Aku melotot kaget, kalimat yang dilontarkan bayi besar ini membuat mulutku menganga lebar, tidak menyangka dengan pertanyaan kurang ajarnya.
Tidur denganku katanya? Huh, dasar mata keranjang! Meski tak dapat melihat, nyatanya pikiran mesum tetap berjalan lancar di otak besarnya.
"Kenapa diam?" tegurnya tajam.
Aku berusaha memejamkan mata, meninggalkan sejenak kemelut yang memenuhi dada. Sore tadi aku sempat meminta izin pada Jo agar tak masuk bekerja karena merasa pusing teramat sangat di kepala. Bekerja pun percuma, aku tak akan bisa fokus karena masalah yang melanda membuatku pusing setengah mati. Demi Tuhan, aku bahkan belum menyelesaikan masalah skripsi, lalu kebakaran yang menimpa usaha Ayah juga menyita perhatianku, dan kali ini tiba-tiba ada yang melamar dengan iming-iming akan meringankan hutang keluargaku.
"Tapi sebenarnya ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba. Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima. "Seharusnya kau tidak terlambat!" Bibirku menipis seke
Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya. Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.
Sampai sore hari, aku masih memikirkan tentang kontrak yang menurutku tak masuk akal itu. Mereka berani memberi modal tanpa takut kerugian. Bagaimana jika usaha Ayah tak mendapat keuntungan? Sudah barang tentu merekalah yang paling merasa dirugikan. Bukannya aku tak percaya keajaiban, hanya saja di zaman sekarang ini tak akan mudah mendapati hal semacan itu. Bahkan orang rela menjadi raja-rajaan demi menipu orang.&
Aku langsung saja memukul dan melibas tangannya dengan handuk yang kupegang. Dasar bayi besar mesum! Berani-beraninya dia melakukan hal tak senonoh itu padaku. "Apa yang Tuan lakukan?" hardikku marah. Pria itu mengedikkan bahu santai, tak merasa bersalah sedikitpun. "Hanya berkenalan dengan tubuhmu," sahutnya terlampau tenang.
Aku masih kesal setengah mati dengan pria bertubuh penuh tato itu. Dia sama sekali tak merasa bersalah setelah melontarkan kalimat tak masuk akal itu. Dengan santai ia tetap melakukan aktivitasnya bergoyang kaki dengan gaya angkuh. "Ambilkan ponselku!" titahnya saat aku selesai merapikan piring bekas makan malamnya. Aku mendengus pelan seraya berjalan ke arah ranjang dan menemukan ponsel Tuan Max terge
Aku memandang kamar yang luasnya lebih besar dari rumahku itu dengan pandangan takjub. Lagi-lagi aku yang notabenenya adalah rakyat jelata dibuat terkagum-kagum dengan kemewahan yang ada di ruangan ini. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah ranjang besar yang dilapisi bed cover berbahan sutra lengkap dengan side table-nya. Ada pula walk in closet super luas untuk menyimpan barang-barang yang kutahu nilainya bisa untuk menghidupiku berpuluh-puluh tahun ke depan. Belum lagi karpet bulu yang lebih halus dari kulitku ini, rasanya sangat tidak pantas kaki kumalku menginjak benda ini, seolah ia berkata untuk
Di sore hari, aku terbangun karena bunyi alaram di ponsel yang selalu ku atur sejak bekerja dengan Tuan Max. Keterlambatan satu menit saja yang tak dimaafkannya membuatku menjadi lebih hati-hati, karena aku tahu berurusan dengan pria tua itu tidaklah mudah. Aku menggeliatkan tubuh dengan mata mengerjap perlahan untuk memindai seisi ruangan, seketika aku melompat saat menyadari di mana aku berada saat ini.