Ciri khas permainan itu adalah adanya seorang Osama atau Raja dalam bahasa Jepang yang didapat dari hasil undian sumpit. Sisanya harus berperan sebagai anak buah yang akan mendengarkan apa saja yang diperintahkan oleh Raja tersebut. “Saya harap Tuan Shiraishi terhibur dengan acara sambutan kami. Saya tahu ini tidak sehebat dan semewah yang mungkin Anda harapkan, tapi saya sudah mencoba yang terbaik,” ungkap seorang atasan gendut dan pendek, kepalanya sudah botak licin di bagian atas dengan pinggiran dihiasi rambut tipis-tipis. Dengan bangga dan sopan menuangkan minuman soda ke gelas Shouhei yang sudah terlihat hampir kosong. “Terima kasih. Saya suka acaranya. Ini sudah terlalu mewah. Seharusnya kalian tidak perlu menyiapkan acara sambutan yang merepotkan.” “Ahahaha! Sama sekali tidak merepotkan! Kami senang jika Tuan Shiraishi mendapat yang terbaik. Mari silakan diminum!” pujinya sembari meraih gelas tadi. Kedua tangan melakukan gerakan gaya tata krama memberi minuman ala orang Jepa
‘Bu Sari sialan!’ maki Risa dalam hati, sudah panas bagaikan ketel mendidih, tapi ditahan mati-matian. Dia tahu dan sangat yakin ini adalah jebakan untuknya agar bisa menggali lebih dalam soal siapa pria kaya yang sudah menjadi kekasihnya. Tapi, dia pikir dia tidak berani melakukan tantangan ini?! Cih! Semua orang tahu kalau ini hanyalah tantangan! Hanya sebuah permainan untuk menghibur mereka! Tidak benar-benar serius! Akal sehat Risa akhirnya kembali ke tempatnya. Dia lebih memilih gulungan kertas itu, karena takut dipermalukan di depan banyak mata dengan label dirinya yang sudah akan menikah. Apa jadinya kelak kalau sudah bicara banyak tapi ternyata pernikahannya batal? Itu memang adalah perjodohan bisnis, tapi tidak ada yang bisa menjamin masa depan akan seperti apa. Berpikir begini, Risa merasa lebih kuat di dalam hati. Mana mungkin bosnya akan marah, kan? Dia hanya akan melakukan apa yang tertulis di kertas bodoh itu demi hiburan seisi ruangan ini! Tidak mungkin akan
“Bicara apa kamu?” balas Risa berbisik kesal, pura-pura tersenyum seperti orang sakit gigi kepada orang-orang yang melihat ke arahnya dengan pandangan menarik dan penasaran. “Psst! Risa! Coba saja!” bisik Bu Sari dengan sebelah mulut ditutupi tangan kanan, terlihat jelas matanya bersinar. Risa langsung terbakar hebat melihat ulahnya yang sudah menaruhnya dalam masalah. Dia benar-benar tidak ingin membuatnya bernapas lega, ya? “Apa lagi yang kamu tunggu?” ujar Shouhei dengan nada penuh desakan dan terkendali, wajah dinginnya terlihat serius. Risa tersenyum kaku, matanya meminta tolong kepada orang-orang yang ada di meja, tapi mereka malah terlihat memberikan kode agar segera maju saja ke depan. “Apa harus aku yang ke sana?” tanya Shouhei dalam pembawaan tenang. “Ti-tidak usah, Pak! Biar saya yang ke sana!” tolak Risa cepat. Vera lalu mengembalikan kertas tadi ke tangan Risa, berbisik pelan, “semoga beruntung!” ‘Beruntung kepalamu!’ maki Risa kesal membatin, meremas kuat kertas
“Ya. Tentu saja. Keberaniannya patut diacungi jempol. Mari bersulang untuk keberanian nona Risa.” Para atasan yang tidak menyangka bos baru mereka akan mengangkat gelas di udara, buru-buru menyambut gerakan itu. “Terima kasih. Terima kasih banyak,” ujar Risa dengan wajah penuh senyum dan bangga, meski dalam hati sangat bingung dengan keberuntungannya sendiri. Apakah dia tiba-tiba kasihan kepadanya? “Ah, baiklah! Kalau begitu, kembalilah ke tempatmu. Benar-benar bikin kaget saja!” perintah seorang atasan yang ada di dekat Risa, buru-buru ingin menyingkirkan Risa yang bisa dilihatnya menahan rasa gelisah dari tadi dan tidak nyaman karena efek mabuknya. Kedua kaki wanita itu bergerak-gerak gelisah di balik punggung, dan rasa kasihan karena dipikirnya sedang dikerjai berlebihan, akhirnya menyentuh hati sang atasan. Dengan wajah dan nada riang, kedua pipi memerah lembut, Risa membalasnya sembari tersenyum , “terima kasih, Pak! Permi—“ Syok! Ketika Risa sudah memiringkan tubuhnya sam
“Ma-maaf, Pak Shiraishi. Ta-tangan saya?” bisiknya mendekat kepada sang pria. Shouhei menoleh, memberikan senyum dingin dan manis, langsung saja berkata, “kenapa? Bukankah jika sepasang kekasih adalah hal lumrah untuk duduk bersama?” Syok! Seketika saja Risa terbengong mendengarnya. Semua orang di ruangan itu sekali lagi dikagetkan dengan adegan di luar perkiraan itu. Semua mata menatap ke arah mereka berdua: tidak berkedip, tidak bergerak, dan tidak mengelurkan sepatah kata pun. Wajah-wajah mereka benar-benar diliputi kebingungan seperti orang bodoh. Adegan itu pecah ketika seorang atasan yang hendak memakan tempuranya, tergantung di depan mulutnya yang terbuka, jatuh dan mengenai sup miso di depannya. “Aduh! Kena sudah kemeja mahalku ini!” keluhnya dengan nada panik, buru-buru meraih tisu dan mengelapnya cepat-cepat. Spontan saja semuanya menjadi kikuk dan salah tingkah, pura-pura mengalihkan pandangan dan sibuk sendiri, bahkan ada yang pura-pura batuk dan berdeham agar mengh
Vera menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya. Mengamati reaksi Risa. “E-eh? Ti-tidak. Tadi mau bersin, tapi tidak jadi. Hachim! Udara malam ini cukup dingin, ya?” jawabnya ke arah Vera, bukan kepada sang bos yang bertanya kepadanya. “Jika tidak ikut karokean. Apa kalian berdua sedang menunggu seseorang?” Risa lega, sang bos sepertinya membiarkannya begitu saja. Sambil menggosok bawah hidungnya sambil memeriksa pesan di layar ponsel. Dia telah menghubungi Adnan untuk mengingatkannya menjemput dirinya di restoran itu, tapi sampai sekarang masih belum dibaca olehnya. Apakah sudah tidur? Vera dan Shouhei masih bercakap-cakap kecil dan remeh, sementara wajah Risa semakin masam karena sudah hampir 5 menit berlalu sejak sang bos datang menyapa, dia masih saja melirik mengecek layar ponselnya tanpa ada notif apa pun. Beberapa karyawan yang berlalu di samping mereka sudah pamitan satu per satu, dan ketika hanya tersisa mereka di ruangan, Vera yang merasa sudah bangga akrab dengan bos baru
“Aku sungguh minta maaf. Semalam aku ketiduran karena kelelahan,” ujar Adnan Selasa esok paginya, menghentikan mobil di depan pintu masuk kantor Risa. Sang wanita hanya menggeleng tidak enak hati. “Tidak apa-apa. Adnan memang sibuk. Tidur lebih awal itu lebih baik.” “Semalam, kamu pulang baik-baik saja, kan? Tidak ada kejadian yang aneh-aneh?” Sang wanita langsung menggelengkan kepala cepat-cepat, tidak mau membahas dan teringat tragedi sialannya semalam yang mabuk, lalu melakukan hal gila kepada bos barunya yang aneh. Adnan memasang tampang pura-pura cemas yang alami. Alasannya yang barusan juga hanyalah kamuflase belaka. Malam Minggu jelas dia punya waktu ‘istimewa’ bersama gengnya di tempat lain. Dia sengaja tidak membuka pesannya karena sibuk dengan hal yang lebih menarik tentu saja. Adnan tersenyum kecil, mengusap sisi kepala sang wanita. Risa menunduk malu dengan hati berdebar kecil. “Aku akan menjemputmu nanti. Bagaimana? Kita makan malam hari ini sebagai permintaan maafk
Wanita berambut pendek yang bernama Aisyah Giandra itu langsung gagap dibanjiri keringat dingin, “Ka-Ka-Ka-Kak Risa?” “Halo! Icha, kan, nama panggilanmu? Boleh bicara sebentar?” Risa tersenyum lebar. Wajah sangat cerah menahan amarah. Namun, lawan bicara yang melihatnya seperti itu sudah merasa tidak enak hati. “Bu-bukan saya, Kak! Saya tidak bermaksud seperti itu! Sungguh!” pekiknya panik, wajah pucat kelam. Mata Risa mendatar malas, mengomentarinya dengan nada cuek, “tidak bermaksud begitu bagaimana?” Wanita berambut pendek dan berjaket biru itu menelan saliva kuat-kuat. “Jelaskan kepadaku, atau kamu akan menyesalinya hari ini juga!” ancam Risa serius. *** Di rooftop gedung perusahaan beberapa saat kemudian. “Sungguh, Kak! Saya tidak ada maksud buruk! Bu Sari bilang, katanya itu tidak akan menimbulkan masalah apa pun! Makanya saya cuma mengikuti perintahnya saja!” Icha berlutut di depan Risa yang duduk di bangku panjang sambil memeriksa isi ponselnya. Wanita muda itu tam