Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.
Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah.
"Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)
Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus.
"Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas, gerak tangan Rara tertahan karena balasan dari Tia.
"Ngapain kamu itu? Mau masak?" Cerocos Tia. "Ibu udah masak. Kamu tinggal duduk santai terus makan."
Senyum Rara terbentuk sungkan. Dia pun berinisiatif untuk menggantikan Tia mencuci piring. "Biar Rara aja yang cuci piring, Bu. Nanti mau Rara buatkan teh manis nggak, Bu?"
Tanpa perlu waktu banyak, Tia membuka sarung tangan dan menatap sebal ke arah Rara. "Apa kamu selalu bangun sesiang ini? Saya jadi curiga kalau kamu nggak pernah urusin Abi. Kamu sering telantarin anak saya, ya?"
Ini pukul 7.20. Rara biasanya bangun lebih pagi daripada Abi. Dia selalu mempersiapkan segala kebutuhan suaminya, hanya saja pasca melahirkan Abi meminta agar Rara beristirahat total.
"M-maaf, Bu." Rara enggan membela diri apalagi membantah. Jadi sebatas kata maaf yang padahal tidak perlu dilontarkan.
Setelahnya Tia menghilang dari dapur. Selesai mencuci piring, dia pun membuka tudung saji. Sudah tersaji lauk pauk, salah satunya adalah udang saus tiram.
Rara pastikan besok pagi akan bangun lebih awal.
----
"Rara! Cara mandiin kamu salah!"
Rara tersentak, begitupun dengan Airin. Sejak tadi dia berusaha melupakan perlakuan Tia dengan fokus pada putri kecilnya. Rara baru saja menemani Airin berjemur di depan rumah, kemudian dilanjut mandi. Namun Tia terlebih dahulu datang mengintrupsi. Sebuah intrupsi yang terlalu keras sampai-sampai membuat Airin menangis.
"Sini Ibu yang mandiin Airin."
"Iya, Bu."
Airin kini dimandikan oleh Tia di bak yang ditaruh di lantai kamar mandi. Rara memerhatikan bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh Tia, ingin belajar, tapi dia tak memukan perbedaan berarti. Tangan Rara hanya belum segesit milik Tia, selebihnya mereka sama.
"Kamu kenapa nggak bisa ngapa-ngapain, Ra? Apa sesulit itu buat urus suami dan anak?"
Kalau bisa Rara berharap mempunyai hati yang tidak mudah tersinggung, yang akan kebal terhadap nyinyiran apapun dari Ibu mertuanya. Andai bisa, Rara mau. Tidak seperti sekarang, kedua matanya bahkan memanas dengan mudah. Air mata Rara mendesak untuk keluar.
"Pas Abi berangkat kerja, kamu masih enak-enak tidur. Ibu deh yang bikinin sarapan buat Abi dan siapin dia bekal makan siang. Ibu kayak masih besarin anak bujang." Tia tersenyum lebar. Bukan senyum tulus, melainkan senyum sindiran. Dan Rara lebih dari sekedar paham bahwa Tia tidak menyukai dirinya. "Menurut kamu, Ibu punya menantu nggak sih, Ra?"
----
Abimanyu pulang terlambat, dia harus lembur dan baru pulang pukul 9 malam. Mereka duduk berdua. Rara menemani Abi, selagi dia terus menggaruk tangannya di bawah meja makan. Sementara Tia sudah terlelap di kamar. Rara akhirnya bisa bernafas lega.
"Ra, kamu kenapa ngelamun terus?"
Rara menggeleng, tersadar. "Gimana mas hari ini di kantor?"
Abi berhenti mengunyah sejenak. Sebenarnya ada yang mau dia ceritakan pada Rara, tapi Abi rasa itu bukanlah hal penting. "Kayak biasa, Ra. Gitu-gitu aja."
"Tapi mas tumben loh lembur. Ada masalah?"
"Nggak ada, sayang. Cuma hari ini ada beberapa pegawai baru dan mas kebetulan diminta buat training mereka."
Bibir pink Rara berbentuk huruf O, sementara jarinya mulai menggaruk bagian leher. Semenjak sore tadi sekujur tubuhnya gatal.
"Ra, mukanya kok merah banget? Sakit?" Abi langsung beranjak dari kursi, kemudian memegang dahi Rara sambil berjongkok di depannya. Tidak demam. Lalu kenapa Rara terlihat seperti ini? "Kita ke rumah sakit sekarang."
"Mas..." Abi yang akan mengambil kunci motor menoleh, mendapati sang istri masih diam di tempat. "Aku udah minum obat. Aku nggak kenapa-kenapa kok beneran."
"Obat apa? Badan kamu nggak panas atau apa, Ra. Kamu itu masih menyusui. Jangan asal minum obat."
Abimanyu panik bukan main. Dia mengambil jaket untuk Rara dan hendak mengetuk pintu kamar Tia utuk menjaga Airin. Beruntung, Rara sigap menahan suaminya terlebih dahulu.
"Aku... alergi, mas." Ujar Rara. "Aku alergi udang."
Dahi Abi mengernyit bingung. Tunggu, istrinya alergi udang? Sejak kapan? Padahal kemarin Rara sengaja meminta dibelikan udang segar sebelum dirinya pulang kerja. Dipikir udang adalah makanan kesukaan Rara, sama seperti ibunya, jadi Abi sengaja beli banyak.
"Terus kenapa kamu minta dibelikan udang? Padahal kamu tau kalau punya alergi." Kesal Abi. Jujur saja dia hampir marah. Alergi itu bukan perkara kecil, bisa sangat fatal akibatnya. Dan Abi tak habis pikir kenapa Rara sengaja mencelakai dirinya sendiri. "Jawab, Ra!"
"Mau masakin buat ibu..." Lirih Rara. Kata Abi, udang saus tiram adalah makanan kesukaan Tia.
"A-apa?"
"Tapi aku bangunnya telat, jadi ibu yang akhirnya masak. Aku nggak enak kalau nggak makan."
Ya, semalaman suntuk dia membuka halaman youtube. Menontoni satu per satu video memasak udang saus tiram, mencari resep yang sekiranya paling enak. Niatnya pagi tadi akan memberikan kejutan kecil itu. Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Ini semua karena kebodohan Rara.
Abi memijat kepalanya, merasa bersalah. Dia terlanjur berpikiran yang tidak-tidak, padahal niatan istrinya ini baik ingin menyenangkan ibunya. Namun kenapa harus berujung seperti ini?
Perempuan di hadapannya perlahan terisak. Dia paling lemah jika sudah diteriaki. Lebih dari itu, semenjak pagi hatinya begitu sakit. Pun Abi memeluk istrinya sambil meminta maaf. Abi pikir dirinya sudah mengenal Rara dengan baik, ternyata belum. Abi belum kenal Rara.
---
NOTE:
Nikah ga melulu soal enaknya aja. Akan selalu ada perspektif yang berbeda, salah satunya cerita Rara ini.
Rara bangun pukul 4 pagi. Dia tidur dengan perasaan tak tenang karena takut kesiangan. Perlahan Rara menaruh guling kecil di samping Airin. Walau Abi tidur disebelah Airin, suaminya masih lelap tertidur. Tentu saja, semalaman Abi mencari apotek yang masih buka untuk menyembuhkan alergi Rara. Abi tidak percaya dengan obat yang istrinya miliki, takutnya memiliki efek samping yang macam-macam. Jadi Abi dengan segenap usahanya mencari obat terbaik.Pun dikecuplah dahi Airin, lalu Abi.Rara berniat membuat sarapan dengan menu ikan bumbu acar kuning dan perkedel kentang. Agak keterlaluan memang berkutat di dapur sepagi ini, tapi inilah yang Rara lakukan sekarang. Handphonenya memutarkan video tutorial selagi dia menggigit bibir. Tak lupa dahinya dikerutkan. Dia ulang satu kali. Dua kali. Tiga kali.Nggg... kok agak ngeri?Oke, mari coba dulu.Di tengah geraknya yang terbatas akibat
Rara tidak mau bertindak implusif dengan melabrak atau semacamnya. Dia mencoba berpikiran positif, bahwa yang dilihatnya siang tadi adalah hal wajar. Pasalnya wanita itu mengenakan seragam kantor. Mereka pasti rekan kerja, dan buku yang dibeli oleh wanita itu sudah tentu untuk pria lain. Ya, tebakannya pasti benar. Penggemar karya Gibran Effendi sudah meluas dan bukan hanya Abi saja.Tapi... kenapa suaminya tadi harus sampai bohong saat Rara tanya sedang ada di mana? Jujur bisa, kan?"Mbak Rara, makasih loh. Si kecil nyemilin terus."Tetangga sebelah datang ke rumah guna mengembalikan wadah puding. Kemarin dia sengaja bikin banyak puding untuk bagi-bagi ke tetangga sekitar. Bagaimana pun juga Rara dan Abi adalah pendatang, dan lumayan sebagai tanda perkenalan biar ada silaturahmi."Kakaknya Mbak Rara mana, nih?" Tanya ibu itu sambil kepalanya celingak-celinguk ke dalam rumahnya.Hah? Kakak?
Satu bulan yang lalu Abimanyu dipecat dari kantor tempatnya bekerja. Pihak HRD transparan bilang mereka kurang nyaman dengan rumor yang beredar di lingkungan kantor. Mereka tahu dulu Abi adalah seorang guru yang menghamili salah satu murid didiknya. Memalukan, tapi Abi bisa apa. Ingin mengelak demi menghidupi Rara dan calon bayi mereka pun tetap dirasa keliru. Jadi, dia mencoba legowo.Marine Ardiansyah, mantan tunangan Abi, entah ada angin apa menghubunginya di siang itu. Abi tengah mengisi perut di salah satu rumah makan karena lelah setelah memasukan CV ke banyak perusahaan. Dengan enggan Abi menerima panggilan itu."Ada perlu apa kamu hubungin saya?" Tanya Abi tanpa basa-basi."Ya ampun, ini beneran Mas Abi!"Sambungan pun dimatik
Aksi ngambek Rara berlanjut di keesokan pagi. Wajah Rara masam sekali. Bahkan dia terus menghindar saat Abi membombardir dengan pertanyaan ini itu."Apa sih pegang-pegang?" Kesal Rara begitu akan menjemur pakaian. Tangan kecil itu dipegang Abi dan Rara segera menepisnya."Biar mas bantu.""Ambil langsung itu di ember. Nggak usah pake acara sentuh-sentuhan."Memang Rara kalau sedang ngambek mudah meledak. Beruntung Tia tidak ada di rumah. Ibu mertuanya pergi ke tempat katering dan Rara harap Tia pergi cukup lama. Sebut Rara kekanak-kanakan karena kini dua orang dewasa di rumah ini membuatnya stres. Yang mengerti Rara cuma Airin dan ----"Rara! Anak lo eek!"Suara cempreng Jasmine dari arah dalam terdengar panik. Ya, hanya Airin dan sahabat semprulnya."Kan pake popok! Gapapa!" Sahut Rara sambil menggantung baju di jemuran."Ih tapi kentutnya gede banget! Gimana ini?""Sebentar. Nanggung nih!""Okay!"Kemudia
Darwin pulang dalam keadaan babak belur. Dia tak sempat diobati lantaran Abi sulit dikendalikan. Sekalinya berhasil dilerai, Abi lagi-lagi malah menghajar mantan muridnya tersebut. Kini Abi terduduk di ruang tengah, disidang oleh Dio yang mengawasi dari balik bingkai kacamatanya. Setelah Putra dan Mine ikut pulang bersama Darwin, kini menyisakan anggota keluarga Wijaya dan sang menantu saja."Coba jelaskan baik-baik. Kenapa kamu pukul teman Rara?" Tanya Dio untuk ke tiga kalinya.Kedua tangan Abi masih mengepal di atas paha, emosinya belum surut sama sekali. Rara dan Irana yang berdiri di depan pintu kamar terlihat gelisah. Untungnya Airin sudah dibawa Jae keluar rumah, menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan berharap ada pertengkaran jilid 2, masalahnya Abi terus menunduk dan tidak menggubris pertanyaan Dio.
"Siapa yang mukul kamu sampai gini?!"Darwin Mahendra bergegas menaiki anak tangga dan mengabaikan pertanyaan Ivanka, sang Ibu. Di kamarnya, Darwin langsung membanting tubuhnya ke kasur. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar mewahnya, seiring pikirannya melayang pada peristiwa 10 bulan lalu saat dia mencumbu bibir ranum Rara."Sialan." Ujarnya, merasakan ujung bibirnya nyeri. Ah pantas saja. Ternyata berdarah."Darwin, cerita ke mami." Ivanka terus mengetuk pintu kamar Darwin, menuntut penjelasan panjang lebar. "Apa kamu digangguin sama anak-anak dari sekolah baru? Kamu dihajar mereka?""Bukan apa-apa. Cuma jatuh." Sahut Darwin, kemudian mulai memejamkan mata. Sosok Larasati Wijaya menjadi hal pertama yang selalu dia bayangkan. 10
"Ra, kaus kaki udah kering? Kenapa di lemari nggak ada?""Ada di deket daleman.""Kemeja saya kok lecek gini?""Aku udah setrikain seragam kantor, kan biasanya senin pake itu. Kenapa hari ini ujug-ujug pake kemeja?"Itulah sepenggal keriweuhan antara Abi dan Rara di senin pagi. Abi pun berlari ke jemuran dengan misi mencari kaus kaki. Sementara Rara sempatkan menyuapi sang suami dengan ceplok telur, sebelum berjalan ke lemari kamar. Semalam mereka lupa waktu lantaran bermesraan seperti pengantin baru. Rara menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sekalipun masih masa nifas dan belum bisa ke inti permainan, dia sebisa mungkin memenuhi ingin Abi dengan cara berbeda. Uhuy."Mas, udah berapa k
Abi baru saja bersantai di kubikelnya seusai beres dengan berbagai kerjaan. Sejak pagi hingga pukul 7, dia disibukkan dengan tampilan excel dan macam-macam angka. Memang ini hari pertamanya bekerja di tempat baru dan ada perkenalan singkat dengan karyawan lain, namun setelahnya jadwalnya padat. Pun Abi mengeluarkan ponselnya untuk mengabari Rara. Belum sempat bertanya Rara ingin martabak asin atau manis, Abi ternyata sudah menerima banyak chat dari sang istri. Ada 25 chat yang tenggelam. Astagfirullah. Ini sih bisa-bisa Abi kena amuk.Larasati Wijaya:-Mas, pernah nonton film azab? Judulnya mertua jahat pada menantu, liang lahatnya menyempit.-Mertuanya nampar si menantu-Padahal menantunya baik. Ya... walaupun nggak sempurna-sempurna amat. Masakannya kurang enak, bangunnya kadang siang, tapi dia mau belajar.-Mas? Ih dicuekin :(-Aku VN aja. Capek ngetik.Lalu Abi dengarkan satu persatu pesan suara itu. Tak jarang, Abi terkekeh selagi merap