Share

7 | Udang Saus Tiram

Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.

Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah.

"Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)

Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus.

"Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas, gerak tangan Rara tertahan karena balasan dari Tia.

"Ngapain kamu itu? Mau masak?" Cerocos Tia. "Ibu udah masak. Kamu tinggal duduk santai terus makan."

Senyum Rara terbentuk sungkan. Dia pun berinisiatif untuk menggantikan Tia mencuci piring. "Biar Rara aja yang cuci piring, Bu. Nanti mau Rara buatkan teh manis nggak, Bu?"

Tanpa perlu waktu banyak, Tia membuka sarung tangan dan menatap sebal ke arah Rara. "Apa kamu selalu bangun sesiang ini? Saya jadi curiga kalau kamu nggak pernah urusin Abi. Kamu sering telantarin anak saya, ya?"

Ini pukul 7.20. Rara biasanya bangun lebih pagi daripada Abi. Dia selalu mempersiapkan segala kebutuhan suaminya, hanya saja pasca melahirkan Abi meminta agar Rara beristirahat total.

"M-maaf, Bu." Rara enggan membela diri apalagi membantah. Jadi sebatas kata maaf yang padahal tidak perlu dilontarkan.

Setelahnya Tia menghilang dari dapur. Selesai mencuci piring, dia pun membuka tudung saji. Sudah tersaji lauk pauk, salah satunya adalah udang saus tiram.

Rara pastikan besok pagi akan bangun lebih awal.

----

"Rara! Cara mandiin kamu salah!"

Rara tersentak, begitupun dengan Airin. Sejak tadi dia berusaha melupakan perlakuan Tia dengan fokus pada putri kecilnya. Rara baru saja menemani Airin berjemur di depan rumah, kemudian dilanjut mandi. Namun Tia terlebih dahulu datang mengintrupsi. Sebuah intrupsi yang terlalu keras sampai-sampai membuat Airin menangis.

"Sini Ibu yang mandiin Airin."

"Iya, Bu."

Airin kini dimandikan oleh Tia di bak yang ditaruh di lantai kamar mandi. Rara memerhatikan bagaimana cara-cara yang dilakukan oleh Tia, ingin belajar, tapi dia tak memukan perbedaan berarti. Tangan Rara hanya belum segesit milik Tia, selebihnya mereka sama.

"Kamu kenapa nggak bisa ngapa-ngapain, Ra? Apa sesulit itu buat urus suami dan anak?"

Kalau bisa Rara berharap mempunyai hati yang tidak mudah tersinggung, yang akan kebal terhadap nyinyiran apapun dari Ibu mertuanya. Andai bisa, Rara mau. Tidak seperti sekarang, kedua matanya bahkan memanas dengan mudah. Air mata Rara mendesak untuk keluar.

"Pas Abi berangkat kerja, kamu masih enak-enak tidur. Ibu deh yang bikinin sarapan buat Abi dan siapin dia bekal makan siang. Ibu kayak masih besarin anak bujang." Tia tersenyum lebar. Bukan senyum tulus, melainkan senyum sindiran. Dan Rara lebih dari sekedar paham bahwa Tia tidak menyukai dirinya. "Menurut kamu, Ibu punya menantu nggak sih, Ra?"

----

Abimanyu pulang terlambat, dia harus lembur dan baru pulang pukul 9 malam. Mereka duduk berdua. Rara menemani Abi, selagi dia terus menggaruk tangannya di bawah meja makan. Sementara Tia sudah terlelap di kamar. Rara akhirnya bisa bernafas lega.

"Ra, kamu kenapa ngelamun terus?"

Rara menggeleng, tersadar. "Gimana mas hari ini di kantor?"

Abi berhenti mengunyah sejenak. Sebenarnya ada yang mau dia ceritakan pada Rara, tapi Abi rasa itu bukanlah hal penting. "Kayak biasa, Ra. Gitu-gitu aja."

"Tapi mas tumben loh lembur. Ada masalah?"

"Nggak ada, sayang. Cuma hari ini ada beberapa pegawai baru dan mas kebetulan diminta buat training mereka."

Bibir pink Rara berbentuk huruf O, sementara jarinya mulai menggaruk bagian leher. Semenjak sore tadi sekujur tubuhnya gatal.

"Ra, mukanya kok merah banget? Sakit?" Abi langsung beranjak dari kursi, kemudian memegang dahi Rara sambil berjongkok di depannya. Tidak demam. Lalu kenapa Rara terlihat seperti ini? "Kita ke rumah sakit sekarang."

"Mas..." Abi yang akan mengambil kunci motor menoleh, mendapati sang istri masih diam di tempat. "Aku udah minum obat. Aku nggak kenapa-kenapa kok beneran."

"Obat apa? Badan kamu nggak panas atau apa, Ra. Kamu itu masih menyusui. Jangan asal minum obat."

Abimanyu panik bukan main. Dia mengambil jaket untuk Rara dan hendak mengetuk pintu kamar Tia utuk menjaga Airin. Beruntung, Rara sigap menahan suaminya terlebih dahulu.

"Aku... alergi, mas." Ujar Rara. "Aku alergi udang."

Dahi Abi mengernyit bingung. Tunggu, istrinya alergi udang? Sejak kapan? Padahal kemarin Rara sengaja meminta dibelikan udang segar sebelum dirinya pulang kerja. Dipikir udang adalah makanan kesukaan Rara, sama seperti ibunya, jadi Abi sengaja beli banyak.

"Terus kenapa kamu minta dibelikan udang? Padahal kamu tau kalau punya alergi." Kesal Abi. Jujur saja dia hampir marah. Alergi itu bukan perkara kecil, bisa sangat fatal akibatnya. Dan Abi tak habis pikir kenapa Rara sengaja mencelakai dirinya sendiri. "Jawab, Ra!"

"Mau masakin buat ibu..." Lirih Rara. Kata Abi, udang saus tiram adalah makanan kesukaan Tia.

"A-apa?"

"Tapi aku bangunnya telat, jadi ibu yang akhirnya masak. Aku nggak enak kalau nggak makan."

Ya, semalaman suntuk dia membuka halaman youtube. Menontoni satu per satu video memasak udang saus tiram, mencari resep yang sekiranya paling enak. Niatnya pagi tadi akan memberikan kejutan kecil itu. Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Ini semua karena kebodohan Rara.

Abi memijat kepalanya, merasa bersalah. Dia terlanjur berpikiran yang tidak-tidak, padahal niatan istrinya ini baik ingin menyenangkan ibunya. Namun kenapa harus berujung seperti ini?

Perempuan di hadapannya perlahan terisak. Dia paling lemah jika sudah diteriaki. Lebih dari itu, semenjak pagi hatinya begitu sakit. Pun Abi memeluk istrinya sambil meminta maaf. Abi pikir dirinya sudah mengenal Rara dengan baik, ternyata belum. Abi belum kenal Rara.

---

NOTE:

Nikah ga melulu soal enaknya aja. Akan selalu ada perspektif yang berbeda, salah satunya cerita Rara ini.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ibu Heni
wahh kasian Rara
goodnovel comment avatar
Lathifah
Persis banget kayak mertua Gue... Waktu Gue habis lahiran ngedumel mulu, padahal dia juga seorang ibu... Masa gak paham sih lelahnya pasca lahiran apalagi Gue sempat ngalamin baby blues... 😭
goodnovel comment avatar
Julia Sam
mertuanya menakutkan.....tidak terbayang rasanya punya mertua kayak gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status