“Selamat pagi!” sapa seorang wanita berambut pendek kepada Risa yang baru saja duduk di kursi kerja.
“Pagi!” balas Risa dengan senyum cerah. Tapi, begitu wanita tadi berlalu, wajahnya seketika ditekuk suram.
Suasana kantor masih terbilang sepi, perempuan ini memang terbilang paling rajin jika terkait mengejar masa depannya.
Sejak kecil, Risa selalu berusaha yang terbaik, termasuk juga masalah percintaan. Namun, Tuhan sepertinya berkehendak lain.
Mau sekeras apa pun dia berusaha sama seperti dia belajar mati-matian dan mengejar karir, tetap saja kisah cintanya selalu gagal. Sekarang, ayahnya datang dengan proposal perjodohan demi menolong perusahaan mereka yang hampir bangkrut.
Sebenarnya, Risa enggan melakukan perjodohan. Tapi, jika dia tidak melakukannya, maka seluruh karyawan perusahaan pasti akan terancam diberhentikan tanpa pesangon. Jika itu sampai terjadi, kemungkinan kerusuhan hebat akan menghantui perusahaan, sudah pasti rumah dan anggota keluarga mereka akan menjadi sasaran kemarahan tiada habisnya dari banyak orang.
Membayangkannya saja sudah membuat Risa berkecil hati dan kehilangan semangat. Nasib banyak orang berada di tangannya, termasuk keluarganya sendiri.
Risa menelungkupkan badannya di atas meja kerja, menatap malas buku-buku kecil yang berisi perencanaan kerja yang sangat rapi dan terarah untuk bulan ini. Dia sangat ahli mengatur pekerjaannya sampai mungkin bisa dijuluki sebagai karyawan teladan.
Andai saja kisah percintaannya semudah itu dikendalikan....
Tanpa sadar, Risa tertidur di meja. Selama hampir satu jam, Risa tenggelam ke alam mimpi. Tidak lama kemudian, seseorang membangunkannya ketika suasana kantor mereka mulai terlihat ramai.
“Ris? Risa? Bangun, dong!” tegur suara seorang wanita.
Risa membuka mata dengan sorot mata tidak fokus. Air liurnya menetes di salah satu sudut bibir dan membasahi meja.
“Bangun! Bisa gawat kalau bos melihatmu tertidur, kan?!”
Suara cemas itu membuat mata Risa terbelalak hebat. Buru-buru, dia pun menegakkan punggung, menghapus cepat air liur di sudut bibirnya.
“Oh! Terima kasih, Vera!” ucap Risa pelan, perasaannya sangat kacau karena dipaksa bangun.
Vera, teman kerjanya adalah seorang wanita dengan tubuh semampai dan rambut sebatas bahu yang diikat satu. Wanita itu mengenakan sifon hitam sebatas siku dan rok merah cerah.
“Apa kamu sudah menyelesaikan materi presentasi kita hari ini?”
“Um! Sudah,” jawabnya cepat, dan segera mengaduk-ngaduk isi tasnya. Risa mengambil sebuah Flashdisk merah, menyerahkannya kepada perempuan bernama Vera tadi.
“Astaga! Kamu yang terbaik, Risa!” pujinya dengan wajah berseri-seri, meraih flashdisk tersebut, lalu mencubit-cubit gemas kedua pipinya. “Ok! Kalau begitu aku akan segera menyiapkan materi rapat kita sore ini!”
Risa hanya tersenyum cengengesan diperlakukan gemas seperti anak kecil polos.
Vera melambaikan tangan dan bergegas menuju meja kerjanya, posisinya satu baris dengan meja Risa, hanya saja dipisahkan oleh 3 meja lain di sana.
Risa bertopang dagu geli, menatap bersemangat teman kantor sekaligus merupakan teman kuliahnya dulu.
Keluarga Abdullah sebenarnya memiliki sebuah perusahaan besar di negara ini, Grup Sucipto. Tapi, itu adalah perusahaan yang tidak sesuai dengan apa yang ingin Risa tekuni.
Ayahnya, Abdullah Sucipto, mendirikan sebuah perusahaan makanan dan minuman yang terbilang cukup sukses. Bisa dibilang, keluarga Abdullah adalah keluarga yang cukup kaya dan terkenal di kalangan para pebisnis ulung dan konglomerat. Sayangnya, tidak ada satu pun teman kantornya yang mengetahui hal itu, kecuali Vera.
Kantornya pasti heboh kalau sampai mengetahui ada anak konglomerat bekerja di perusahaan mereka, bukan? Risa tidak suka disorot oleh banyak mata!
Ayahnya begitu berharap agar dirinya menjadi tumpuan untuk melanjutkan bisnis tersebut, karena Raza, putra satu-satunya keluarga mereka ingin sekali menjadi dokter dengan kecerdasan dan bakat yang dimilikinya.
Walaupun ditentang oleh keluarga dan tak mendapat dukungan apa pun, tapi dengan kemampuan otaknya yang luar biasa, maka Raza bisa mendapatkan beasiswa penuh dan menunjukkan kemampuannya sebagai calon dokter yang sangat menjanjikan.
Ketika Raza lulus dengan nilai yang memuaskan dengan gelar terhormat, serta banyak yang menawarinya pekerjaan di berbagai rumah sakit sebelum lulus kuliah, kedua orang tuanya pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
Oleh karena itu, Abdullah Sucipto menyerah, dan berharap anak perempuan satu-satunya menjadi penerus bisnisnya. Sayangnya, ternyata Risa lebih keras kepala daripada Raza. Dia malah memilih sebuah perusahaan iklan yang kini menjadi tempat untuk mengejar karir impiannya.
Hari itu, selama bekerja, Risa hanya bisa melamun seperti orang yang kehilangan kemampuan berpikir. Bahkan saat rapat presentasi pun, beberapa kali bos mereka menegurnya sampai semua mata anggota tim menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Benar-benar sangat tidak biasa!
“Ma-maafkan saya, Pak! Saya hanya sedikit lelah dan mengantuk saja.”
“Lain kali, tolong perhatikan kesehatanmu sendiri, Risa Abdullah. Jika tidak bisa mengerjakan semuanya, kamu bisa meminta bantuan dari rekan kerjamu yang lain, bukan?” balas pria yang sedang memimpin rapat, mengerutkan kening melihat Risa yang berdiri dari duduknya karena kaget.
“Baik, Pak! Maaf sekali lagi!” ucapnya cepat seraya menundukkan kepala meminta maaf kepada semua orang yang ada di sana.
Selama rapat berlangsung, Risa bengong hampir seperti orang yang berada di rumah sakit jiwa, alih-alih berada di kantor kesayangannya. Bagaimana ketua mereka tidak menegurnya?
Untung saja dia masih bisa berkilah dengan alasan kurang tidur gara-gara menyiapkan materi rapat selama seminggu penuh. Sebuah alasan yang bisa cepat diterima, mengingat proyek kali ini memang cukup berat dari perusahaan kelas atas.
“Kamu ini kenapa, sih? Tidak biasanya bersikap tidak profesional seperti itu,” keluh Vera ketika mereka berdua kini sudah berada di dapur kantor, sibuk di depan mesin pembuat kopi. “Untung kita semua maklum.”
Risa menghela napas lelah, wajah muram, duduk di sebuah meja dengan kedua bahu melorot. Membalas hal yang tidak ada kaitannya dengan topik pembicaraan. “Kamu bilang akan menikah akhir tahun ini, kan?”
Vera mengangguk cepat dengan wajah berseri-seri, lalu memberikan segelas kopi untuknya. “Kenapa? Apa pacarmu sudah mau melamarmu? Kali ini sudah tidak gagal lagi, kan? Aku tidak tahu kamu pacaran lagi. Siapa dia kali ini?”
Risa muram menatapnya, mata mendatar kesal, dan berkata dengan nada putus asa, “apaan? Sepertinya aku kena kutuk, deh. Kenapa setiap kali pacaran, semuanya gagal terus, ya?! Kamu tahu sudah berapa kali aku patah hati gara-gara ulah semua pria tidak berakhlak itu, kan? Aku sudah jomblo sejak awal tahun. Sudah muak menjalin hubungan yang tidak ada harapan sama sekali.”
Dengan ganas, Risa meniup kopi panas di gelas plastik putihnya, wajah terlihat menggemaskan meski agak mendung memikirkan kisah cintanya yang lebih parah daripada tragedi kapal yang tenggelam.
Sebelah kening Vera terangkat penasaran. “Lalu? Untuk apa tanya-tanya soal pernikahan?”
Keringat gelisah menuruni wajah Risa, mulut ditutup rapat-rapat. Kalau sampai wanita di depannya ini tahu bahwa dia sudah putus asa mencari cinta sejati, maka pasti akan mendapat omelan luar biasa dengan keputusannya yang pasrah menikah bak beli kucing dalam karung.
“Kenapa matamu menghindar begitu?” sindir Vera tajam, mulai mengendus sesuatu yang tidak bagus, alarm sensitifnya mulai bereaksi.
“Tidak. Tidak apa-apa, kok. Aku hanya penasaran sedikit dengan pernikahanmu nanti. Bukankah kalian baru saling mengenal selama 1 bulan?”
Vera tertawa bangga, begitu cerah.
“Lama atau tidaknya kenal, kalau sudah cinta, ya, langsung menikah saja! Buat apa pacaran lagi? Lagi pula, aku tidak mau bernasib sama sepertimu, wahai temanku! Umur kita sekarang sudah hampir 30, sudah sangat siap untuk punya anak!” terang Vera percaya diri, satu tangan menepuk pundak Risa. Mata tersenyum senang.
Risa sedikit panas dibuatnya, tapi hanya bisa mengalah.
Benar.
Risa memiliki prinsip ingin mengenal para calon suaminya terlebih dahulu alias para mantan pacarnya. Tapi, semuanya belum genap setengah tahun bersama, sudah kandas di tengah jalan. Berbagai kejadian dan alasan mewarnai tragedi kisah cintanya, mulai alasan klise seperti orang ketiga, selingkuh, sampai dijadikan tameng sebagai penutup kelainan seksual seseorang.
“Terus, kenapa kamu selama ini mengomporiku soal pacaran?”
“Risa, Risa. Kamu tidak mengerti. Aku dan Hadi itu sudah merasakan getar-getar cinta sejati sejak awal kami bertemu. Buat apa pacaran jadi prinsip kami? Kamu, kan, berbeda.”
Tiba-tiba Vera terdiam dengan muka pucat, sepertinya sadar sudah mengatakan hal yang tidak boleh dikatakan.
Wajah lawan bicaranya langsung menggelap mengerikan, mata menyipit seperti kucing ganas. “Maksudmu, aku berbeda karena suka bertemu pria-pria aneh?”
Keringat dingin menuruni pelipis Vera, berdeham canggung, “bu-bukan begitu.”
“Sudahlah, aku juga mengakui hal itu,” jelas Risa dengan helaan napas berat, lalu meminum kopinya meski masih panas menyengat bibir.
“Risa! Itu masih panas! Kamu gila?!”
“Ini bukan apa-apa!” ujar Risa dengan mata dipejamkan erat, menahan rasa terbakar di dalam mulutnya, karena di hatinya lebih panas lagi!
Sebentar lagi, hidupnya untuk selamanya akan berada di tangan pria asing yang tak dikenalnya sama sekali!
Gelas plastik kosong itu diremas kuat- kuat, wajah merajuk sedihnya mengeras menahan rasa kesal dan frustrasi. Mulut dimajukan. Tidak mengatakan apa-apa.
“Risa? Kamu sungguh baik-baik saja?” Vera menatapnya penuh prihatin.
Dengan isakan kecil, Risa menjawab dengan nada sedih, memelas tak berdaya menatap permukaan meja, tatapannya kosong, “sebenarnya, aku dijodohkan oleh ayahku.”
Vera mematung hebat!
“APAAA?!” serunya dengan kedua bola mata membesar kaget, spontan berdiri dari kursi mendengar kabar sangat mengejutkan itu.
***
Di saat yang sama, Shouhei Shiraishi yang sedang membaca laporan keuangan di ruang kantornya, memiliki firasat tidak enak. Hatinya gelisah dan merumit, kening mengencang kuat. Seolah-olah dia bisa merasakan apa yang sedang dialami oleh Risa di tempat lain.
Saking gelisahnya pria dengan wajah dingin menawan ini, gelas kopi yang diraihnya untuk diminum tiba-tiba saja tergelincir dari jari-jarinya yang lentik dan panjang, jatuh membasahi dokumen penting di atas meja.
“Tuan muda!” pekik sang sekretaris yang berdiri di dekatnya.
Shouhei menaikkan satu tangan, tanda dia baik-baik saja, mencegahnya mendekat.
“Bawakan laporan baru, dan bawakan segelas air dingin untukku.”
“Ba-baik!” ujar sang sekretaris gugup, berusaha tetap tenang.
Sekretaris pria buru-buru keluar melaksanakan perintahnya dengan wajah pucat, karena ekspresi Shouhei Shiraishi tampak tidak baik-baik saja. Seperti penuh dengan awan badai yang siap untuk membunuh orang!
Apakah hal itu ada kaitannya dengan perjodohan wanita yang disukainya?
Bosnya mulai berubah sejak mengetahui berita mengenai perjodohan mengejutkan Risa Abdullah.
Dia semakin dingin dan menakutkan!
Malam hari, di sebuah kafe, Risa duduk di dekat jendela menunggu pria yang katanya akan datang bertemu dengannya. Tentu saja sekedar untuk melihat rupa satu sama lain dan saling mengenal singkat. Tapi, ini sudah lewat 15 menit, pria itu belum juga muncul. Padahal, Risa sudah berdandan cetar membahana agar membuat pria itu terpikat, memberikan kesan baik dan sopan—atasan pakaiannya berupa lengan panjang putih dengan bordiran indah dan rok biru plisket sebatas betis. Rasanya, semua usahanya akan meleleh seperti es krim yang tidak enak dimakan. Malam ini, dia juga berdandan tidak biasa. Wanita itu menghela napas berat. Sangat kecewa dan sedih. “Harusnya dia yang menunggu di sini, bukan aku,” gumam Risa, mengeluh dengan wajah cemberut. Seorang pelayan yang berjalan di dekatnya memberikan senyum sopan sambil membawa pesanan meja lain, Risa hanya membalasnya dengan senyum canggung. “Ya, ampun. Dia beneran mau menikah tidak, sih?” Risa menatap layar ponsel, memeriksa pesan singkat pria
Hari berikutnya, Risa menjalani kegiatan kantornya dengan hati berbunga-bunga. Wanita ini bagaikan terbang ke sana ke mari seperti manusia bersayap, sangat penuh tenaga dengan wajah terus tersenyum lebar. Ini membuat para rekan kerjanya kembali terheran-heran. “Dia kenapa lagi, sih? Bukankah kemarin dia terlihat seperti mau mati saja?” celutuk seorang wanita di depan meja Vera. Vera, teman Risa hanya memiringkan kepalanya bingung, menatap Risa yang sibuk menggandakan setumpuk dokumen sambil bersenandung riang di ruang fotokopi. Dari sejak datang ke kantor pagi ini, temannya itu sudah diberi banyak tugas, dan sama sekali tidak menolak atau mengeluh sedikit pun. Malahan, dia bertanya kepada yang lain apakah ada yang bisa dibantu olehnya? Sambil bersandar, sambil melipat tangan di kursi melihat kelakuan ajaib Risa. “Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan yang disebutkannya itu?” Vera membayangkan kembali kejadian kemarin. Dia memang setuju jika Risa menikah cepat. Tapi, kalau m
Didesak dengan pesona pria berkacamata tipis itu, keduanya akhirnya membeli gelang tersebut dan kembali makan malam bersama. Pria berkemeja biru gelap tersebut menatap Risa yang makan dengan perlahan di depannya. “Kamu tidak suka?” Sang wanita menegakkan kepala. “Suka, kok. Sangat enak. Dagingnya benar-benar lembut.” Pria di depannya memiliki sikap yang sangat romantis, selain pintar dan begitu tampan. Bagaimana bisa dia makan seperti orang kesurupan? Malulah! Padahal dagingnya benar-benar bikin saliva Risa nyaris menetes-netes. Tapi, dia malah harus menjaga sikap di saat seperti ini. Bikin sakit hati saja! Dalam hati, Risa menangis kesal dan frustrasi! “Lantas, kenapa makannya hanya sedikit?” “Eng... itu... sayang sekali kalau kita harus berpisah dengan cepat,” cicitnya malu-malu, mata menghindari tatapan sang pria. Yah, sejujurnya bukan itu alasan utamanya. Selain menjaga image, dia kepikiran dengan perkataan Vera tadi siang. Adnan Budiraharja memang pria yang benar-benar se
“Loh, ada apa ini? Kenapa semuanya sangat sibuk?” Risa yang baru saja masuk ke kantor terheran-heran dengan para karyawan yang tampak sibuk mondar-mandir dalam keadaan panik dan gelisah. Apakah ada inspeksi mendadak? “Heh! Kamu ini! Kenapa suka sekali ketinggalan berita?” Vera tiba-tiba muncul dari belakang membawa setumpuk dokumen hingga setinggi dagunya. Risa masih kebingungan, kepala dimiringkan. “Memang ada apa, sih? Apa kita dapat klien menyebalkan lagi?” Dokumen bertumpuk tadi dihempaskan ke atas meja hingga terdengar suara debam keras di udara, Vera berkacak pinggang pada rok pensil hijau selututnya, satu tangan menyangga di atas meja lawan bicaranya. “Kita ada pergantian bos Senin lalu. Kamu tidak tahu berita besar semacam ini? Tidak membaca pesan grup lagi?” Risa memucat pelan, tersenyum kaku. Dia bukannya malas membaca pesan grup mereka. Tapi, semalam usai diajak oleh Adnan sibuk mengobrol online sejenak, Risa cepat-cepat tidur saking lelahnya setelah acara jalan-ja
“Kamu serius? Tidak ada yang membahasku satu pun?” Risa mengangguk cepat. “Kebanyakan nonton drama Korea, tuh, pastinya!” ledek Vera kesal, nadi di pelipisnya berdenyut nyaris meledak. Harga dirinya seolah diremehkan. Padahal, tadi sudah sangat heboh sampai bikin beberapa orang jadi iri, ternyata semua hanya menjilat kepadanya! Mentang-mentang dirinya ini adalah bagian keuangan! Wanita berambut sebahu ini terlihat kecewa mendengar pengakuan Risa, dia juga sudah membuat dirinya jadi sangat malu, tapi usahanya sia-sia. “Bos baru itu seperti apa, sih? Sial! Aku sibuk mengurus laporan, jadinya belum bisa ikut gosip di grup mana pun! Awas saja kalau dia tidak seheboh yang mereka bicarakan!” “Hahaha. Sepertinya harapan mereka terlalu tinggi gara-gara bos-bos di sini sudah tua-tua. Kalau pun masih muda, tapi sudah ada pasangan. Daging segar memang selalu menarik, kan? Jangan salahkan mereka. Kamu juga, sih, pake heboh pamer kado begitu di saat semua orang sibuk dengan hal lain. Mana sem
Sesampainya di depan rumah Risa, Adnan meminta maaf atas insiden hari ini. “Tidak apa-apa! Sungguh! Itu, kan, bukan salah siapa pun? Kecelakaan semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, kok! Jangan terlalu dipikirkan.” Risa menggerak-gerakkan tangannya di udara, menolak permintaan maaf Adnan yang tampak memasang wajah murung dan gelap. “Aku minta maaf. Kamu mendapat hari yang tidak menyenangkan. Harusnya, ini menjadi kencan yang menakjubkan,” jelasnya dengan nada sedih. Tanpa disangka-sangka oleh Risa, pria yang kini hanya memakai kemeja putih tanpa jas mewah itu mulai memeluknya kuat-kuat. Risa gelagapan, salah tingkah. “A-Adnan... nanti ada yang lihat...” keluhnya sembari mencoba lepas dari pelukan sang pria. “Oh, maaf,” balasnya dengan wajah malu-malu. Risa tertegun kaget melihat ekspresi wajahnya, sangat tampan dan menggemaskan. Seketika saja sosok marah-marah menakutkannya tadi hilang dalam sekejap. “Ternyata Adnan punya karakter yang unik, ya?” puji Risa yang diiringi
Risa terdengar tertawa kaku tidak enak hati di seberang sana, makanya hanya bisa bergumam pelan ‘um’. Merasa Risa mulai menjaga jarak dengannya, Adnan segera mengambil alih. “Ada apa meneleponku pagi-pagi begini?” Risa mulai panik mendengarnya, menatap hadiah di tangan, merasa ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan itu. “Kenapa diam saja?” ledek sang pria dengan tawa rendahnya yang renyah. “I-itu Adnan... um... apa kamu yang memberiku hadiah akhir-akhir ini?” Dengan mata terpejam kuat, Risa akhirnya memberanikan diri menanyakan hal memalukan tersebut. Kalau bukan dari Adnan, bagaimana dia akan menjelaskannya? Kalau bukan dari Adnan, pria itu pasti berpikir dirinya sangat berharap dalam hubungan ini sampai merasa kegeeran, kan? Tidakkah itu agak memalukan meski mereka sudah mau menikah? “Hadiah?” “I-iya. Hadiah. Kemarin ada hadiah buku dan polpen, serta bunga tulip hias. Um... hari ini ada hadiah lagi. Lebih mahal daripada sebelumnya, kalung berlian dan cokelat. Juga masih ad
Bu Sari menekuk tubuhnya di depan pembatas meja, bertopang dagu tepat di depan meja Risa, dan berkata pelan penuh rayuan, “aku ini tidak begitu murahan, Risa. Tidak seperti mereka yang suka menjilat orang-orang demi keuntungan pribadi. Kamu tahu, kan, aku ini suka dengan barang-barang bermerek. Aku hanya ingin tahu lebih banyak apa-apa saja yang sudah diberikan olehnya kepadamu. Anggap saja aku sedang melakukan riset. Ini demi keuntungan perusahaan juga, kan?” Mulut Bu Sari sungguh licin seperti belut. Orang-orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman, tapi ada kebenaran dalam suaranya, tidak bisa membuat mereka protes karenanya. Risa menatapnya datar dan malas. Bu Sari sudah berkedip-kedip manja untuk merayunya, tapi wanita berambut hitam sepunggung ini tidak tergerak sedikit pun. Bagaimana dia ingin menceritakan semuanya? Mereka saja baru bertemu! “Bu Sari, mohon maaf. Tapi, saya baru berkenalan dengan pria itu. Dia adalah pria yang dijodohkan dengan saya. Jadi, maafkan saya jik