Risa terdengar tertawa kaku tidak enak hati di seberang sana, jadi hanya bisa bergumam pelan ‘um’.
Merasa Risa mulai menjaga jarak dengannya, Adnan pun mengambil alih: “Ada apa meneleponku pagi-pagi begini?”
Risa mulai panik mendengar pertanyaan itu, menatap hadiah di tangannya, merasa ragu-ragu dan takut menjawab pertanyaan itu.
“Kenapa diam saja?” ledek sang pria dengan tawa rendahnya yang renyah.
“I-itu Adnan... um... apa kau yang memberiku hadiah akhir-akhir ini?”
Dengan mata terpejam kuat, Risa akhirnya memberanikan menanyakan hal memalukan itu.
Kalau bukan dari Adnan, bagaimana dia menjelaskannya?
Kalau bukan dari Adnan, pria itu pasti berpikir dirinya sangat berharap dalam hubungan ini sampai merasa kegeeran, kan?
Tidakkah itu agak memalukan meski mereka sudah mau menikah?
“Hadiah?”
“I-iya. Hadiah. Kemarin ada hadiah buku dan polpen. Um... hari ini ada hadiah mahal, kalung berlian dan cokelat. Juga ada bunga tulip untukku. Itu... dari kamu, kan?”
Risa deg-degan parah.
Kacaulah kalau ini bukan dari Adnan!
Sesaat hening.
“Adnan?” sahut Risa ragu-ragu.
“Oh. Itu. Tentu saja itu dariku. Apa kau suka?”
Hati Risa mengembang dengan cepat, layaknya sebuah dentuman supernova dahsyat di alam semesta. Sekujur tubuhnya gemetar terlalu bahagia.
“A-aku suka! Aku suka! Tapi, kalung itu terlalu mahal. Kenapa kasih hadiah seperti itu, sih?”
“Tidak apa-apa. Bukankah aku sudah bilang aku ingin memanjakan wanitaku?”
DEG
DEGDEG
Jantung Risa rasanya sudah mau melompat dan kabur, terbayang wajah ramah dan tampan pria itu.
“Te-terima kasih. Kalau begitu aku tutup dulu. Nanti kita bicara lagi. Istirahatlah yang baik.”
“Um. Asslamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Risa mengakhiri percakapan itu dengan dada berdebar kuat, bersandar di dinding dengan wajah terpana tidak percaya. Ponsel dan kotak perhiasan itu dipeluknya di dada.
“Ternyata benar itu dari Adnan...” gumamnya dengan perasaan berbunga-bunga, raut wajahnya termenung dalam penuh keharuan menatap lantai di bawahnya.
Kembali ke penthouse Adnan.
“Apa dia itu calon istrimu?” goda sang wanita di dekat Adnan yang tengah menghisap rokoknya.
“Bukan urusanmu.”
Sang wanita mendengus pelan, “sejak kapan kau begitu romantis? Hadiah? Kau bukan tipe pria semanis itu. Apa dia sudah tahu betapa ganasnya kau ini di atas ranjang? Itu seharusnya hadiah yang lebih cocok darimu.”
Adnan meliriknya tajam dan dingin, tapi diabaikan saja oleh sang wanita, memeluknya lebih erat.
Pikiran Adnan melayang pada ucapan Risa.
Hadiah-hadiah itu bukanlah darinya.
Jelas itu dari orang lain, tapi Adnan tidak mau Risa tahu.
Walaupun dia sempat membelikan wanita itu gelang seharga 10 juta, itu sebenarnya hanyalah sebuah simbolis. Dia bukan membelinya untuk menyenangkan hati calon istri yang tidak diinginkannya itu, melainkan merupakan langkah untuk membeli kepercayaannya secara tidak langsung.
Seperti kata wanita di sebelahnya, dia bukan tipe pria manis atau pun romantis.
Itu bukan gayanya!
Tidak masalah bukan jika dia mengklaimnya sebagai hadiah darinya? Wanita itu juga tampaknya senang dan penuh harap di telepon.
Siapa pria yang suka kepada wanita biasa sepertinya jika bukan dirinya ini?
Dalam hati, Adnan tertawa dingin mengejek.
Palingan itu adalah kerjaan ayahnya yang setengah mati ingin mencarikannya pasangan hidup, jadi mungkin saja tengah mencoba mewakili dirinya untuk membuat hati sang wanita menjadi luluh.
Dengan berpikir begini, Adnan tidak ambil pusing lagi masalah yang sangat membuat Risa kepikiran dan tidak nyaman itu.
Pria ini memiliki kepribadian praktis, jadi tidak mau memikirkan hal-hal berat. Jika bisa mengambil keuntungan dari suatu hal atau seseorang, kenapa tidak?
“Mau satu ronde lagi, tidak?” goda sang wanita, mengelus pelan lengan sang pria, senyumnya nakal dan genit.
Adnan mendengus pelan.
“Boleh juga.”
Risa mungkin sempat membuatnya tersentuh semalam dan ingin menciumnya alih-alih ingin mengerjai dan membuatnya menderita, itu adalah nilai plus untuknya di mata Adnan sejauh ini. Tapi kalau urusan ranjang, itu lain lagi.
Belum ada wanita yang bisa memuaskannya sampai merasa benar-benar kenyang sampai detik ini, bahkan dia menilai Risa juga jauh dari standar itu. Wanita polos itu hanyalah makanan ringan di sela-sela bosannya.
Selimut putih dan empuk itu mulai bergerak kacau dan diiringi suara 2 manusia yang membuat kuping orang-orang menjadi merah mendengarnya.
Di sebuah pesawat jet pribadi, di waktu yang sama.
“Apakah dia senang dengan hadiahnya?” tanya Shouhei sembari membaca laporan di depannya. Wajah dingin dan tampan pria berkemeja hijau cobalt gelap ini terlihat serius.
Sang pria muda yang berdiri di dekatnya berkata dengan pelan.
“Ya, tuan muda. Nona Risa sangat suka hadiahnya. Tapi... ada satu masalah...”
Mata Shouhei melirik pelan ke arah sekertaris pribadinya, Renji Makoto.
“Masalah?”
Renji menelan saliva kuat-kuat.
Mata saling tatap dengan sang bos, keringat dingin menuruni punggungnya. Senyum kaku terpasang di wajah gelisah pria muda ini.
***
Hari Sabtu pagi, Risa tersenyum-senyum lebar menjejakkan kakinya memasuki kantor.
Minggu ini rasanya adalah minggu paling membahagiakan baginya sebagai seorang wanita.
Sungguh bahagianya Risa saat ini!
Kabar soal pacar kayanya dengan hadiah elitnya sudah menyebar ke seluruh kantor!
Yah, walau sebenarnya mereka belum ada hubungan apa-apa, sih, selain status mereka masing-masing masih calon suami-istri yang belum resmi.
Tidak seperti kasus Vera sebelumnya, kali ini benar-benar membuat mereka satu kantor mulai bergosip ria tentangnya ketimbang bos misterius mereka.
Itu tidak lain karena kalung berlian yang menjadi sorotan semua mata.
Harganya selangit, bahkan orang yang maniak perhiasan di kantor itu sempat memeriksanya dan menilai itu adalah berlian asli dengan kualitas tinggi!
Ketika Vera mendapat pertanyaan bak selebriti bertemu wartawan dari orang-orang di sana, akhirnya terkuak sandirawanya beberapa hari lalu. Tambah kagumlah mereka semua dan mulai merasa iri dengan nasib baik Risa.
“Lihat! Ratu kita sudah tiba rupanya!” sindir seorang karyawan wanita bertubuh gemuk, dari gaya bicara dan bahasa tubuhnya sepertinya sengaja ingin menjilat kepada Risa.
“Eitss! Bu Sari! Jangan dekat-dekat! Tidak boleh secepat itu!” seru Vera penuh semangat, meraih tubuh Risa yang baru saja ingin duduk di kursi. Tangan wanita berambut pendek sebahu ini mengarah kepada wanita tadi seolah hendak menghentikan mobil di tengah jalan.
“Memang kenapa? Semua orang mau dekat-dekat dengan Risa, kan? Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya?” rajuknya dengan nada manja menyebalkan.
Penampilan wanita baru ini sedikit nyentrik dengan kacamata merah lancip dan rambut hitam keriting sebahunya. Ada sebuah tahi lalat di sudut bibir kirinya, membuat kesan dirinya jadi lebih menyebalkan dengan pakaian yang selalu bermotif polkadot.
Wanita polkadot ini adalah wanita yang sudah memeriksa keaslian kalung berlian milik Risa, dan juga wanita yang berada di bidang khusus iklan bagi barang-barang merek ternama.
Dengan angkuh dan bangganya, Vera menggosok bawah hidungnya dan berkata tegas, “dia ini adalah harta karun perusahaan kita! Harus dijaga baik-baik! Aku dengar, calon suaminya adalah pria dari kalangan kelas atas. Bukan begitu, Risa?”
“Ve-vera! Kamu gosip apa, sih, dengan mereka?” keluhnya tidak enak hati, melepas tangan lawan bicaranya, duduk dengan gelisah di kursinya, pura-pura mulai sibuk dengan wajah malu-malu.
Beberapa orang tidak berani mendekat, karena Bu Sari ini terkenal cukup galak dan benar-benar sangat kepo. Apalagi saat sudah tahu kualitas kalung yang diberikan kepada Risa, dia dalam hati sudah tahu kalau itu tidak bisa dibeli sembarangan oleh kalangan biasa. Jadi, tidak perlu Vera jelaskan, dia sudah tahu orang macam apa yang memberikan hadiah istimewa itu.
Bu Sari menekuk tubuhnya di depan pembatas meja, bertopang dagu tepat di depan meja Risa, dan berkata pelan penuh rayuan, “aku ini tidak begitu murahan, Risa. Tidak seperti mereka yang suka menjilat orang-orang demi keuntungan pribadi. Kau tahu, kan, aku ini suka dengan barang-barang bermerk. Aku hanya ingin tahu lebih banyak apa-apa saja yang sudah diberikannya padamu. Anggap saja aku sedang melakukan riset. Ini demi keuntungan perusahaan juga, kan?” Mulut Bu Sari sungguh licin seperti belut. Orang-orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman, tapi ada kebenaran dalam suaranya, tidak bisa membuat mereka protes karenanya. Risa menatapnya datar dan malas, sudah berkedip-kedip manja untuk merayunya, tapi wanita berambut hitam sepunggung ini tidak tergerak sedikit pun. Bagaimana dia ingin menceritakan semuanya? Mereka saja baru bertemu? “Bu Sari, mohon maaf, tapi saya baru berkenalan dengan pria itu. Dia adalah pria yang dijodohkan dengan saya, ja
“Kau tidak suka? Apa ini benar-benar berlebihan? Aku pikir ini romantis.” Raut wajah Adnan langsung menampilkan senyum manis dan hangatnya. Melihat itu, hati Risa langsung lega. Dengan cepat ia menyimpulkan bahwa semua ini memang benar adalah hadiah dari calon suaminya ini. “Um. Aku sangat menghargai semua pemberianmu, tapi lain kali sungguh tidak usah yang seperti ini, ya! Takutnya ada gosip yang tidak enak menyebar di kantor. Kau tahu, kan, kalau ada gosip tidak enak bisa bikin kinerja jadi terganggu.” Adnan hanya mengangguk pelan, senyumnya terus melekat, sama sekali tidak banyak bicara usai Risa memperlihatkan foto-foto itu. Sang pria hanya memerhatikan Risa menggulir media sosialnya sambil menjelaskan hadiah-hadiah yang diterimanya itu dan mengeluh soal beberapa teman kantornya yang mulai dekat-dekat hanya untuk menjilat kepadanya. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan bertemu dengan mereka.” Adnan berkata singkat begini
Dengan cepat Risa berbalik menghadap Gina, menjelaskan kejadian salah paham itu. “A-aku tadi keseleo, tidak sengaja jatuh seperti tadi!” ucapnya dengan nada suara gugup, berjalan dengan kaki tertatih sembari mendorong dokumen ke dada sekertaris Gina. Wajah merajuk sebal tertahan, melototkan mata seolah menyuruh Gina agar tidak berpikir macam-macam. Wanita berpakaian hitam-putih khas sekertaris itu hanya bisa terbodoh mendapat serangan tiba-tiba wanita di depannya. “La-laporan dari nona Vera!” sahut Risa dengan suara keras dan lantang, wajahnya sudah memerah nyaris mengeluarkan asap. “Ba-bagaimana mungkin kau sebagai sekertaris meninggalkan tempatmu begitu lama? Kalau tamu kita bukan orang yang sabar dan baik hati, kau pasti sudah kena masalah besar! Pak Sudirman mungkin akan memecatmu!” Risa tidak bisa menghentikan mulutnya yang cerocos tidak terkendali akibat salah tingkah kedapatan dalam posisi memalukan barusan. Siapa pun bisa menil
Ciri khas permainan ini adalah adanya seorang Osama atau Raja dalam bahasa Jepang yang didapat dari hasil undian sumpit. Sisanya adalah anak buah yang akan mendengarkan apa saja yang diperintahkan oleh Osama tersebut. “Saya harap Pak Shouhei terhibur dengan acara sambutan ini. Saya tahu ini tidak sehebat dan semewah yang mungkin Anda harapkan, tapi saya sudah mencoba yang terbaik,” ungkap seorang atasan gendut dan pendek, kepalanya sudah botak licin di atas dengan pinggiran dihiasi rambut tipis-tipis. Dengan bangga dan sopan memberikan minuman soda ke gelas Shouhei yang sudah terlihat hampir kosong. “Terima kasih. Saya suka acara ini. Ini sudah terlalu mewah. Seharusnya kalian tidak usah menyiapkan acara sambutan yang merepotkan kalian.” “Ahahaha! Sama sekali tidak merepotkan! Kami senang jika Pak Shouhei mendapat yang terbaik. Mari silahkan diminum!” pujinya sembari meraih gelas tadi dengan kedua tangan dalam gaya tata krama memberi minuman ala orang Jepang.
Bu Sari sialan! maki Risa dalam hati, sudah panas bagaikan ketel mendidih, tapi ditahan mati-matian. Dia tahu ini adalah jebakan untuknya agar bisa menggali lebih dalam soal siapa pria kaya yang sudah menjadi kekasihnya itu. Tapi, dia pikir dia tidak berani melakukan tantangan ini?! Cih! Semua orang tahu kalau ini hanyalah tantangan! Hanya sebuah permainan untuk menghibur mereka! Tidak benar-benar serius! Akal sehat Risa akhirnya kembali ke tempatnya. Dia lebih memilih gulungan kertas itu, karena takut dipermalukan di depan banyak mata dengan label dirinya yang sudah akan menikah. Apa jadinya kelak kalau sudah bicara banyak tapi ternyata pernikahannya batal? Itu memang adalah perjodohan bisnis, tapi tidak ada yang bisa menjamin masa depan akan seperti apa. Berpikir begini, Risa merasa lebih kuat dalam hati. Mana mungkin bosnya akan marah, kan? Dia hanya akan melakukan apa yang tertu
“Bicara apa kau?” balas Risa berbisik kesal, pura-pura tersenyum seperti orang sakit gigi kepada orang-orang yang melihat ke arahnya dengan pandangan menarik dan penasaran. “Psst! Risa! Coba saja!” bisik Bu Sari dengan sebelah mulut ditutupi tangan kanan, terlihat jelas matanya bersinar. Risa langsung terbakar hebat melihat ulahnya yang sudah menaruhnya dalam masalah. Dia benar-benar tidak ingin membuatnya bernapas lega, ya? “Apa lagi yang kau tunggu?” ujar Shouhei dengan nada dalam penuh desakan, wajahnya terlihat serius. Risa tersenyum kaku ke arahnya, matanya meminta tolong kepada orang-orang yang ada di meja, tapi mereka malah terlihat memberikan kode agar segera maju saja ke sana. “Apa harus aku yang ke sana?” “Ti-tidak usah, Pak! Biar saya yang ke sana!” tolak Risa cepat. Vera lalu mengembalikan kertas tadi ke tangan Risa, berbisik pelan, “semoga beruntung!” Beruntung kepalamu! maki Risa kesal membatin, me
“Ya. Tentu saja. Keberaniannya patut diacungi jempol. Mari bersulang untuk keberanian nona Risa.” Para atasan yang tidak menyangka bos baru mereka akan mengangkat gelas di udara, buru-buru menyambut gerakan itu. “Terima kasih. Terima kasih,” ujar Risa dengan wajah penuh senyum dan bangga, meski dalam hati sangat bingung dengan keberuntungannya itu. Apakah dia kasihan kepadanya? “Ah, baiklah! Kalau begitu, kembalilah ke tempatmu. Benar-benar bikin kaget saja!” perintah seorang atasan yang ada di dekat Risa, buru-buru ingin menyingkirkan Risa yang bisa dilihatnya menahan rasa gelisah dari tadi dan tidak nyaman karena efek mabuknya. Kedua kaki wanita ini bergerak-gerak di balik punggungnya, dan rasa kasihan karena dipikirnya sedang dikerjai berlebihan akhirnya menyentuh hatinya. Dengan wajah dan nada riang, kedua pipi memerah lembut, Risa membalasnya sembari tersenyum , “terima kasih, Pak! Permi—“ TAP! Ketika Risa sudah me
“Ma-maaf, Pak Shouhei. Ta-tangan saya?” bisiknya mendekat kepada sang pria. Shouhei menoleh, memberikan senyum dingin dan manisnya, langsung saja berkata, “kenapa? Bukankah jika sepasang kekasih adalah hal lumrah untuk duduk bersama?” DOENG! Seketika saja Risa terbengong mendengarnya. Semua orang di ruangan itu sekali lagi dikagetkan dengan adegan di luar perkiraan itu. Semua mata menatap ke arah mereka berdua: tidak berkedip, tidak bergerak, dan tidak mengelurkan sepatah kata pun. Wajah-wajah mereka benar-benar diliputi kebingungan seperti orang bodoh. Adegan itu pecah ketika seorang atasan yang hendak memakan tempuranya, tergantung di depan mulutnya yang terbuka, jatuh dan mengenai sup miso di depannya. “Aduh! Kena sudah kemeja mahalku ini!” keluhnya dengan nada panik, buru-buru meraih tisu dan mengelapnya cepat-cepat. Spontan saja semuanya menjadi kikuk dan salah tingkah, pura-pura mengalihkan pandangan dan sibuk sen