirkan kesehatanmu sendiri. Jangan pikirkan soal aku."

,..........

Haidar langsung menuju cafe yang berada di sebrang rumah sakit setelah mendapat pesan dari Meta. Sudah beberapa hari ini hubungan mereka merenggang. Ia tak lagi mengantar jemput wanita itu karena penolakan keluarganya berkali-kali seakan merusak harga dirinya. Anggaplah ia mudah menyerah dan pengecut. Tapi ia hanya tak ingin melakukan hal yang sia-sia. Di usianya ini ia butuh kepastian dalam sebuah hubungan. Juga  hubungan jangka panjang untuk teman hidupnya. Jika hubungan yang ia jalani hanya stuck di situ saja, lantas untuk apa dilanjutkan? Jika hanya pasangan yang ingin melanjutkan tanpa restu keluarganya, itu adalah percuma dan berakhir sia-sia. Haidar tak mau lagi membuang waktu.

Di sudut cafe, Meta tampak menunduk sambil mengaduk-aduk minumannya. Haidar pun menarik kursi kosong di depan Meta dan duduk di sana.

Meta seketika mengangkat wajahnya saat kursi di depannya berpindah dan seseorang yang ia tunggu dari tadi sudah duduk di depannya. Seseorang yang ia rindukan selama beberapa hari ini." Mas Haidar. Apa kabar?"

Haidar tersenyum kecut. Pertanyaan seperti itu seperti pertanyaan yang dilontarkan dari orang asing yang baru dipertemukan kembali." Alhamdulillah baik. Kamu sendiri?"

Meta hanya tersenyum kecut, membuat hati Haidar semakin nelangsa." Diriku baik tapi tidak dengan hatiku."

"Ada masalah?"

Meta hanya mengangguk kecil," masalah yang sama seperti beberapa bulan yang lalu. Dan entah kapan masalah ini bisa terselesaikan. Aku sudah mencoba dengan segala cara membujuk mereka, tapi percuma."

Haidar menghela nafas. Seharusnya ia sadar dari beberapa bulan yang lalu jika semua yang ia lakukan sia-sia. Tapi ia masih terus berharap adanya keajaiban. Mungkin esok Allah akan membalikkan hati orangtua Meta agar menyukainya dan menerima statusnya juga merestui hubungannya dengan anak mereka. Tapi hingga hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan ... semua tetap sama. "Lalu bagaimana?"

Meta memainkan jari-jarinya, terlihat gugup. Wajahnya tak secerah biasanya. Ada gurat kesedihan dan keputus asaan yang tergambar jelas di wajahnya." Mereka ingin menjodohkanku," ucapnya membuat petir-petir di dalam hati Haidar di detik berikutnya.

"Dijodohkan?" Haidar mengulangi inti ucapan wanita di depannya." Dengan siapa?"

Meta mendesah pelan," entahlah, Mas. Aku belum mengenalnya dan sama sekali tidak berminat. Kamu tahu, meski hubungan kita masih baru ... tapi harapanku terlalu besar bersama kamu, Mas."

Haidar menghela nafas. Bukan hanya Meta yang memiliki harapan besar, tapi juga Haidar sendiri. Tak perlu ia katakan pun harapannya sungguh besar, sebesar rasa sakit terhadap berita buruk yang Meta bawa hari ini." Harapan besar tanpa restu dari orangtua adalah sebuah kesia-siaan, Ta."

Meta menunduk dengan segala rasa bersalah dan beban yang ditanggungnya." Kita harus berusaha lagi, Mas."

"Bukan aku tidak ingin, Ta. Tapi semakin diusahakan, semua ini semakin terasa semu. Hampa. Seakan memang semua tak digariskan untuk kita."

"Lalu bagaimana, Mas?" tanya Meta dengan keputus asaannya. Matanya sudah memerah dan nyaris menumpahkan isinya.

"Kamu sudah dewasa. Kita sama-sama sudah dewasa dan bisa memutuskan ke jalan mana kita akan menuju. Ketika jalan yang kita inginkan sudah buntu," ucap Haidar yang tak kalah terluka.

Meta menatap Haidar tak percaya dengan ucapan pria itu. Haidar yang biasanya akan tetap mempertahankan hubungan ini mendadak seakan pasrah dengan semua yang terjadi." Mas mau kita pisah? Mas mau aku menerima perjodohan itu?" tanyanya seakan minta penjelasan.

Haidar mendesah pelan." Bukan aku tidak serius dengan hubungan kita. Tapi restu orangtua adalah aspek terpenting. Dan aku gagal mendapatkannya, Ta. Aku tidak ingin memaksa. Mungkin memang aku bukan pria yang baik untuk mendampingimu. Berpikir positiflah dengan keputusan orangtuamu."

Seketika air mata Meta luruh, tak tertahankan lagi. Wanita itu menunduk di tempatnya. "Apa aku bisa bahagia dengan pria yang bahkan aku tidak mengenalnya? Apa aku bisa melupakanmu dan kisah cinta kita yang singkat ini?"

"Sebelum kita sampai di tahap ini, bahkan kamu jauh lebih baik dari sekarang. Kita tidak perlu saling melupakan, hanya mengikhlaskan rasa yang tak kesampaian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status