Share

2 | Rara dan Pilihan Sulit

Di kediaman keluarga Wijaya, Jae bergantian melirik Dio dan Irana. Kedua orang tua inilah yang sebenarnya ada dibalik layar. Jae hanya pesuruh, dalangnya sudah pasti Dio dan Irana. Walau Jae bingung, kenapa harus terkesan tidak peduli pada Rara yang sedang hamil tua itu. Setelah Jae menerima pesan dari kakaknya, terjadilah rundingan dadakan di ruang keluarga Wijaya.

"Tanyain Rara udah dapet rumah belum?"

Ini Irana, usianya 42 tahun. Masih cantik dan segar. Rara mewarisi semuanya dari sang Mama, benar-benar plek. Berbeda dengan Jaelani Wijaya (Jae), bungsu dari Irana dan Dio ini lebih mirip papanya. Kulit coklat dan hidung agak masuk ke dalam. Tapi tenang dia tetap jadi salah satu pangeran di SMA Bakti Persada kok.

"Kasih aja sih, Ma, Pa. Jangan kayak orang susah. Kasian kan Rara." Jae menembak ke titik utama. Benar, bisnis Event Organizer dan Properti yang dikelola Dio membuat hartanya mustahil habis dalam waktu singkat. Event-event di Jakarta nyaris dipegang oleh Dio semua. Perusahaannya sudah dikenal luas. Intinya mereka salah satu keluarga yang mempuni secara finansial, sehingga apa yang diminta Jae merupakan perkara mudah.

"Pa?" Bujuk Irana pada Dio. "Kita belikan rumah buat mereka, ya? Mama juga nggak tega lama-lama kayak gini. Mama kangen Rara." Irana memang pihak yang mengusir, tapi itu hanya amarah sesaat. Dia sulit percaya kalau putri kecilnya tahu-tahu hamil. Padahal hari itu baru saja pengumuman kelulusan SMA. Dari bibir putrinya bukan kalimat mengenai tempat kuliah yang akan dituju ataupun program jurusan yang sekiranya diminati, justu Rara datang bersama Abi, dan dunia Irana saat itu juga hancur. Sangat hancur.

"Biarkan saja. Rara sudah punya suami. Dia sudah jadi tanggungjawab suaminya, bukan kita lagi."

Ucapan menohok Dio diikuti dengan bibir Jae yang membacakan balasan pesan dari Rara.

"Katanya udah dapet rumah. Dia juga nanya, gimana kabar papa mama?"

Dio bangkit sofa sambil berujar, "Bilang kalau kita lagi liburan ke Jepang."

Pun Jae dan Irana ditinggalkan oleh Dio. Pria berusia 45 tahun ini melepaskan kacamatanya sebelum mengelap matanya yang terasa berair.

Sebenarnya terlepas dari saran Jae barusan soal membelikan rumah untuk Rara, Dio sudah jauh-jauh hari melakukannya. Namun justru jawaban Abimanyu adalah;

"Rara sudah tanggungjawab saya, Pak. Kalau saya terima rumah dari Bapak, di mana nilai saya sebagai suami?"

Abimanyu agaknya sadar dia sudah melakukan kesalahan besar. Dia sudah merusak masa depan Rara. Setelahnya dia ingin memberikan seluruh hidupnya untuk Rara, sekalipun harus berdarah-darah, dia akan senang jika apa yang diterima Rara adalah murni hasil keringatnya sendiri.

"Jadi kamu berniat buat saya anak susah?" Tanya Dio. Dia menekan ponselnya lebih kuat. "Sedari kecil sampai sekarang saya selalu berikan yang terbaik untuk Rara. Lalu kamu akan mengambil Rara untuk kamu ajak hidup susah begitu?!"

Abi pandangi Rara dari kejauhan yang sedang menjemur pakaian di depan kamar kosan mereka. Memang, semenjak Rara bersamanya, istrinya nampak menjadi hidup lebih susah dan banyak melamun.

"Saya memang salah, Pak. Saya sudah membuat Rara hamil. Tapi di luar itu, saya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Saya sangat hargai kebaikan bapak, tapi mohon pengertiannya, Pak. Izinkan saya membahagiakan putri bapak dengan cara saya sendiri."

Dio pun menutup ponselnya. Sejak hari itu dia putuskan tak pernah mau tahu lagi persoalan Rara-Abi.

******

Abimanyu sholat Isya di mushola rumah sakit dengan perasaan tidak menentu. Rara sebelumnya dilarikan ke bidan yang kebetulan dekat lokasi tempat makan. Bukaan pun sudah lengkap, sayangnya bayinya tidak mau turun-turun dan Rara mengalami kelainan panggul. Praktis Bidan memberikan rujukan ke rumah sakit, dan Abi langsung bergegas menghubungi ambulance. Rara terus menangis sepanjang jalan, yang bisa Abi perbuat sebatas menggenggam tangan mungil istrinya.

"Mas, nggak kuat..."

"Sakit banget...."

Terlebih Dokter Obgyn bilang; "Air ketuban istri anda sudah keruh. Satu-satunya cara yaitu tindakan operasi. Istri anda harus secepatnya dicaesar."

Tanpa pikir panjang Abi setuju. Abi menyanggupi. Urusan biaya biar belakangan. Istri dan anaknya yang paling penting.

Dilanjut dia menghubungi keluarga masing-masing. Abi hanya memiliki Ibu, Tia, di bumi Bandung, dan kemungkinan besar baru bisa menjenguk besok hari. Lain halnya dengan pihak Rara yang memang asli Jakarta. Selepas hilang kontak perkara menolak rumah, Abi singkirkan sejenak egonya untuk menghubungi Ayah dari Rara. Sayangnya nihil, sehingga Abi memilih mengirimkan sebuah pesan singkat.

"Permisi, Bapak Abi. Anak anda sudah lahir. Kondisi Ibu Larasati juga sudah stabil."

Alhamdulilah...

Abi sontak yang dalam posisi berdoa, langsung sujud syukur. Dia berlari menuju ruang persalinan. Air mata Abi gagal dibendung setelah menggendong anaknya. Seorang putri kecil yang sangat cantik. Begitu mungil dan asik mengulet dalam dekapan Abi. Bibir pink putrinya mengecap-ngecap, juga sepasang mata kecil itu terasa rapat. Kalau bisa, putrinya mungkin akan protes agar boboknya jangan diganggu. Ada-ada saja pikiran papa baru itu.

"Mas... tolong adzanin dedeknya."

Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Rara. Istrinya terlihat pucat pasi dan lelah. Wajar, Rara baru saja dihadapkan pada hidup dan mati. Abi sempatkan menciumi puncak kepala Rara. Dia betulan merasa sangat bahagia. Abi selalu tahu bahwa istrinya adalah perempuan yang kuat.

"Saya sayang banget sama kamu, Ra. Makasih sudah melahirkan putri kecil kita."

'Saya'nya seorang Abimanyu selalu muncul untuk membuat hati Rara berdesir. Teringat yang sebelum-sebelumnya; "Jangan gugurkan janin itu, saya siap bertanggungjawab. Saya akan selalu mendampingi kamu. Saya akan menikahi kamu."

Abimanyu melantunkan adzan di telinga bayi mereka. Pelan, namun pasti. Rara otomatis terisak. Awalnya dia pikir air matanya sudah habis karena tangisannya hari ini sudah jatuh banyak, nyatanya dia kembali menangis disuguhkan pemandangan indah ini. Kecupan turut diberikan Abi di pipi buah hati mereka.

Cup.

Si kecil kemudian ditempatkan di dada Rara yang sengaja dibiarkan terbuka. Bibir putri mereka sekarang tengah asik minum ASI. Telunjuk abi terus dipagut posesif oleh jemari dedek bayik. Alhasil Abimanyu tersenyum lebar dan hatinya melambung. Ini salah satu hari terbaik dalam hidup Abi.

"Mirip kamu, Ra. Cantik."

Rara terdiam dan memilih memainkan lembut rambut si kecil. "Mas, udah ngabarin mama papa? Ibu mas gimana?"

"Udah semua, Ra. Papa kamu tadi nggak ngangkat, tapi mas udah tinggalin pesan. Jae juga udah mas chat. Apa ditelpon lagi aja, ya?"

"Nggak usah. Mereka lagi di Jepang."

Jawaban Rara berbarengan dengan dibukanya pintu kamar inapnya. Irana dan Dio muncul di sana.

Loh, katanya lagi di Jepang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status