Jatah cuti menikah dari kantor pun berakhir. Baik Laura maupun Abraham seperti diingatkan bahwa tumpukan pekerjaan telah menyambut mereka saat keduanya tiba di kantor masing-masing. Abraham menepikan mobilnya tepat di depan pintu masuk area perkantoran Laura.
“Pulang kantor jangan buat janji dengan siapa-siapa ya,” kata Abraham ketika melihat Laura bersiap membuka pintu mobil, dan untungnya Laura mengurungkan niatnya itu. “Aku ingin mengajakmu melihat rumah,” lanjut Abraham lagi.
“Rumah? Maksud Mas rumah yang akan kita tempati nanti?”
Kejadian semalam membuat kerja otak Laura berlari ke mana-mana. Ia sungguh tidak bisa fokus bekerja sedari tadi. Bahkan Becca yang selalu bersikap acuh tak acuh pun mulai angkat bicara—menegurnya karena melakukan kesalahan memfotocopy dokumen meeting.“Kayaknya mending kamu makan siang duluan deh, La.” Becca, dengan sifat tegasnya mulai angkat bicara. Laura menatap Becca dalam diam sembari mengerjapkan mata. “Kamu perlu banget mendinginkan kepala. Nggak hanya sekali, tapi sudah dua kali kamu salah fotocopy materi penting buat meeting besok pagi. Mubazir kertas tahu.”
Tidak banyak waktu yang dimiliki Laura untuk berpikir. Karena malam sudah berganti pagi ketika Laura membuka matanya. Laura terperangah—jam weker di atas nakas menunjukkan tepat di angka enam. Walaupun sudah beberapa malam Laura tidur di sini, tapi sendirian di kamar yang terbilang cukup besar seperti ini membuat Laura seolah berada di dunia antah berantah. Laura mengecek ponsel yang sengaja ia selipkan di antara bantal. Berharap akan ada jejak peninggalan dari Sang Suami menelepon saat dirinya jatuh terlelap semalam. Nihil. Abraham sama sekali tidak mencoba menghubunginya. Bahkan ponsel Abraham pun dalam keadaan tidak aktif saat Laura gantian mencobanya. “Laura.” Panggilan Bunda membuyarkan l
Clara menepuk pelan bahu Laura saat ia tengah berdiri memandangi luar jendela yang hanya menampilkan pemandangan gedung diseberang. Laura menoleh lalu tertawa saat tahu siapa yang menegurnya. “Sepagi ini udah bengong? Really, La?” sahut Clara. “Lama nggak mengobrol sama kamu sejak menikah. Kabarmu gimana?” tanya Clara menambahkan.“Kamu mau tanya kabarku atau kabar suamiku nih!” timpal Laura terkekeh-kekeh.
“I fall for you ....”Sebuah kalimat singkat, tapi mengandung makna luar biasa bagi Laura. Laura tidak bergeming sama sekali. Layaknya orang linglung, ia hanya sanggup melongo tanpa ekspresi. Bibir Laura mengatup begitu rapat. Hanya kedipan mata yang menjadi penghubung di antara keduanya. Percaya atau tidak. Sadar atau tidak. Abraham benar-benar mengatakannya.
Berbelanja bersama membeli perabotan untuk rumah baru memanglah menyenangkan untuk pasangan pengantin baru seperti Laura dan Abraham. Padahal dahulu Abraham menyerahkan semuanya pada Laura dan hanya meninggalkan visa black card untuk bertransaksi. Semenjak pengakuan Abraham kemarin semuanya berubah total. Sikap cuek Abraham meleleh bersama dengan tuntutan ciuman yang diberikan laki-laki itu pada Laura. Ciuman yang membuat Laura merona saat bayangan akan hal itu terlintas dalam benaknya. Keinginan Abraham atas dirinya membuat Laura bergidik ngeri. Sisi gelap dari suaminya perlahan mulai Laura pa
Keberangkatan Abraham tanpa Laura mengundang drama. Abraham mogok bicara. Berulang kali Laura menelepon ponselnya juga tidak diangkat—hanya pesan suara yang ia terima. Laura tentu saja kesal. Badan boleh besar, tapi tingkah seperti balita. Padahal satu hari sebelumnya Laura sudah bilang tidak bisa pergi bersama. Cutinya terlalu mendadak dan Becca tentunya kewalahan jika ia tiba-tiba lepas tangan. Opsi yang diberikan Laura sebenarnya cukup bagus. Laura baru bisa menyusul dua hari setelahnya, setelah semua pekerjaannya selesai. Namun Abraham tidak bisa menerimanya dan sekarang laki-laki itu tengah merajuk dengan menolak semua panggilan teleponnya. Geram? Jelas jangan ditanya. Bahkan Becca pun juga merasakan imbasnya.
Abraham menatap Drey dengan tatapan tidak bersahabat. Seolah daerahnya didatangi oleh pejantan lain dan membuatnya siap siaga ingin mengusirnya. Tarikan dipinggang Laura makin mengetat bersamaan dengan tatapan Abraham yang sama sekali tidak goyah meskipun telah Laura cubit perutnya.“Drey, ini suamiku,” kata Laura—memecahkan ketegangan di antara mereka. “Mas, ini Drey temanku waktu SMA dulu. Kami nggak sengaja ketemu tadi.”Kedua laki-laki disamping Laura
Laura benar-benar kewalahan mengimbangi permainan Abraham. Suaminya itu benar-benar brutal di atas ranjang. Tidak hanya berlangsung sekali, tapi juga berulang kali dan tentu sulit bagi Laura untuk menolaknya. Gejolak dalam diri Laura ternyata terlalu besar untuk sekedar mempertahankan nalar yang selama ini sedang ia coba pelajari. Desakan kebutuhan Abraham atas dirinya tidak main-main. Abraham menguasai tubuh Laura dari pagi sampai menjelang pagi lagi. Seperti halnya saat ini. Hentakan demi hentakan kembali memenuhi inti kenikmatan Laura. Laura tidak mempu lagi menahan desahan demi desahan karena goncangan dahsyat menghujam dirinya. Erangan Abraham pun ikut lolos ketika Laura membenamkan tangannya disela rambut dan meremas kuat disela-sela tautan lidah mereka. Saling mengecap di setiap permukaan dan