Risa Abdullah sudah berganti pakaian khusus untuk turun ke dapur. Yang semula memakai dres biru cerah, kini sudah menggantinya dengan kaos orange sebatas siku dan sebuah rok tartan cokelat sebatas betis. Wanita ini kemudian meraih sebuah celemek putih untuk dipakainya, dan juga diberikan kepada Adnan yang sudah berdiri menatap semua bahan di atas meja marmer super besar dan lebar. “Terima kasih,” balas Adnan tulus, matanya memancarkan cinta yang belum pernah dia rasakan kepada wanita mana pun yang sudah pernah tidur dengannya. Inikah yang namanya jatuh cinta? Benar-benar perasaan dalam dan sangat hangat! Risa yang melihat senyum Adnan yang agak aneh itu, menjahilinya dengan menoelkan krim dari mangkuk kecil ke sebelah pipi sang tunangan. “Tunanganku ini terlalu dingin, kalau diberi krim seperti ini pasti akan sedikit lebih manis, bukan?” ledek Risa, mengedipkan sebelah matanya jahil. Adnan Budiraharja memerah sekujur tubuh, lalu segera menguasai diri meraih sebelah pinggangnya.
Di hari Jumat pagi, Risa Abdullah datang ke kantor dengan gaya bak seorang spionase. Wanita ini berusaha menuju lift tanpa ada yang bisa mengenalinya. Sayangnya, malah sangat konyol, wahai para pembaca! Dengan kacamata hitam, dan sebuah pashmina menutupi kepalanya, wanita berpakaian seragam sekretaris ini pun berjalan masuk dengan gaya yang jelas-jelas mencurigakan. Sesekali mengintip dari balik kacamata hitamnya, lalu akting pura-pura semuanya baik-baik saja, tapi setiap kali jalan beberapa meter, kakinya keseleo saking gugupnya takut tiba-tiba berpapasan dengan Shouhei. “Nona! Apa ada masalah?!” teriak sang penjaga keamanan ketika Risa hendak menempelkan kartunya pada palang menuju lorong lift berada, tapi malah kartunya jatuh terus ke lantai, tidak fokus terbaca oleh mesin barcode. “I-ini saya, Pak! Risa! Risa Abdullah!” terangnya bisik-bisik cepat, ketika sang penjaga mendekat dengan wajah kaget. “Waduh! Nona Risa sudah mau jadi wanita sholeha, ya? Nona, roknya kependekan!”
Napas Risa Abdullah tersengal hebat luar biasa ketika keluar dari lift, bersandar di dinding dengan lipstik kacau di wajahnya dan pakaian bagian atas agak berantakan. Sementara Shouhei Shiraishi yang berdiri di sebelahnya sudah berkilau sangat bahagia. Dasi yang dikenakannya diperbaiki dengan gaya yang elegan. Di salah satu sudut bibirnya, terlihat jejak lipstik sang wanita, lalu dengan cepat diusap menggunakan punggung tangan. Risa Abdullah melotot kesal kepadanya, dengan gugup dan gemetar segera memperbaiki kancing bajunya yang terbuka oleh perbuatan tirani sang bos. Sialan! Baru juga 2 hari tidak bertemu dan menolak panggilannya, kenapa dia jadi buas seperti itu? batin Risa kesal setengah mati, sama sekali tidak disangka kalau lift yang akan dinaikinya akan jadi perangkap sempurna dari pelampiasan pria itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Shouhei, sebelah kening dinaikkan. Baik-baik saja kepalamu! maki Risa dalam hati, menatapnya sangat marah persis anak kecil ngambek. “Bukankah k
“Ke-kenapa harus begitu?” tanya Risa gugup ketika jam pulang kantor sudah tiba. Mata menatap gugup kepada bos dinginnya di depan meja. Di sebelahnya, tampak sekretaris Renji hanya bisa tersenyum kikuk kepada Risa. Shouhei mengencangkan alisnya, berkata dalam dan tenang, “karena kamu adalah sekretaris yang menemaniku di awal pertemuan dengan Pak tua CEO itu, maka harus kamu yang ikut denganku.” “Tapi— ” “Ikut denganku,” titah Shouhei dalam dan kuat, wajah sudah menggelap kejam penuh ancaman. Risa Abdullah menciutkan diri, kedua kakinya gemetar hingga hampir jatuh dari posisi berdirinya. Baru juga dikasih bekal makanan mewah, dia pikir bisa bersikap semena-mena lagi kepadanya? Dasar tiran! Lagi pula, bukankah dulu pernah ada sekretaris lain yang ikut dengannya untuk mengurus masalah taman hiburan itu? Apa-apaan dia bilang harus dirinya yang ikut? Walaupun Risa hendak protes dalam berbagai bentuk, dia tahu akan tetap kalah darinya, maka di sinilah dia sekarang, berada di dalam mo
“Kenapa? Aku kira kamu akan pura-pura tidak mengenaliku.” Andres tertawa mengejek dengan nada serak seksi nakalnya. “Dari mana kamu dapat nomor ponselku, hah?!” bentak Risa setengah mendesis marah. “Sayang, jangan marah begitu. Kalau hanya sekedar dapat nomor ponsel seseorang, lewat kekuatan orang dalam, apa saja bisa, bukan? Oh, ya, itu tidak penting. Aku menelepon repot-repot begini bukan hanya untuk membahas soal bagaimana mendapatkan nomor ponselmu. Yang aku ingin bahas adalah tentang sandiwaramu saat kita bertemu terakhir kali. Heh, ternyata, setelah bersandiwara dengan bos sendiri, malah tunangan dengan pria lain. Apa sekarang kamu sudah murahan melayani dua pria sekaligus? Menyesal karena kabur malam itu di klub?” “Diam! Tutup mulut kotormu itu! Aku tidak punya masalah denganmu lagi! Kenapa kamu tidak bisa melepaskan masa lalu, hah?! Bukankah ada banyak wanita cantik dan seksi di dekatmu? Untuk apa menggangguku lagi? Apa kamu dendam karena hal yang terjadi di antara kita b
Risa Abdullah bernapas dengan nada memburu, dadanya naik turun oleh amarah, mata menatap layar ponselnya penuh kemarahan. “Ada apa?” Suara Shouhei mengejutkan Risa disertai dengan tepukan di salah satu bahunya. “Sho-Shouhei?” gugup Risa, menatapnya setengah berkaca-kaca. Wajah sembabnya terlihat jelas. “Kenapa kamu menangis? Siapa yang kamu ajak bicara barusan?” tanya Shouhei dengan kening berkerut tak enak dipandang. Risa menghapus air matanya dan menggeleng cepat. “Bukan apa-apa. Lupakan saja. Tadi hanya telepon tidak penting sama sekali.” Shouhei tidak setuju, tetap menatapnya penuh keseriusan. Kedua tangannya kini memegang kedua bahunya sekuat mungkin. “Siapa, Risa Abdullah? Katakan kepadaku. Apanya yang salah? Kenapa kamu harus minta maaf?” Wajah kelam penuh intimidasi sang bos sangat terlihat jelas bagaikan gunung es hitam di depannya, membuat Risa menelan saliva gugup. “Shouhei... sungguh. Tadi itu tidak penting sama sekali.” “Risa. Abdullah,” ejanya dengan nada menek
Risa Abdullah pikir kalau acara bermain golf kedua pria beda generasi itu akhirnya selesai, maka mereka akan langsung pulang ke rumah. Nyatanya tidak demikian, keduanya lanjut dengan sesi makan malam bersama pada sebuah restoran mahal di sebuah hotel tak jauh dari tempat golf sebelumnya.“Aku senang dengan konsep yang kamu berikan, anak muda. Besok kita lihat saja bagaimana acaranya berlangsung meriah,” puji Pak tua CEO, menyisip teh hangatnya dengan wajah penuh senyum.“Tentu saja kami akan memberikan yang terbaik kepada klien terbaik kami,” balas Shouhei dengan penuh sikap dewasanya.Risa yang tengah menikmati makanannya usai stres gara-gara telepon Andres dan juga ucapan Shouhei, hanya melirik kedua orang tersebut bercakap-cakap sejak tadi.Perusahaan mereka memang berjalan di bidang iklan, tapi juga memiliki bidang konsultasi dan penawaran ide bagi perusahaan terkait yang ingin mengambil paket khusus.Shouhei Shiraishi dengan mudahnya menawarkan hal itu kepada Grup Shine Star, mes
Keesokan harinya, Sabtu ini Risa Abdullah bangun sangat pagi, bahkan meski kemarin banyak kejadian menyebalkan, malam harinya dia tidur dengan memeluk boneka-boneka yang diberikan oleh Shouhei kepadanya, termasuk gantungan pewangi mobil yang dulu dimintanya gara-gara bersikap canggung.Semua benda-benda yang ada bersamanya semalam, membuat hatinya sedikit lebih tenang, dan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak.Apalagi ketika teringat gombalan maut Shouhei yang akan membelikannya 5 pulau pribadi.Risa merasa itu sangat konyol dan tidak masuk akal, tapi cukup menghiburnya.Wanita ini berpikir, ternyata Shouhei tidak sedingin es abadi, karena ternyata dia bisa juga bercanda. Namun, yang tidak Risa ketahui adalah Shouhei Shiraishi bukanlah pria yang suka bercanda, apalagi jika hal terkait janjinya kepada wanita yang dicintainya.Begitu turun dari lantai 2 dan selesai berpakaian lengkap, Risa sangat berseri-seri hingga menarik perhatian ibunya.“Waduh, kamu seperti senang sekali hari ini. A