Share

Kontrak Baru

"Membuat cover buku, ya?"

Aku mengamati kumpulan notes yang kutempel di papan dekat meja kerja. Notes beraneka warna itu berisi daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan. Biasanya, aku menyortirnya per minggu. Seluruh deadline pekerjaan di minggu yang sama akan kujadikan satu. Kemudian, aku mengurutkannya lagi berdasarkan hari deadline. Yang tercepat, tentu, perlu didahulukan.

Di minggu ini, pekerjaan terbanyak yang kuperoleh adalah membuat ilustrasi sampul buku. Jumlahnya ada lima. Itu berarti dalam sehari aku harus mengerjakan dua ilustrasi karena pekerjaanku tak hanya itu saja. Ada tawaran mendesain website yang meski deadline-nya minggu depan, aku harus mulai mengerjakannya dari sekarang. Ada pula pekerjaan menggambar ilustrasi wajah klien yang ingin dibuat versi anime. Sepertinya, minggu ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk untukku.

Sebelum bekerja, terlebih dulu aku mengecek situs tempatku menawarkan jasa pembuatan ilustrasi. Aku membaca pesan-pesan yang masuk ke akunku. Ada yang tertarik untuk bekerja denganku, menanyakan kesediaanku bekerja dengannya, menuliskan detail ilustrasi yang diinginkan, dan ada pula yang berterima kasih atas hasil karyaku yang memuaskan dirinya. Aku juga menyempatkan diri untuk membaca ulasan yang pelanggan berikan di fitur review. Hampir semuanya puas dengan pekerjaanku. Aku memang sebisa mungkin menjalin komunikasi yang baik dengan mereka agar kedua belah pihak bisa sama-sama puas.

Aku mencatat satu pesanan baru yang masuk beserta rincian ilustrasi yang diinginkan. Klien tidak memesan pengerjaan kilat, jadi ada cukup banyak waktu untuk menyelesaikannya. Tapi tetap saja, hasilnya harus kuserahkan dalam minggu ini. Aku pun menambahkan notes yang barusan kubuat ke papan pengingat.

Setelahnya, aku membuka alamat surelku. Walau jarang, namun terkadang, ada calon pelanggan yang menghubungiku di sana. Benar saja. Ada beberapa pesan baru masuk yang salah satunya berupa tawaran pekerjaan. Sebuah penerbit menawarkan proyek kerja sama penulisan buku anak-anak. Aku sebagai pembuat ilustrasi, sementara ide cerita berasal dari penulis lain. 

Kelihatannya menarik. Aku belum pernah mengerjakan pekerjaan serupa. Yang paling sering kubuat adalah sampul buku. Itu pun kebanyakan untuk buku-buku yang diunggah di platform online. Tetapi, sebelum aku memberikan jawaban, aku perlu tahu cerita apa yang akan kubuat ilustrasinya. Bukannya pilih-pilih--tapi memang harus hati-hati memilih, bukan?--aku ingin memperkirakan tingkat kesulitan dari pekerjaan ini.

Aku mengetikkan balasan surel itu. Tak lupa, kusertakan pertanyaan yang kupikirkan tadi. Kuklik tombol kirim, lalu menutup halaman dari surelku. Aku menyempatkan untuk browsing sebentar tentang buku bergambar untuk anak-anak. Sudah lama sejak terakhir kali aku membaca buku semacam itu. Aku bahkan sudah tidak ingat lagi seperti apa isinya.

Ternyata ada berbagai macam buku bergambar. Semua disesuaikan dengan target pembaca. Ada yang penuh dengan warna-warna cerah, ada yang monokrom--hitam dan putih, serta dipenuhi karakter-karakter lucu. Yang jelas, buku mereka terlihat minimalis tanpa tambahan detail tak penting.

Ting!

Sebuah pesan baru masuk ke ponselku. Dari Aksara.

Boleh telepon? 

Aku mengernyitkan dahi membacanya. Ada apa? Terakhir kali aku berhubungan dengannya adalah di pertemuan pertama kami. Sudah tiga minggu berlalu. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi menghubunginya. Aku memang selalu memutus komunikasi dengan klien ketika pekerjaanku usai. Aku bahkan memblokir nomor mereka karena tidak mau tiba-tiba mendapat pesan yang bersifat pribadi. Khusus Aksara, aku sengaja membiarkannya. Ia teman dari Leo. Tidak etis rasanya memutus kontak dengan orang yang berelasi dekat dengan orang-orang di sekitarku. Apa lagi, bila tanpa sebab. 

Aku menimbang-nimbang harus kuapakan pesan itu. Tidak mungkin aku membiarkannya. Dan jika kujawab, balasan apa yang akan kuberikan. 'Tidak' dan memintanya untuk bertukar pesan saja. Atau 'Ya', padahal aku tidak terlalu suka berbicara di telepon. 

Namun akhirnya, justru aku yang meneleponnya duluan. Kupikir, nantinya akan tetap bertelepon, jadi aku tak membalas pesannya dan langsung menekan tombol panggil. Perasaanku mengatakan ini tentang pertemuan terakhir kami.

"Halo." Ia mendahuluiku mengucapkaan kata sapaan.

"Halo, Mas. Ada apa?" tanyaku to the point. Ada kebingungan sekaligus rasa gugup dalam suaraku. Semoga tidak terjadi masalah.

"Begini." Ia mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku tadi sudah bertanya ke Diva dan katanya sebaiknya bertanya langsung padamu." Jawabannya terdengar ragu dan berbelit-belit.

"Tentang?"

"Status pacar. Diva bilang aku bisa menyewa status pacar untuk jangka waktu tertentu," ujarnya, akhirnya mengungkapkan tujuannya menghubungiku. Aku bisa bernapas lega karena apa yang kutakutkan tidak terjadi. 

"Iya, Mas. Nanti kamu bisa menyewa seseorang untuk diakui sebagai pacar. Nah, si pacar ini juga harus bilang kalau kamu adalah pacarnya." Nah lho! Kenapa jadi aku yang menjelaskannya? Kenapa pula aku mengatakannya padahal jelas-jelas tadi ia bilang sudah bertanya pada Diva? Wanita itu pasti sudah membeberkan informasi ini.

"Kamu bisa melakukannya?" Oh, inilah tujuan sebenarnya dari percakapan berbelit-belit sebelumnya. Ia menginginkanku berpura-pura menyandang status pacar untuknya.

"Bisa. Untuk berapa lama?" 

"Satu bulan ini saja dulu. Nanti bisa diperpanjang, bukan?" tanyanya memastikan.

"Iya, bisa."

Suasana mendadak hening. Ia terdiam. Tapi aku tahu, ada hal lain yang ingin ia katakan. 

"Aku boleh meminta tolong lagi?"

"Apa?"

"Akhir pekan ini... Bisakah kamu datang ke sini?"

Aku termenung dibuatnya. Rasa terkejut serta kebingungan mendera secara tiba-tiba. Ke sini itu maksudnya... "Ke Jakarta?" tanyaku setengah tak percaya. 

Selama menjalani pekerjaan ini, aku belum pernah bekerja ke luar wilayah Jogja. Itu memang salah satu syarat yang kuajukan. Hal itu juga kulakukan sebagai perlindungan diri karena apabila terjadi masalah, akan sulit mencari bantuan. Diva pun tak begitu saja menerima pekerjaan yang mengharuskan si pacar sewaan ke luar kota, kecuali pada orang-orang yang sudah dikenal baik olehnya. Tak jarang, ia menugaskan orang lain untuk menjaga pekerjanya dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Iya. Mama ingin bertemu denganmu." Inilah penyebabnya. Orang tua memang selalu menjadi alasan yang membuat sang anak mencari beragam jalan demi mewujudkan keinginannya. Aku yakin ia menyewa status pacar juga karena alasan yang sama.

Sudah kukatakan, bukan, kalau aku malas diajak bertemu orang tua klien? Aku tak mau memberikan harapan palsu pada mereka. Cukup keberadaanku saja yang palsu. 

"Nanti aku akan mengurus semuanya, termasuk tiket pesawat dan juga hotel." Ia kembali berujar setelah mendengar kediamanku. 

Aku bimbang. Tentu saja. Menerima pekerjaan darinya sama artinya melanggar prinsipku sendiri. Tapi, ini lebih baik dari apa yang kutakutkan. Aku takut yang kulakukan telah merusak sebuah hubungan. Atau keduanya sama-sama buruk?

"Aku lumayan sibuk minggu ini." Aku berkilah. 

"Aku mohon. Kalau nggak, Mama akan ke Jogja untuk menemuimu."

Jadi, intinya, apapun jawabanku akan berujung pada petemuan dengan ibu Aksara. Aku sama saja tak mempunyai pilihan. Mana yang lebih baik? Mendatangi atau didatangi?

Kuhela napas panjang. Pasrah. "Baiklah." Aku terpaksa mengiyakan permintaannya.

"Makasih, Lin. Akan kupastikan Mama nggak merepotkanmu dan kamu tetap bisa fokus bekerja di sini." 

Setidaknya, janji yang diucapkannya dapat memberi sedikit ketenangan bagiku. "Harus itu, Mas." Aku bahkan bisa menyelipkan nada canda dalam suaraku.

Panggilan telepon di antara kami berakhir. Aksara bilang akan mencarikan akomodasi selama di Jakarta dan menginformasikannya padaku nanti. Aku tinggal terima beres. Begitu katanya.

Lagi-lagi, sebuah helaan napas keluar dari bibirku. Aku membayangkan situasi yang akan kuhadapi. Bagaimana perjumpaanku dengan ibu Aksara? Seperti apa beliau? Kesan apa yang harus kutunjukkan di hadapannya? 

Semakin aku memikirkannya, nyaliku justru semakin menciut. Rasanya bak bertemu calon mertua. Ada kegugupan, ketakutan, dan harapan di hatiku. Masalahnya, aku tak pandai mencuri hati seseorang agar mereka menyukaiku. Aku sudah berhenti untuk terus-menerus menyenangkan orang lain.

Ah, aku nyaris lupa pada pekerjaanku. Aku mungkin harus menyelesaikan semuanya lebih awal supaya memiliki cukup waktu menyiapkan perjalananku. Aku juga perlu menenangkan hati dan pikiran dalam menghadapi keadaan mendadak dan mendesak ini. 

Haruskah aku bertanya pada Diva tentang bagaimana sebaiknya bersikap di depan calon mertua?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status