Share

Mulai Pelatihan

Laluna kembali ke ruang rias. Dia menemukan Sania mendapatkan serangan lidi seperti yang dia terima. Laluna membiarkan itu terjadi karena hal itulah yang membuatnya selamat. Sania seperti baru saja dianiyaya oleh pelanggan wajahnya membiru dan badannya luka berat masih di tambah serangan lidi itu.

Beberapa menit kemudian serangan itu di hentikan. Kedua tangan Sania di lepaskan, kali ini Sania tidak menangis dia hanya merintih dan menahan sakit. Laluna mengambil bubuk obat dan di siramkan ke tubuh Sania. Barulah rasa sakit akibat sayatan dan pukulan itu memaksa peluhnya untuk jatuh, perlahan memakai celana kain dan kaosnya lalu duduk disamping Laluna.

"Apakah kamu berhasil?" tanya Laluna yang juga masih merasakan perih di sekujur tubuhnya.

Air mata Sania menetes tapi diusapnya lagi.
"Ini seperti membuka pintu neraka untukku, aku rasa tadi aku hampir mati, pria itu menggila setelah melihat sayatan di tubuhku. Dia berbuat kasar bahkan memukuliku karena dia sangat membenci luka sayatan ini. Rasa perih yang kubuat belum hilang sekarang ditambah luka lebam dimana-mana. Aku merasa bersyukur karena tadi ada senior yang bilang kemungkinan aku tidak akan bisa jadi pelacur lagi. Hari ini aku sama sekali tidak tersentuh."  jelas Sania.

"Aku sudah melihatmu, kamu terlihat sangat tersiksa. Tapi kamu berhasil, tinggal selangkah lagi kamu bisa mengganti profesi sebagai pencuri." kata Laluna 

Laluna menceritakan scenario yang harus dilukan Sania saat bertemu Madam Lati. Dia juga berkata untuk sania berganti nama dan memakai topeng sama seperti dia. Laluna menceritakan pekerjaan ini secara detail, Sania menganggukkan kepala, dia juga bukan wanita yang lemah. Laluna meyakini hal itu, ini adalah awal dimana perang akan di mulai. Mereka perlahan akan membuka jalan untuk kembali pulang ke kampung halamannya lagi di Indonesia.

Laluna dan Sania tersenyum. Malam itu juga dia menemui madam Lati dan menjalankan scenario sesuai yang dikatakan Laluna kepadanya. Beberapa jam telah berlalu Sania kembali ke ruang rias itu lagi. Sania tersenyum masih sedikit meringis merasakan lebam yang mengguyur seluruh bagian di tubuhnya. 

"Kita mulai." Sania menggenggam tangan Laluna dengan senyuman.

***

Malam itu juga mereka tidur di kamar yang sama. Kamar di kastil itu terlihat sangat mengerikan tapi sudah cukup untuk mereka berdua dari pada memilih untuk tidur tanpa atap. Barang-barang bawaan mereka seperti pakaian, tas dan juga sepatu mereka letakkan di ujung ruangan yang mirip seperti kandang ini. Sakit di tubuh mereka ini benar-benar menyiksa dan membuat mereka sulit untuk memejamkan mata. Ranjang yang disediakan juga cukup keras tapi setidaknya mereka bisa tidur dengan nyaman malam ini. lebam itu membuat Sania terbangun lagi, Laluna juga tidak bisa tidur karena sayatan di sekujur tubuhnya yang masih belum kering. 

Laluna mengambil sebuah termos listrik di meja dan memasak air panas. Dia tahu Sania sangat kesakitan.

"Lepaskan bajumu!! Ini akan berbahaya jika tidak segera di obati." kata Laluna sambil menyiapkan air hangat di dalam baskom.

Dikamar itu di lengkapi sebuah kamar mandi dan beberapa alat dapur dan juga kompor kecil. Bisa di bilang sangat tidak layak. Mereka hanya bisa menerima dan mensyukuri keadaan ini.

Sania sudah melepaskan pakaiannya terlihat memar yang cukup banyak di bagian punggung dan dadanya, rahangnya juga membiru. Laluna perlahan mengompres dengan handuk dan air hangat satu persatu luka lebam itu.

"Awww, itu sakit."Sania menggigit bajunya sendiri agar tidak berteriak.

Luka yang Sania alami jauh lebih parah dari pada Laluna. Laluna sama sekali tidak mempersiapkan apapun untuk datang ke negara ini, tapi pria separuh baya itu menyediakan cukup banyak baju dan sepatu di koper ini. Dia tidak menyelipkan obat atau semacamnya disini.

Sania tahu apa yang Laluna cari

"Aku membawa kotak p3k di dalam ranselku. Aku tahu aku sering terluka. Jadi aku selalu membawanya kemanapun. Mungkin ada yang kamu butuhkan disana." Sania menunjuk ke arah ranselnya.

Tanpa menjawab Laluna segera mencari kotak P3K dari dalam ransel Sania. Dia mengeluarkan dan mencari obat oles, obat merah dan juga perban. Dengan Cekatan setelah lebam di kompres Laluna mengoleskan obat oles ke semua memar dan obat merah kesemua luka sayat. Kemudian membalutnya dengan perban kebagian-bahagian tertentu yang terlihat sangat parah. 

"Sekarang sudah selesai, apa masih sakit?" tanya Laluna merapikan alat P3K tadi.

"Iya sudah lebih baik, mungkin akan meradang besok tapi semangat untuk bebas lebih besar dari pada rasa sakitku ini." tandas Sania.

"Aku berharap kamu akan baik-baik saja ketika pelatihan besok." Kata Laluna sedikit khawatir.

"Berbaliklah! " Sania membalik badan Laluna dan membuka baju dari arah punggungnya.

"Kamu juga menyayat luka dimana-mana." Sania memberikan obat merah dan membalut luka yang benar-benar parah.

"Sekarang, kita bisa tidur nyenyak dan menyambut hari baru besok pagi." Sania kembali berbaring pelan dan bersiap tidur.

Laluna tersenyum melihat Sania sangat bersemangat dan Laluna mengikutinya untuk tidur.

***
 Pagi itu sebelum matahari menyapa, Laluna dan Sania terbangun dari tidurnya. Rasa pegal seperti menggeliat di sekujur tubuh mereka. Perih masih mendera tapi itu sudah tidak di rasakan lagi. Air dingin di pagi itu sedikit membungkam rasa sakit yang ada di tubuh mereka berdua. Ini lebih baik dari pada ternoda oleh banyak pria hidung belang. 

Laluna terus melantunkan doa di dalam hatinya, meminta segala pengampunan atas segala yang akan di lakukannya setelah ini. Karena dosa ini terpaksa harus di lakukan demi menyelamatkan orang-orang yang terkurung di kastil ini. Ditengah air yang mengalir itu air matanya terus mengalir ketika mengingat kedua orang tuanya dan seorang adik yang selalu dia rindukan. Tidak sekali Laluna bertanya, Kapan dirinya akan kembali ke kampung halaman? Waktu ini tidak bisa di tentukan.

Mereka berdua telah bersiap menggunakan celana jins, sepatu boot, kaos dan Topi. Penampilan ini bukanlah penampilan seorang wanita Penghibur. Rambut mereka yang panjang diikat seperti ekor kuda dan mereka berangkat untuk menemui madam Lati.

Para pelacur di kastil itu masih tertidur. Kastil itu seperti rumah yang tidak berpenghuni di pagi hari ini. Namun, Kantor Madam Lati sudah di buka, tanpa pikir panjang mereka masuk ke kantor itu dan menemui Madam Lati.

"Kalian berdua, membuatku sangat terkejut. Kalian terlihat cukup bersemangat. Aku tidak ingin berbasa-basi lagi, itu lima topeng untuk Sania dan itu lima topeng untuk Laluna. Mulai hari ini nama Laluna menjadi Rula dan Sania menjadi Tasya. Aku masih sulit berfikir kalian lebih memilih untuk mendekatkan diri pada maut dari pada bekerja sebagai wanita penghibur di sini." Madam Lati memandang kedua wanita itu.

Mereka berdua hanya tersenyum dan memakai topeng yang hanya menutupi separuh bagian wajah mereka.

"Aku sudah melaporkan pekerjaanmu kepada Pak Ramonta, beliau hanya mengatakan. Biarkan saja! Jika dia mati itu bukan salah kita." jelas Madam Lati.

"Terimakasih untuk informasi yang sama sekali tidak penting itu." Laluna menjawab dengan nyinyir.

"Kamu memang terlihat sangat mengerikan."komentar madam Lati.

"Hari ini kalian akan pindah ke sebuah asrama yang dikenal dengan Gedung Putih dari agensi kami. Kalian akan merasakan kedisiplinan yang luar biasa di sana, tidak ada hari santai lagi untuk kalian selama empat tahun ini. Kalian akan mendapatkan pelajaran mencuri dengan profesional Kalian juga akan dibekali teknik  bela diri yang lebih matang. Bawa ransel kalian, mobil sudah ada di depan kastil, kalian akan memulai semuanya hari ini." Jelas madam Lati sambil melipat tangan di dadanya.

Mereka berdua hanya menganggukkan kepala. Kedua wanita itu berlari mengambil tas dan perlengkapan mereka.

Mereka berdua segera masuk ke dalam mobil jip yang sudah disiapkan Agensi untuk mereka berdua. Tak ada rasa gugup ataupun takut di kedua mata Laluna dan Sania. Mulai detik ini mereka harus membuang identitas mereka jauh-jauh untuk melindungi diri.

Sania sedikit termenung menghadap ke Jendela, membayangkan betapa orang tuanya mungkin sangat mengkhawatirkan dirinya disini.

'Pah, ma. Aku tidak merusak kehormatanku, tapi aku harus menjadi seorang kriminal demi pulang ke kampung halaman. Aku harap kalian memaafkan aku.' Sania meneteskan air mata lalu mengusapnya lagi.

Laluna juga sangat merindukan keluarganya dirumah. Sudah banyak rencana untuk bisa terhubung dengan mereka dan mencari jalan keluar dari negara ini.

Satu jam kemudian mereka berdua sampai di sebuah asrama gedung putih yang sangat besar dengan halaman yang terlihat cukup luas. Terlihat banyak sekali pria duduk dengan rokok ditangan mereka dan wanita dengan paras yang begitu cantik tapi terlihat sangat bengis.

Mereka semua menatap Laluna dan Sania yang datang dengan tubuh mereka yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar seratus enam puluh sentimter saja. Dari kanan dan kiri ada banyak pria yang ingin menggoda  Laluna yang terlibat cukup cantik di hari itu karena kulit putihnya, tubuhnya yang sangat membentuk itu membuat banyak pria menelan ludah dan menatap dengan tatapan mata keranjang layaknya seorang pria hidung belang. Tiba-tiba dari belakang Laluna merasakan ada seorang yang datang dan ingin menyentuhnya. Ini sudah kebiasaannya menarik tangan itu dan membanting tubuh itu kedepan lalu menahan tangan orang itu di belakang tubuhnya.

Semua mata terpukau dengan kecekatan Laluna.

"Awww, Lepaskan aku! gadis manis. Aku tidak akan berbuat jahat padamu. Aku hanya ingin menunjukkan jalan untuk bertemu pak kepala dan para pelatih disini. Aku tahu kalian berasal dari kastil pelacuran itu." kata salah seorang Pria bernama Albi

Laluna tetap diam, dia berfikir sebentar lalu perlahan melepaskan cengkraman dari tangan Pria itu.

"Kamu gadis kecil tapi terlihat sangat kuat, tanganku rasanya seperti akan patah. Ikutlah denganku!" ajak Albi masuk ke gedung putih itu.

Sepanjang perjalanan semua orang membicarakan Laluna.

"Siapa gadis itu? Dia terlihat sangat lihai dalam bela diri. Belum pernah ada yang peka seperti gerakannya tadi, Pak Kepala akan senang melihatnya." salah seorang pria berbaju hitam melihat ke arah Laluna tapi Laluna tidak menggubris.

"Sepertinya Gadis itu menarik. Aku bisa menjadi lawan yang pantas untuknya."Salah seorang wanita berotot yang terlihat tinggi itu tersenyum melihat Laluna dan Sania

Laluna berbisik pelan ke arah Sania.

"Jangan memperlihatkan wajah ketakutan Walaupun sebenarnya kamu takut, mulai detik ini belajarlah untuk mengatur ekspresi agar orang tidak mengerti apa yang sedang kamu rasakan dan apa yang sedang kamu pikirkan. Jika setelah ini kita akan berlatih bela diri, kamu harus mempelajarinya dengan baik. Itu sangat kamu butuhkan." Laluna kembali berjalan kedepan.

Sania tidak menjawab dia hanya menganggukan kepala dan menuruti perkataan Laluna.

Mereka diantar ke sebuah ruangan yang lumayang besar. Disana terdapat Sofa dan meja yang cukup bersih.

"Kalian duduklah!Tunggulah disini! Pak Kepala sedang ke kamar mandi." kata Albi sambil berjalan keluar.

"Hei!" Laluna tiba-tiba memanggil pria itu.

Pria itu berbalik

"Maaf untuk perbuatanku tadi. Boleh aku tahu siapa namamu? Aku Rula dan dia Tasya." Laluna mencoba mencari teman disana.

"Ahh tidak apa-apa kurasa kamu cukup hebat untuk melindungi diri, Aku Albi. Maaf aku tinggal dulu." tandas Albi sambil pergi dari ruangan itu.

Beberapa menit kemudian Pak Kepala itu datang. Dia mengenakan setelan putih dengan wajah yang terlihat sudah setengah baya.

Laluna dan Sania berdiri menyambut pak Kepala itu.

.






Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status