Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri.
Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan.
Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.
Aku memasuki kamar luas di sebuah hotel ternama di ibu kota, entah mengapa Jo malah membawaku ke sini. Tapi yang pasti, saat ini jantungku berdebar tak terkendali. Langkahku terayun pelan, menyusuri ruangan dengan warna abu yang dominan. Semakin jauh berjalan, jantungku semakin berdetak tak karuan. Sebuah ranjang king size terlihat begitu menggiurkan di tengah ruangan. Aku memilih duduk di sana dan memijat pelan kakiku. Jujur saja sebenarnya aku agak lelah saat berjalan di pasar tadi. Mungkin karena kehamilanku yang kini sudah memasuki bulan ke tiga. Ruangan ini sepi sekali, tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni. Berarti kata-kata Jo tadi hanya bualan semata, pria tua itu tak benar-benar pulang. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur seraya menghembuskan napas kecewa. Apakah ia belum puas meli
“Hei, pembantu rendahan.” Suara mendesahnya yang menjijikan itu mengotori gendang telingaku. Apa katanya? Rendahan? Wanita ini sepertinya tidak pernah berkaca pada kelakuannya. Aku menarik sudut bibir menampilkan senyum merendahkan sebelum mengayunkan tangan ke wajah mulus wanita itu. Suara pekikan nyaring serta beberapa orang yang terkesiap kaget tak membuatku berhenti begitu saja. “Dengar ya perempuan murahan yang tak tahu malu memeluk suami orang sembarangan! Kamu tidak lebih tinggi dari apapun. Bukan hanya soal harta dan kecantikan, tapi
Tuan Max POV Cinta adalah suatu hal yang tabu dalam hidupku. Sejak kecil aku sudah dididik dengan keras oleh kakekku. Ia beralasan bahwa dunia di luar sana begitu kejam sehingga aku harus berlatih sedini mungkin. Awalnya aku sangat terganggu dengan hal itu, waktu bermainku hilang digantikan dengan belajar akademik dan ilmu bela diri. Namun itu se
Aku tersenyum lebar saat menerima laporan yang kuminta pada Jo. Sebentar lagi Antonius akan tahu seberapa berbahaya musuh yang sedang di hadapinya. Tak perlu menggunakan kekerasan kepada pria tua itu. “Ada yang harus anda tahu, Tuan,” ucap Jo serius. Aku mengangkat alis tanda bertanya. “Kecelakaan yang menimpa anda waktu itu adalah rencana Antonius,”
Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, dia datang dan pergi tanpa diminta. Menyakiti ataupun mengobati adalah keahliannya. Sama seperti yang kurasakan saat ini. Tak pernah kubayangkan akan jatuh hati pada pria kejam dan pemarah ini yang dulu selalu melecehkanku dengan sengaja. Meski menurutnya itulah cara dia mencari perhatianku.Tuan Max menang karena memang kenyataannya aku benar-benar merasa terusik dengan sikapnya. Ingatanku selalu tertuju padanya meski perasaan jengkel yang dulu selalu ada. Hingga kian hari perasaan itu berkembang menjadi suatu rasa menggembirakan yang menjungkirbalikkan duniaku.Aku menghela napas dan tersenyum setiap ada tamu yang datang untuk sekadar memberi ucapan selamat dan berjabat tangan. Ya, saat ini Tuan Max tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan mewah dan megah di Moskow yang menjadi topik perbincangan publik.Banyak pro dan kontra dengan status suami istri yang kini telah kami umumkan, dan menduga aku hanya memanfaatkan hati
Namaku Silvana Larasati, seorang mahasiswi keguruan yang sedang pusing memikirkan skripsi, ditambah lagi biaya wisuda yang jumlahnya membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Aku bukan berasal dari kalangan keluarga berada, Ayah hanya seorang pengrajin kayu biasa, sementara Ibu membuka usaha gorengan kecil-kecilan. Meski begitu, aku tetap bersyukur, kedua orangtua ku masih mampu menyekolahkan empat anaknya meski harus diimbangi dengan lauk seperti tahu dan tumis kangkung.&nbs
Aku bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah sebelum berangkat menuju kediaman majikan baruku. Ya, akhirnya aku tak punya celah untuk menolak menjadi pelayan pria itu, semoga saja tiga bulan ke depan berjalan dengan lancar tanpa ulah kejam pria bernama Max itu. Sampai saat ini, rasanya aku masih belum percaya denga kenyataan bahwa pria itu buta. Entahlah, aku merasa aneh dengan diriku sendiri yang merasa iba padanya, padahal jika diingat kembali, kelakuan pria itu benar-benar menjengkelkan.
Sore ini, aku kembali datang ke rumah besar itu setelah mengurus beberapa hal di kampus mengenai skripsiku, ada sebagian dosen yang belum aku temui untuk melancarkan kelulusanku. Sebuah keributan terdengar saat aku hampir mencapai pintu utama, terlihat seorang wanita cantik bak bintang film sedang mengamuk di hadapan beberapa pelayan yang berbaris kaku. "Beritahu aku, di mana calon suamiku!" hardik wan