Share

Alinea

Hal yang paling tidak menyenangkan dari menjadi pekerja lepas adalah ketika orang-orang mempertanyakan pekerjaan ini. Pekerjaan apa yang dilakukan? Enak sekali bisa bekerja di rumah? Kok di rumah terus? Gaji berapa? … dan lain sebagainya yang bisa membuat pusing kepala saat mendengarnya. Jenis pekerjaan ini memang tergolong baru sehingga banyak orang yang belum mengerti jika bekerja tak harus selalu dilakukan di luar rumah. Aku bahkan bisa mengerti bila mereka memandang sebelah mata pekerjaan ini karena selalu berada di rumah identik dengan pengangguran. 

Tentu saja, aku bukan pengangguran. Aku seorang pekerja lepas yang memang memilih melakukannya. Sebagai orang yang menyukai suasana tenang, pekerjaan ini sangat cocok untukku karena aku dapat menciptakan sendiri ketenangan itu dan bekerja di waktu yang kuinginkan. Inilah keistimewaan yang tidak diperoleh dari mereka yang bekerja di kantor. Tak ada perasaan selalu diawasi. Tak perlu ada pula drama-drama yang muncul di antara sesama rekan kerja. Aku pun bisa lebih bebas menuangkan jiwa kreatifku. Tapi sekali lagi, ini pilihanku yang menyukai ketenangan.

Aku adalah seorang illustrator. Sudah sedari kecil aku menyukai kegiatan menggambar dan menjadikannya hobi. Dulu, teman-teman sekolahku sering memintaku untuk menggambar sketsa wajahnya. Terkadang, aku membuat karikatur wajah mereka. Lucu. Aku juga hampir selalu mendapat kepercayaan untuk menjadi desainer kala lomba menghias kelas diadakan. Biasanya, dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Satu kelas akan kompak sekaligus heboh mempersiapkan semuanya. Meski melelahkan, tapi terasa seru dan menyenangkan. 

Aku akan sibuk menggambar di sudut kelas, sementara teman-temanku yang lain asyik membersihkan seluruh kelas dan menghias sesuai tema yang sudah disepakati. Pernah ada yang mengusulkan untuk membeli pot tanaman, padahal saat itu kelasku tidak punya teras atau pekarangan. Hanya ada lorong sempit sebagai jalan karena memang posisi kelas berada di pojok dan tersembunyi. Akhirnya, pot-pot tanaman itu digantung di pintu kelas dan ada beberapa yang diletakkan sebagai pemanis papan tulis. Sungguh, kocak ide mereka. Seperti peribahasa, tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada pekarangan, dalam kelas pun jadi.

Itu merupakan salah satu masa di mana aku merasa senang berada di tengah keramaian. Setelah masa SMA-ku usai, aku lebih suka menyendiri. Aku mulai membatasi pertemananku. Hanya beberapa teman kuliahku yang dekat denganku. Tanya saja mereka. Apa kesan mereka tentang Alinea? Pasti, sebagian besar dari mereka akan menjawab: pendiam. Ah, teman-teman sekolahku dulu juga akan memberikan jawaban serupa. Aku memang pendiam. Sejak dulu hingga sekarang.

Karena itulah, kebingungan melanda menjelang kelulusan kuliahku. Pekerjaan apa yang harus kutekuni? Aku tidak suka berada di tengah banyak orang. Aku juga sebenarnya tak terlalu nyaman untuk bekerja di kantor. Aku memutar otak dan mencari-cari referensi pekerjaan yang bisa kulakukan di rumah. Dan akhirnya, inilah yang kulakukan. Aku mulai menawarkan jasaku sebagai illustrator secara online saat menunggu waktu wisuda. Sekarang, aku masih melakukannya. Sebagian besar klienku kudapatkan dari sana, walaupun tak sedikit juga yang menghubungiku secara langsung.

Menjadi pekerja lepas membuat jam kerjaku menjadi tak terbatas. Maka, aku merencanakan sendiri hari liburku. Terkadang, di hari-hari kerja antara Senin sampai Jumat. Tapi, paling sering aku mengambil libur di akhir pekan, seperti pekerja kantoran di luar sana. Dan di minggu ini, aku memutuskan untuk rehat dari pekerjaanku di hari Sabtu dan Minggu. 

Aku menyelesaikan gambar yang dipesan oleh salah satu pelanggan mayaku. Ia memesan ilustrasi dari sebuah anime. Ini sudah yang ke-sekian kalinya ia menggunakan jasaku. Dan aku tahu pasti akan digunakan untuk apa hasil karyaku itu. Ia adalah seorang pembuat cover lagu-lagu anime. Dan ya, gambarku menjadi ilustrasi dari lagu yang akan diunggahnya di channel Youtube miliknya. 

Pernah menonton anime berjudul Inuyasha? Aku sedang membuat salah satu tokoh dari anime tersebut. Bukan Inuyasha, melainkan Sesshomaru. Aku sudah pernah membuat gambar Inuyasha sebelumnya lengkap bersama kekasihnya, Kagome. Kali ini, pelangganku meminta ilustrasi Sesshomaru karena lagu yang dibawakannya berkisah tentang karakter tersebut. 

Aku senang sekali melakukannya. Jujur, dibandingkan Inuyasha, aku lebih menyukai karakter kakaknya. Sesshomaru lebih tenang dan banyak diam. Ia juga bukan tokoh antagonis dalam anime tersebut. Hanya pada Inuyasha ia terkesan jahat. Selain itu, ia tak pernah membuat masalah bila tak ada yang memulainya. Berbeda sekali dengan Inuyasha yang berapi-api dan tidak bisa diam.

Oh, aku jadi bernostalgia dengan anime itu. Aku ingat nyaris tak pernah melewatkannya kala dulu tayang di salah satu stasiun TV Indonesia. Saat itu, aku masih SD dan begitu lugu tentang kehidupan. Yang aku tahu hanya bermain dan bersenang-senang. Menonton anime atau kartun merupakan salah satu kesenangan itu. Sekarang pun, sebenarnya, aku masih melakukannya. Tumbuh dewasa bukan menjadi penghalang untuk menikmati sebuah tontonan. Lagi pula, setiap acara pasti memiliki batasan umur bagi penontonnya, termasuk anime. Dan tidak semua anime diperuntukkan sebagai tayangan anak-anak.

Aku memberikan sentuhan akhir di ilustrasi buatanku. Karakter Sesshomaru berlatar langit malam telah selesai kugambar. Sosok manusianya tengah duduk bersandar pada batang pohon dengan sebuah pedang tergenggam di tangannya. Mata tajamnya menatap kilauan cahaya dari bilah pedangnya akibat pantulan sinar rembulan. Raut wajahnya, seperti biasa, tanpa ekspresi. Ia terkesan penuh kesendirian, tak terjangkau, namun tetap terasa hangat. 

Aku mengamatinya sejenak dan meneliti kembali hasil pekerjaanku. Tidak ada yang kurang dan kurasa sudah sesuai dengan keinginan yang diutarakan pelangganku. Kalaupun ada yang perlu diperbaiki, aku bisa melakukannya nanti setelah ia melihat hasil gambarku ini. Setelah bekerja cukup lama dengannya, komunikasi di antara kami menjadi lebih luwes. Aku juga lebih mudah memahami keinginannya sehingga berdampak positif pada proses pengerjaan ilustrasi pesanan darinya.

Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Kulemaskan otot-otot tubuhku yang tegang karena hampir tiga jam berkutat di tempat yang sama. Pantatku bahkan mulai kebas akibat terlalu lama duduk. Leherku lebih parah lagi. Aku menggerak-gerakkan leherku agar pegalnya mereda. Tak lupa kupejamkan mata. Memandangi layar komputer selama itu memang tidak baik dilakukan. Mata terasa lelah dan apabila kupaksakan lebih lama akan membuat pusing mendera. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain tidur. 

Aku melepas kacamata yang kukenakan. Kupijat pelan pangkal hidungku untuk meredakan rasa pegal di sana. Terlalu lama memakai kacamata juga akan membuat mata cepat lelah. Karena itu, aku cuma menggunakannya saat bekerja. Di hari-hari biasa, aku lebih nyaman melepasnya, meski penglihatanku sangat terbatas. Maklum, mataku minus. Jadi, tanpa kacamata akan mengurangi fokus pandanganku. Semua terlihat buram.

Aku beranjak dari kursi. Sedari tadi, aku terpikir untuk menyeduh segelas kopi. Tapi, ini sudah jam sembilan malam. Aku takut nanti akan sulit tidur. Lalu, aku berpikir kenapa tidak membuat segelas cokelat panas? Atau justru segelas susu cokelat panas? Katanya, meminum susu sebelum tidur akan membuat tidur lebih nyenyak. Aku belum berniat tidur. Masih terlalu dini dari jam tidurku yang biasanya lewat tengah malam. Tetapi, kenapa tidak? Aku ingin bersantai sembari menikmati segelas susu cokelat panas.

Aku mengambil sebuah mug dari rak piring kecil yang sengaja kuletakkan di dalam kamar. Setelah menuangkan dua sendok makan susu bubuk ke dalamnya, aku mengisinya dengan air panas dari dispenser yang berada persis di sebelah rak piring. Tak lupa diaduk dan segelas susu cokelat panas pun siap untuk dinikmati. 

Beginilah kesenangan menjadi anak kos. Aku tak perlu keluar kamar hanya untuk membuat minuman. Hanya perlu berjalan dari sudut ke sudut atau sisi ke sisi. Luas kamar juga tidak besar. Mau mengelilinya tujuh kali pun tidak akan membuat lelah. Yang ada justru pusing efek dari berputar-putar di tempat yang sama. 

Aku naik ke atas tempat tidur setelah sebelumnya mengambil sebuah meja lipat kecil dan meletakkan laptop serta gelas yang kubawa di atasnya. Aku bergerak dengan hati-hati. Tentu, aku tidak ingin membuat masalah dengan menumpahkan minumanku dan membasahi barang-barang di sekitarnya. Bukannya beristirahat, bisa-bisa lelahku semakin bertambah karena membereskan apa pun bentuk kecerobohan yang seharusnya dapat kuhindari.

Ranjangku ini tidak besar. Memang mau sebesar apa ranjang anak kos? Lebarnya sekitar satu meter, jadi cuma muat untuk ditiduri satu orang. Jika ada teman yang menginap, aku sudah mempersiapkan tikar dan kasur lipat yang bisa mereka gunakan. Tapi, jarang ada yang menginap di sini. Sahabat baikku berasal dari kota ini. Aku pun lebih sering menginap di rumahnya dibanding sebaliknya.

Aku menyalakan laptop putihku dan mulai berselancar mencari file yang tersimpan di dalamnya. Waktu istirahatku biasanya kugunakan untuk menonton, entah itu film atau serial TV. Paling sering drama Korea. Oh, aku juga mirip dengan gadis-gadis kebanyakan yang menikmati tontonan dari negeri ginseng itu. Aku bahkan memiliki daftar drama favorit yang tak bosan kutonton berulang kali. Yang membedakan, mungkin, tontonanku tak selalu berasal dari negara tersebut. Aku juga menikmati tontonan dari negara Asia lain atau negara mana pun selama memang menarik minatku. Contohnya, minggu lalu aku baru saja menyelesaikan anime Naruto, padahal sudah kali ke-sekian aku menontonnya.

Baru sepuluh detik episode pertama dari sebuah drama Korea terpampang di layar laptopku, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk dan menginterupsi kesenanganku yang baru akan dimulai. Diva, sahabat karibku, menelepon. Alisku berkerut, menerka-nerka tujuannya meneleponku. Tidak biasanya ia melakukannya. Kami lebih sering bercerita lewat pesan. Jarang sekali menggunakan panggilan suara, kecuali dalam keadaan mendesak.

"Halo," sapaku memulai percakapan.

"Halo, Lin. Lagi apa?" Terdengar suara Diva dari seberang sana.

Aku melirik pada tontonan yang terpaksa ku-pause demi mengangkat telepon darinya. "Nonton drakor," jawabku singkat.

"Apa?" tanyanya antusias. Aku dan Diva memang memiliki hobi yang sama--menonton drama Korea. Kami bahkan bisa seakrab ini karena hal itu. Ketenaran drama Korea ternyata tak hanya menambah deretan penggemarnya di Indonesia, melainkan juga bisa mendekatkan dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal.

"Signal." Aku menyebutkan sebuah drama ber-genre misteri pada Diva. Aku memang menyukai tontonan dengan genre tersebut karena menurutku, akan bosan jika harus menonton adegan romantis terus-menerus. Dengan adanya misteri yang harus dipecahkan, alur cerita menjadi lebih menarik dan menegangkan.

"Oh." 

Diva pasti tahu judul drama yang kumaksud. Selera tontonan kita hampir sama. Dan ya, ia pun sudah menonton drama tersebut. Sama sepertiku, ia juga menjadikan Signal sebagai salah satu drama favoritnya. By the way, aku sudah beberapa kali menonton ulang drama itu.

"Kalau aku lagi baca komik. Tentang vampir," ujarnya memberitahukan kegiatannya akhir-akhir ini. Selain menonton, ia juga suka membaca komik.

Aku bergumam pelan. Teringat olehku ada sebuah judul komik yang ingin kubaca. Tapi, mood-ku belum benar-benar terkumpul untuk melakukannya. Jadi, keinginan itu hanya bertahan sebagai keinginan dan entah kapan dapat terwujud.

"Eh iya, Lin. Besok kamu punya rencana apa?" 

"Nggak ada," jawabku cepat. Sabtu adalah hari liburku dan aku tak mempunyai janji dengan siapa pun besok. "Ada apa?"

"Bisa membantuku? Ada klien yang ingin ditemani ke acara kondangan."

Bila aku membuka jasa pembuatan ilustrasi, maka Diva pun juga menawarkan jasanya. Ia mendirikan jasa pacar sewaan. Iya, pacar sewaan yang sering muncul di sinetron atau FTV. Dan ini pacar sewaan yang murni hanya bertugas menemani klien. Bisa untuk diajak ke acara kondangan, acara reuni, nge-date berdua, atau sekadar menyewa status sebagai pacar. 

"Kenapa aku? Yang lain nggak ada?" tanyaku merujuk pada beberapa karyawannya. Bisakah aku menyebut mereka karyawan? Intinya, orang-orang yang bekerja dengan Diva karena wanita itu bertindak selaku perantara antara si pacar sewaan dan si penyewa. 

Yang pasti, aku bukan salah satu dari mereka. Yah, meski harus kuakui bahwa aku sudah beberapa kali melakukannya. Itu pun karena Diva yang meminta bantuanku saat seluruh pegawainya sudah ter-booking. Akhir pekan memang menjadi hari-hari tersibuk bagi si pacar sewaan. Hampir seluruh acara santai atau berkumpul diadakan di akhir pekan. Dan aku mau tak mau membantunya demi loyalitas pertemanan. Tentu, ada berbagai syarat yang kuajukan. Apa kali ini ia juga sedang kehabisan pegawai?

"Ada. Tapi, ini yang meminta tolong adalah teman SMA suamiku. Dan sepertinya yang cocok cuma kamu." Ia beralasan.

Aku berpikir. Jika orang itu seangkatan dengan Leo, maka ia berusia tiga puluh satu tahun. Ia harusnya lebih dewasa dariku. Aku malas bila harus bekerja dengan yang berusia lebih muda. Rasanya seperti berkencan dengan adikku sendiri. Tapi, yang lebih tua tak jarang menyewa untuk diajak ke acara pertemuan keluarga. Biasanya untuk menghindari tagihan menikah. Dan aku juga malas kalau harus berpura-pura di situasi tersebut. 

Tetapi, bukankah si klien hanya ingin ditemani ke acara kondangan? Sepertinya, tidak buruk. Keadaan pesta yang ramai bisa meminimalisir interaksiku dengan para kenalannya. Dan berapa lama, sih, durasi menghadiri kondangan? Jika hanya sebagai tamu, tebakanku, tak lebih dari tiga jam. Lebih singkat lebih baik. 

"Oke."

"Thank you, Lin. Aku confirm dulu ke orangnya. Kalau dia setuju, nanti aku kirim kontaknya ke kamu." Suara Diva terdengar girang. 

"Iya," balasku setengah tersenyum sebelum panggilan telepon kami berakhir. Satu hal melintas di benakku. Apa yang sebaiknya kupakai besok?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status