Dahinya berkerut dengan mata yang masih setengah terpejam. Ia benar-benar terganggu dengan ketukan bertubi-tubi pada pintu kamarnya. Abraham menguap lebar. Kemudian menutup telinganya dengan bantal serapat mungkin guna meredam bunyi bising yang mendera indera pendengarannya. Namun sepertinya Abraham lupa mengunci pintu kamar semalam. Karuan saja kenop pintu terbuka dan menampilkan Danesha tengah berdiri sembari bersandar pada tiang pintu.
“Sudah lewat waktu sarapan, Mas. Ditunggu Bunda di bawah.”
Abraham tidak menyahut. Ia tetap pada posisinya semula.
“Jangan bertingkah seperti anak kecil. Aku tahu Mas hanya pura-pura tidur.”
Masih tidak ada sahutan. Malahan semakin membuat Danesha berubah kesal.
“Mas Ab—”
Sebuah bantal melayang dan mendarat tepat di wajah Danesha. Ya, pelakunya siapa lagi kalau bukan Abraham. Wajahnya sangat tidak bersahabat pagi ini. Bagaimana tidak? Jam enam pagi Abraham baru bisa memejamkan kedua matanya dan sekarang jam delapan pagi ia harus bangun karena panggilan dari Sang Bunda. Bunda memang terkenal paling disiplin di rumah. Apalagi kalau soal disiplin waktu. Menurut Bunda semuanya harus serba tertata kalau ingin meraih sesuatu. Contoh kecilnya saja sarapan. Suka tidak suka, jam delapan pagi adalah waktu paling ideal untuk sarapan. Dan itu harus. Tidak peduli mau secapek dan semengantuk apapun seperti yang Abraham rasakan tidak bisa dijadikan alasan.
“Malah bengong. Buruan bangun terus mandi, Mas. Nanti aku yang kena omel Bunda.”
“Kamu tahu aku baru bisa tidur jam berapa?!?” Nada bicara Abraham mulai meninggi. “Aku baru tidur dua jam yang lalu. Bisa kan kamu bilang gitu ke Bunda? Aku ngantuk, Nesh.”
Danesha mencibir sambil berlalu. “Pokoknya segera ke bawah ya, Mas.”
Itulah Danesha, adik laki-laki Abraham yang terpaut lima tahun di bawahnya. Sedikit usil tapi paling peka ketimbang adik perempuannya. Abraham menggerutu pelan disela-sela membersihkan dirinya. Tampaknya rasa kesal tidak bisa ia sembunyikan. Wajahnya berubah masam seketika. Kurangnya istirahat membuat mood Abraham dalam skala minus.
Sejak dulu meja makan telah turun temurun menjadi tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Merepotkan? Sangat. Abraham selalu dibuat repot hanya karena masalah sepele ini mengingat waktunya lebih sering ia habiskan di klinik.
“Anak Bunda yang paling ganteng sudah bangun tuh, Bun,” ledek Arabella, adik perempuan Abraham yang diikuti kekehan Danesha disebelahnya. “Mas mau aku buatin minum apa?”
“Kopi,” jawab Abraham singkat, padat, dan juga jelas. Tanpa senyum tentunya.
Abraham menarik kursi lalu bergabung bersama di meja makan. Tatapannya beralih ke arah Bunda yang juga tengah menatapnya.
“Abe mengantuk, Bun. Kenapa sih Bunda nggak bisa maklum sama aktifitas Abe sesekali?”
Bunda tertegun sejenak. “Sampai sekarang Bunda masih bertanya-tanya. Sebenarnya kamu ini dokter betulan atau dokter gadungan? Masa manfaat sarapan saja harus Bunda jelaskan juga.”
“Bukan itu masalahnya, Bun—”
“Bunda hanya ingin melihat ketiga anak Bunda dalam keadaan utuh minimal di pagi hari.”
Abraham tidak membantah. Bundanya itu mungkin saja merasa kesepian karena kesibukan mereka bertiga. Meskipun tinggal satu atap, mereka memang jarang bertatapan muka kecuali sarapan. Mungkin itulah alasan Bunda menerapkan peraturan kuno di rumah.
“Bunda juga ingin kamu setuju untuk dijodohkan.”
Kopi yang tengah diseruput Abraham menyembur karena kaget. Wajah masamnya semakin bertambah masam ketika mendengar permintaan dari Bundanya itu.
Dijodohkan?
Memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Batin Abraham.
“Abe menolak,” jawab Abraham.
“Kenapa? Dia cantik, berpendidikan tinggi, dan karirnya cukup bagus. Terlebih Bunda cukup mengenal kedua orangtuanya. Dia kandidat terbaik yang Bunda punya, Ab.”
Abraham mendengus. “Punya karir bagus itu berarti dia bukan tipikal perempuan rumahan. Abe nggak mau,” tolak Abraham lagi.
“Ya, gampang. Kamu cukup memintanya berhenti bekerja. Beres, kan?” sahut Bunda tidak mau kalah. “Cari alasan mbok ya seng masuk akal.” (Yang)
Abraham memutar otak tanpa mengubah wajah masamnya. ”Memangnya Bunda nggak capek ya memaksa Abe terus? Abe pasti menikah kok, tapi nggak sekarang. Dan pasti bukan karena perjodohan juga. Coba Bunda bayangkan apa kata orang nanti? Pikirkan reputasi Abe dong, Bun.”
“Reputasi macam apa?!?” Bunda meninggikan nada bicaranya.
Jarang sekali Bunda meninggikan suaranya seperti itu. Seumur hidup Abraham baru dua kali ini ia mendengarnya. Pertama saat dulu ia nekat pulang ke rumah di tengah hujan lebat, dan yang kedua adalah hari ini. Bahkan Danesha dan Arabella pun juga ikut kaget bersamanya.
“Umurmu hampir mendekati kepala empat. Dan sudah waktunya memiliki istri. Bunda ingin kamu punya seseorang yang kelak menemani sisa hidupmu nanti, Nak.”
“Abe ini laki-laki dewasa dan mapan. Banyak perempuan di luaran sana yang mau sama Abe. Masa Bunda nggak percaya sama anak sendiri. Kalau Bunda sudah kebelet ingin menimang cucu, kenapa nggak Bunda jodohkan saja Si Ara. Dia jauh lebih pantas dijodohkan daripada Abe. Lagipula dia memang sudah waktunya menikah juga, kan?”
Tatapan Bunda tidak bisa Abraham artikan. Bunda hanya menatapnya dalam diam lalu pergi.
***
“Mas Abe kelewatan!!” Arabella menyerukan protesnya. Sungguh ia tidak menyangka jika kakak tertuanya tega berkata seperti itu ke Bundanya. “Kalau Mas Abe menolak dijodohkan, kenapa harus bawa-bawa namaku? Lagipula Bunda melakukan ini juga untuk kepentingan Mas Abe sendiri.”
Abraham berdecak. Ia paling malas harus digurui, apalagi oleh adiknya sendiri. Sifatnya yang tidak mau mendengarkan orang itulah yang terkadang membuat orang disekitarnya merasa kesal.
“Mas Abe dengar nggak sih?!?” protes Arabella lagi.
Sikapnya yang acuh tak acuh itu membuat Arabella undur diri dengan teratur. Dan biasanya adiknya itu akan mogok bicara padanya selama beberapa hari. Bukan Abraham namanya jika harus pergi membujuk untuk mengambil hati adiknya itu. Tentu saja tidak. Abraham tidak pernah sekalipun membujuk bahkan merayu siapapun. Sampai orang yang bersangkutan merasa kesal sendiri.
Abraham masih berkutat dengan tablet di tangannya. Percakapannya dengan Bunda di meja makan tadi seakan tidak pernah ada sebelumnya. Pendiriannya tetap satu. Sekali tidak tetap tidak.
“Kali ini aku setuju dengan pendapatmu, Mas.”
Abraham menghentikan kegiatannya lalu beralih menatap Danesha penuh tanya.
“Dijodohkan? Yang benar saja. Tampang di atas rata-rata begini kayaknya nggak masuk akal kalau nggak ada yang mau.”
Senyum Abraham merekah. Akhirnya setelah beberapa drama yang terjadi pagi ini ada juga yang sependapat dengannya. Dan orang itu sungguh tidak Abraham sangka. Danesha, Sang Penakluk Wanita.
“Tapi kenapa menurutku malah Mas Abe terkesan membela diri daripada menyombongkan diri ya? Tampan sih, tapi lajang,” celoteh Danesha panjang lebar. “Sekarang coba Mas ingat, kapan terakhir kali Mas Abe menggandeng perempuan ke rumah?”
“Kayaknya lima tahun yang lalu.”
“Salah.” Danesha mengkoreksi. “Hampir sepuluh tahun yang lalu lebih tepatnya.”
Mata Abraham mengerjap sesaat. “Masa sih sudah selama itu?”
Danesha mengangguk. “Normalnya jeda laki-laki punya pacar baru setelah putus dari pacar lama itu paling lama adalah satu atau dua tahun. Kalau sudah lebih dari itu akan banyak gosip berseliweran di mana-mana. Termasuk dicap homo salah satunya.”
Abraham menelan ludahnya.
Homo? Sampai seperti itu? Batin Abraham.
“Mas memang punya tampang, tapi siapa yang percaya kalau Mas nggak homo? Sepuluh tahun melajang tanpa dekat dengan perempuan cukup membuat gosip yang nggak-nggak, Mas. Nggak ada salahnya kan Mas Abe menikah sekarang atau nanti. Toh memang sudah waktunya. Apa susahnya sih menyenangkan Bunda? Lagipula dia cantik kok. Aku sudah lihat fotonya.”
“Kamu sedang mencoba memperdayaiku ya? Seolah-olah kamu berada dipihakku, namun nyatanya kamu malah bersekongkol sama Bunda.”
Danesha menghela napasnya. Sejujurnya ia juga tidak sampai hati harus memperdayai kakak tertuanya itu jika bukan karena desakan dari Sang Bunda. Antara kasihan dan baktinya pada orangtua. Sebetulnya Danesha penganut anti perjodohan tingkat keras. Dan jika ia berada diposisi Mas Abe sekarang ia pasti akan menolak sekuat tenaga.
“Jangan bilang Mas masih belum bisa melupakan Mbak Alana.”
Abraham melebarkan matanya. Nama yang sejak lama telah Abraham kubur dalam-dalam di dasar hatinya mendadak muncul kembali. Ingatannya bersama dengan perempuan itu dulu menari-nari di dalam otak Abraham. Padahal cerita cintanya bersama Alana telah lama usai sepuluh tahun yang lalu. Tapi entah kenapa kejadian itu seperti baru terjadi kemarin. Sakit yang ia rasakan dulu mendadak muncul kembali.
“Alana hanya masa lalu, Nesh. Jangan sebut namanya lagi!” perintah Abraham.
“Kalau gitu buktikan itu ke Bunda. Buktikan kalau Mas sudah move on darinya. Sadar nggak sih kalau Mas Abe sendiri yang memancing Bunda mengambil cara ini? Coba deh Mas pikir.”
“Terus maksudmu Mas harus menerima perjodohan ini, gitu? Lucu.”
“Paling nggak Mas bisa menemuinya dulu. Selanjutnya Mas coba bilang ke Bunda. Kalau Mas Abe bicara baik-baik, aku yakin Bunda mau mengerti kok.”
Masalahnya tidak sesimple itu. Abraham sedikit berbeda dengan kedua adiknya. Ia sama sekali tidak pernah bersikap terbuka dengan Bundanya. Abraham tipikal laki-laki yang tidak mau berbagi dengan siapapun.
Sepertinya kok nggak ada jalan lain, batin Abraham.
“Kalau gitu mana sini fotonya,” pinta Abraham pada Danesha. “Aku perlu tahu perempuan seperti apa dia, kan? Kalau hanya sekedar bermodal cantik saja, badut di bawa ke salon juga bisa berubah cantik. Masalahnya dia punya otak apa nggak. Itu yang terpenting.”
Danesha mengangguk dengan senyum tertahannya. Secemerlang apapun kakaknya itu tentu saja masih bisa ia selami dasar hatinya. Abraham memang selalu berpikir dengan logika-logika di kepalanya. Ia sama sekali tidak pernah melibatkan perasaan dalam memutuskan apapun. Terdengar kaku. Tapi justru disitulah sisi lembut dari kakaknya. Walaupun kasihan, tapi tampaknya Danesha memegang kelemahan Abraham secara telak.
Abraham menatap foto perempuan bertopi pantai yang tengah tersenyum menghadap ke arah kamera. Sejenak ia tersenyum. Ucapan Bunda dan Danesha mungkin ada benarnya.
Lumayanlah, batin Abraham.
Minggu pagi adalah waktu yang tepat bagi seorang Laura untuk bersantai. Jarang sekali ia mau diganggu. Laura lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah saja daripada pergi hangout ke Mall bersama teman-temannya, tapi tidak untuk hari ini. Laura sudah terlanjur membuat janji dengan dokter gigi pribadinya untuk rutin kontrol kawat gigi yang telah lama melekat digiginya sejak satu setengah tahun yang lalu.Laura mematut dirinya berulang kali di depan kaca sembari memulas wajahnya dengan rangkaian skincare dan lipstik. Hari ini Laura ingin tampil senatural mungkin. Tanpa alas bedak hingga benda apapun yang dapat mengubah penampilannya. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda agar terlihat fresh. Mama menatapnya heran saat Laura menuruni
Hidup memang tidak seindah novel harlequin yang biasa Laura baca. Romansa yang ada tidak semanis yang Laura jalani pula. Kandasnya hubungan Laura dan Gavin buktinya. Di saat sebuah keseriusan dipertanyakan malah kekecewaan yang ia dapatkan. Laura bukanlah perempuan yang terburu-buru dalam pernikahan. Bukan. Ia hanya ingin sebuah kejelasan dalam hubungannya. Laura hanya menuntut label sah atas siapa pemilik dirinya. Sayangnya Gavin tidak sependapat dengannya. Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Freya, sahabat terdekat Laura. Senyuman Freya merekah saat itu. Sahabatnya itu benar-benar lega atas keputusan yang ia ambil. Sejak dulu Laura sebenarnya tahu jika Freya menentangnya berpacaran dengan Gavin. Freya lebih banyak menghin
Tepukan pada bahunya membuat Abraham memalingkan wajah sejenak. Galileo menaikkan sebelah alisnya sembari menatapnya penuh heran. “What’s up, Bro? Dari pagi itu kerutan di dahi nggak surut-surut. Ada masalah?”Abraham tidak berkomentar apa-apa. Karena sekali ia membuka mulut untuk Galileo, maka sama halnya dengan memberikan informasi secara cuma-cuma layaknya di akun gosip yang bertebaran di instagram. Lagipula tidak ada untungnya juga Abraham berbagi c
Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”
Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r
Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa
Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”
Kesepakatan yang terjadi di antara Laura dan Abraham akhirnya terlaksana siang ini di hari Minggu setelah sehari sebelumnya Abraham mengabarinya via Whatsapp. Laura berulang kali membetulkan letak pakaian yang melekat di tubuh semampainya, dan berharap ia tidak salah memilih pakaian. Salahkan Abraham yang tidak memberinya masukan tentang busana apa yang pantas ia kenakan saat bertemu dengan Bundanya nanti—membuat Laura harus putar otak memilah pakaian yang ada di lemarinya saat ini.“Mau pakai pakaian apa saja terserah. Asalkan nggak telanjang.” Begitu balas Abraham tadi. Dibilang kesal, jelas Laura kesalnya bukan main. Walaupun pernikahan ini nantinya hanyalah sebuah perjanjian belaka, tapi setidaknya Laura harus