Aku bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah sebelum berangkat menuju kediaman majikan baruku. Ya, akhirnya aku tak punya celah untuk menolak menjadi pelayan pria itu, semoga saja tiga bulan ke depan berjalan dengan lancar tanpa ulah kejam pria bernama Max itu.
Sampai saat ini, rasanya aku masih belum percaya denga kenyataan bahwa pria itu buta. Entahlah, aku merasa aneh dengan diriku sendiri yang merasa iba padanya, padahal jika diingat kembali, kelakuan pria itu benar-benar menjengkelkan.
Aku menyusuri jalanan yang masih sepi. Tak heran karena jam masih menunjukkan pukul lima pagi.Kupacu langkah menuju gerbang yang menjulang tinggi, tempatku mulai sekarang mengais rejeki.
Sesampainya di dalam, aku segera menuju kamar pria itu yang sudah kuhapal saat berjalan keluar kemarin. Kuketuk pintu dengan perlahan, lalu terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhku segera masuk.
Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah seorang pria gagah yang berdiri menjulang menghadap cermin dengan handuk menggantung di pinggang.
Lakahku berderap kaku, menghampiri tuan baru yang tak bergeming karena kehadiranku.
"Hari pertama bekerja sudah terlambat. Dasar tidak becus!" cercanya tajam.
Aku seketika membeku, melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul lima lewat dua menit. Hei, aku tiba tepat jam lima. Tapi berbelok sana-sini di rumah sebesar ini juga memakan waktu.
"Cepat siapkan bajuku!" titahnya bringas.
Langkahku terayun jengkel, membuka lemari besar berwarna kuning emas. Mataku seketika disajikan dengan jejeran rapi pakaian dari merk-merk ternama.
Aku mengambil satu stel jas berwarna hitam untuk diserahkan pada Tuan Max yang terhormat.
Dahinya mengernyit dalam dengan rahang menegang kaku. "Celana dalamku mana?" hardiknya keras.
Aku berjengit kaget. Apa tadi katanya? Celana dalam? Apakah benda keramat itu juga harus aku yang menyediakan? Atau perlukah kutambahkan popok untuk bayi besarku ini? Benar-benar menggelikan.
"Kau mendengarku atau tidak?" sentaknya lagi.
Aku buru-buru melarikan diri menuju lemari pria itu lagi, dengan gerutuan luar biasa pelan yang aku lontarkan sepanjang jalan.
Kutarik salah satu lipatan segitiga berwarna gelap itu. Eh, tapi tunggu dulu, aku mendapati sesuatu yang menarik di sini. Segera kusambar kain berwarna merah cerah itu dan kembali menghadap pada sang juragan.
Tuan Max menerimanya dengan gerakan kasar, wajahnya memerah seperti tomat yang terlalu matang.
"Tutup matamu dan berbaliklah!" perintahnya galak.
Aku menurutinya tanpa banyak protes, seraya menutup rapat mulutku yang mati-matian menahan tawa.
"Berbalik dan pakaikan baju untukku! " titahnya.
Kuputar tubuh dengan gerakan lambat, berusaha menahan perut yang mulai melilit karena meredam tawa hebat. Namun, saat kulihat pria itu berdiri menjulang dengan kedua tangan berkacak pinggang disertai celana dalam merah cerah menutupi bagian terlarangnya, aku tak dapat lagi menyembunyikan suara tawaku. Aku membungkuk seraya menekan perutku yang terasa kram.
"Apa yang kamu tertawakan?" bentaknya marah.
Aku sedikit terkejut, tapi sisa-sisa tawaku masih terdengar. "Saya ... saya .... "
Tiba-tiba dia menyambar lenganku, membantingnya di dinding dengan tubuh menghimpit kuat. Aku menahan napas saat aroma mint seketika menyergap.
"Jangan berpikir kau bisa bermain-main denganku, Silvana," desisnya geram.
Tubuhku terasa kram saat bibir tipis kemerahan yang terlihat sexy itu menyebutkan namaku dengan aksennya yang kaku.
"Aku ... aku tidak sedang mempermainkan anda, Tuan," sahutku bergetar. Sungguh, ia terlihat sangat menyeramkan.
"Lalu apa yang kau tertawakan?" cecarnya.
"Maaf ... saya tidak akan mengulanginya lagi," ucapku sungguh-sungguh.
Jantungku hampir copot saat ia menghempaskan tubuhku dengan kasar, tubuhnya menjulang dengan dada naik turun menahan emosi henat.
"Cepat laksanakan tugasmu," ujarnya dingin.
Aku lekas bangkit berdiri, membantunya mengenakan kemeja putih polos yang melekat pas di tubuhnya. Kuabaikan getar halus yang menyerang kedua lututku, kebuasan pria ini memang tak dapat diragukan lagi.
Tiba-tiba saja Tuan Max menarikku, merapatkan tubuh dan mengendus bagian tengkuk yang seketika mengakibatkan bulu kudukku meremang.
Anehnya, kenapa dia bisa tahu posisiku dan menjangkau tepat sasaran?
"Sampo apa yang kau gunakan?" tanyanya rendah.
Aku mengerutkan dahi? Memangnya ada yang salah dengan bau kepalaku? Tak ada hal aneh-aneh yang kugunakan, hanya sampo biasa yang tersedia di warung dengan harga eceran lima ratus rupiah.
Belum sempat aku menjawab, pria itu sudah lebih dulu mendorongku menjauh. "Bau rambutmu membuatku sakit kepala," decaknya kesal.
Aku membulatkan mata sempurna. Yang benar saja, aku bahkan baru saja mencuci rambut sebelum berangkat ke sini.
"Cepat pakaikan celanaku!" titahnya lagi.
Aku mengatupkan bibir dongkol, selain kejam dan tak punya perasaan, ternyata dia juga sangat menyebalkan.
Perlahan, kuangkat sebelah kaki bayi besar ini dan memasukkannya ke celah kain hitam panjang miliknya, begitu juga dengan yang sebelah lagi. Lalu, kutarik celananya menuju pinggang, mengaitkan dengan tangan sedikit bergetar. Ah, Sialan. Benda apa yang terasa hangat dan kenyal ini?
"Besok, jika kau terlambat lagi, aku akan memotong sepuluh persen dari gajimu," ucapnya mengancam.
Aku tersentak dari pikiran anehku, lalu menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Saya tidak terlambat, hanya saja rumah Tuan terlalu besar," sahutku tak terima.
Dia mendengus sinis. "Alasan," gerutunya.
Aku ingin membalas saat suara ketukan di pintu membuatku beralih.
"Buka pintunya!" suruh sang bos besar.
Langkahku terayun menuruti perintahnya, kubuka pintu dan mendapati seorang pelayan mengantar makanan. Ia membungkuk sebelum berjalan melewatiku, meletakkan baki di sebuah meja kecil yang ada di sebelah ranjang pria itu.
"Mulai besok, kau yang harus menyediakan makanan untukku. Bukankah Jo sudah memberitahumu?" Suara Tuan Max terdengar lagi saat sang pelayan sudah mengundurkan diri.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, tepat pukul enam pagi. Baiklah, setidaknya aku sudah tahu waktu sarapan pagi pria ini.
"Baik, Tuan," jawabku sesopan mungkin.
Melihat sikap pelayan tadi yang begitu patuh dan hormat kepada Tuan Max, aku merasa jadi babu yang paling kurang ajar di sini. Tapi tak apa, itu balasan bagi siluman kasar yang menjelma menjadi manusia seperti bayi besar ini.
"Apa yang kau lakukan? Cepat suapi aku!" Geraman pria itu kembali terdengar.
Aku segera menghampirinya yang duduk di pinggiran kasur. Kuambil piring sarapan miliknya yang hanya terisi dua lembar roti segi empat, lengkap dengan krim strawberry di sebelahnya.
"Hanya roti biasa, kenapa harus minta disuapi?" tanyaku heran.
"Karena aku sibuk," sahutnya ketus.
Aku hanya diam, tak menanggapi omongan lucunya. Sibuk seperti apa yang dia maksud saat dirinya sendiri hanya duduk diam di atas kasur super besar ini?
Suara ketukan kembali terdengar, kali ini Tuan Max langsung menyuruh orang itu masuk.
Jo melangkah dengan pandangan datar seperti biasa, kurasa wajah itu harus diberi pelembut makanan agar terlihat lebih berekspresi.
"Semua keperluan anda sudah siap, Tuan. Apakah anda ingin berangkat sekarang?" tanya pria itu sangat-sangat sopan.
Tuan Max mengangguk. "Hm," sahutnya datar. Hanya itu, tapi Jo sudah sangat mengerti dan melangkah keluar begitu saja, tanpa ada raut tersinggung di wajahnya.
"Jika kau terus melamun dan tak mengerjakan tugasmu, maka lebih baik aku mendepakmu dari sini sekarang juga!"
Aku berjengit kaget, kenapa dia sering kali mengomel panjang lebar padaku sementara irit bicara sekali dengan yang lainnya.
Dengan menahan dongkol di dada, aku memasangkan kaus kaki untuk pria ini, lalu memakaikan sepatu pantofel hitam yang menambah kesan gagah tubuh kekarnya. Ah, dia memang begitu sempurna, meski dengan pandangan yang selalu lurus ke depan.
*****
To Be Continued
Jangan Lupa Follow Instagram aku : itsayutarigan
Thank you.
Sore ini, aku kembali datang ke rumah besar itu setelah mengurus beberapa hal di kampus mengenai skripsiku, ada sebagian dosen yang belum aku temui untuk melancarkan kelulusanku. Sebuah keributan terdengar saat aku hampir mencapai pintu utama, terlihat seorang wanita cantik bak bintang film sedang mengamuk di hadapan beberapa pelayan yang berbaris kaku. "Beritahu aku, di mana calon suamiku!" hardik wan
Aku mengamati Tuan Max yang makan dengan kesusahan, berusaha menyendok kuah yang akhirnya berjatuhan, atau tertinggal di sudut bibirnya, lalu mengalir melewati dagu. Wajahnya masih ditekuk masam. Entah mengapa, rasa sakit di hati hinggap begitu saja melihat keadaanya. Meski begitu pemarah, tapi di lain waktu juga terlihat sangat lemah, dan hal itu membuat rasa iba menelusup di dalan hati. Tiba-tiba, pr
Aku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama. Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosiku kemarin demi untuk tetap bisa bekerja di sana dan berharap gajiku nanti mampu membantu Ayah dan Ibu.&nbs
Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar, tidak menyangka dengan pertanyaan kurang ajarnya. Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran mesum tetap berjalan lancar di otak besarnya. "Kenapa diam?" tegurnya tajam.
Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi dada. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuatku pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming akan meringankan hutang keluargaku.
"Tapi sebenarnya ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba. Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima. "Seharusnya kau tidak terlambat!" Bibirku menipis seke
Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya. Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.
Sampai sore hari, aku masih memikirkan tentang kontrak yang menurutku tak masuk akal itu. Mereka berani memberi modal tanpa takut kerugian. Bagaimana jika usaha Ayah tak mendapat keuntungan? Sudah barang tentu merekalah yang paling merasa dirugikan. Bukannya aku tak percaya keajaiban, hanya saja di zaman sekarang ini tak akan mudah mendapati hal semacan itu. Bahkan orang rela menjadi raja-rajaan demi menipu orang.&