Share

Tiba di Jakarta

Pertama kali aku mengunjungi Jakarta adalah ketika acara wisata sekolah semasa SMP. Tempat-tempat yang kudatangi, seperti Dufan, Ancol, lalu apa lagi? Aku tidak mempunyai dokumentasinya sehingga tak ingat pernah ke mana saja. Maklum, dulu belum ada ponsel berkamera. Atau sudah ada, tapi terbatas dan terlalu mahal untuk semua kalangan. Kamera yang populer pun kebanyakan masih menggunakan roll film yang tentu perlu biaya untuk membelinya. Karena itu, foto-foto yang bisa diambil hanya sedikit dan entah menggunakan kamera siapa.

Kali kedua berkunjung ke ibu kota adalah setahun lalu untuk menghadiri pernikahan sepupu. Aku beserta keluarga besar menginap di rumah om selama empat hari. Di sana, aku harus tidur ala kadarnya karena jumlah ruang yang terbatas. Cukup beralaskan karpet, aku dan sepupu-sepupuku yang lain bisa istirahat di mana saja. Bisa lorong atau tempat-tempat lain yang dirasa lega. Dan Jakarta itu panas. Kipas angin tak hentinya berputar selama kami ada di sana.

Pengalaman terakhirku itu bisa dibilang tak cukup menyenangkan. Bukan masalah di mana aku berisitirahat atau ruang pribadi yang jelas-jelas tak ada, melainkan aku yang sakit tepat seusai menghadiri pesta. Mungkin, aku tidak berhati-hati dan meminum air putih yang langsung menyebabkan radang tenggorokanku kambuh. Ditambah demam yang datang setelahnya, lengkap sudah penderitaanku. Aku bahkan tak kuat membuka mata sepanjang perjalanan pulang dan terus tidur hingga kereta sampai di Jogja.

Dan kali ketigaku ke kota tersebut, aku tidak menggunakan kereta, tetapi naik pesawat sesuai apa yang Aksara perintahkan. Sejujurnya, aku belum pernah naik pesawat dan otomatis ini menjadi pengalaman pertama untukku. Aku tidak pernah bepergian jauh dari rumah. Jika hanya ke kota-kota di pulau Jawa, aku dapat menggunakan moda transportasi darat. 

Karena itulah, aku datang satu setengah jam lebih awal dari jadwal yang tertera di tiket pesawat. Aku mengikuti petunjuk dan tak jarang bertanya pada petugas bandara. Aku menganut prinsip malu bertanya sesat di jalan. Lebih baik bertanya daripada kebingungan sendiri nantinya. Yang jelas, aku berhasil menumpang pesawat sesuai tiket yang kupegang. 

Meski baru pertama kali, namun aku tahu bangku yang kududuki bukan berada di kelas ekonomi. Jumlah kursi di ruangan ini lebih sedikit dengan posisi yang lebih jarang. Katakan saja aku norak, tapi kursi di sini benar-benar nyaman. Ruangan juga terasa lebih private. Benar kata orang, ada harga ada rupa.

Aku menggeret koperku keluar dari bandara Soekarno-Hatta, setibanya aku di tempat tujuan. Barang bawaanku tidak banyak. Hanya sebuah tas ransel berisi laptop dan peralatan menggambar lain, serta koper ukuran 18 inch yang isinya beberapa setel pakaian. 

Aku mengikuti petunjuk yang mengarahkanku menuju pintu keluar. Jika ada kesempatan, sebenarnya, aku ingin berkeliling sebentar. Yah, sekadar melihat fasilitas yang tersedia di bandara ini. Tapi, Aksara tadi mengirimiku pesan. Katanya, ia sudah ada di sini menantikan kedatanganku. Aku tak enak hati bila harus membuat seseorang menunggu.

Aku merapikan letak kacamata di ujung pangkal hidungku. Kali ini, aku sengaja mengenakannya agar penglihatanku jelas. Aku juga membutuhkannya untuk mengenali Aksara di antara ratusan orang di tempat ini.

Aku berhenti melangkah dan mengamati sekeliling. Dari yang kulihat, beberapa penumpang yang keluar bersamaku sudah bertemu dengan keluarga, teman, atau orang-orang yang menjemputnya. Maka, kucari Aksara. Jika sudah menunggu, seharusnya ia berada di sekitar sini. 

"Alin!" 

Seruan seseorang secara refleks membuatku menoleh. Itu Aksara dengan style santainya yang tetap terlihat menawan. Oh, aku tidak boleh terpesona padanya, meski aku sempat merasakan rasa yang sama di pertemuan awal kami. Dengan segera kutepis pemikiran itu dan mengembalikan kesadaranku. Aku sedang bekerja.

Aku menunggunya sampai di hadapanku. "Sudah lama menunggu, ya?" tanyaku pada Aksara saat jarak kami sudah dekat.

"Nggak, kok," jawabnya, lalu mengambil alih koper yang kubawa. "Langsung pulang atau mau mampir dulu?" 

Ia menggantikanku membawa koper abu-abu milikku. Aku tidak sempat menolak karena dalam sekejap koper itu telah berpindah ke tangannya. Jadi, kubiarkan saja ia melakukannya. Akan aneh jika tiba-tiba aku menolak bantuannya di saat ia sudah mulai berjalan mendahuluiku.

"Mau mampir ke mana? Aku nggak tahu tempat-tempat di sini," ujarku jujur. Pengetahuanku sangat terbatas mengenai kota ini.

Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin, mencari referensi tempat untuk singgah. "Nanti kita mampir sebentar di toko kue."

Aku memberikan anggukan sebagai persetujuan.

Aku mengikuti langkah kaki Aksara. Ia membawaku ke area parkir, kemudian menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Ia memastikan barang bawaanku aman di bagasi mobil sebelum duduk di belakang kemudi. "Nggak ada yang ketinggalan, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak ada."

Mobil berwarna biru metalik itu pun perlahan meninggalkan lokasi parkir dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan ibu kota. 

"Apa ini, Mas?" Sebuah pot kecil berisi tanaman yang terletak di dasbor mobil di depanku berhasil menarik perhatianku. Tanganku bergerak mengambilnya. Kuamati tanaman itu sembari menebak-nebak apa namanya.

"Bunga matahari. Belum berbunga, jadi belum kelihatan kalau itu bunga matahari." Aksara membalas pertanyaanku dengan masih berfokus pada jalanan di depannya.

"Oh..."

"Untukmu. Kudengar kamu suka mendapat bunga hidup daripada sebuket bunga."

Benar sekali! Seperti yang ia bilang, aku memang lebih senang ketika seseorang memberikan pot berisi tanaman bunga hidup padaku dibandingkan mendapat sebuket bunga potong. Aku bisa merawat tanaman tersebut dengan rajin menyiraminya. Proses ini pasti akan lebih meninggalkan kesan. Namun, bukan berarti aku menolak apabila tiba-tiba sebuket bunga datang padaku. Aku tetap harus menerimanya untuk menghargai tindakan sang pemberi bunga. 

"Serius?" Ada nada antusias dalam suaraku. "Makasih, Mas. Tapi, kamu tahu darimana kalau aku suka mendapat ini?" Yang kumaksud adalah tanaman bunga, tentu saja.

"Diva. Siapa lagi?"

Aku sudah menduganya. Hanya sedikit orang yang tahu kesukaanku. Dan dalam situasi ini, yang paling berpotensi melakukannya memang adalah Diva. Di pertemuan sebelumnya pun demikian. Wanita itu pasti membocorkan kesukaanku pada cokelat sehingga Aksara memberikan sekotak brownies sebelum kami berpisah.

"Sepertinya, kamu tahu cukup banyak tentangku. Tapi, aku hampir nggak tahu apa-apa tentang kamu," gerutuku atas diri sendiri yang tak mempunyai inisiatif mencari tahu informasi mengenai Aksara.

Gelak tawa keluar dari bibir Aksara. Ia tertawa cukup lama yang sama sekali tak mengurangi rasa bersalahku. "Tanyakan saja langsung padaku." Ia berkata di sela-sela tawanya.

Apa yang ingin kutanyakan padanya? Tidak mungkin hal yang bersifat pribadi karena kami baru saling mengenal. Lagi pula, siapa aku? Aku bahkan belum menjadi temannya. 

Baiklah. Aku akan menanyakan hal yang umum saja. "Apa makanan kesukaanmu?" Aku mulai bertanya.

"Martabak manis."

Aku agak terkejut mendengarnya. Kupikir, orang-orang seperti Aksara akan menyebutkan nama makanan yang asing dan belum pernah kucoba. Nyatanya, seleranya tak jauh berbeda denganku. Martabak manis memang menjadi favorit banyak orang. 

"Kalau minuman favorit?"

"Kopi."

"Bagaimana dengan hobi?"

Ia diam sejenak utuk berpikir. "Seperti kebanyakan orang... Nonton, baca, santai, travelling," ucapnya menyebutkan beberapa kegiatan yang menjadi hobinya.

"Warna kesukaan?"

"Serius kamu menanyakan itu?"

Dahiku berkerut. Apa yang aneh dari bertanya soal warna kesukaan?

"Iya. Aku suka hijau. Kamu suka warna apa?"

"Hitam dan biru." Akhirnya, ia menjawab. Ini cuma tebakanku saja. Pemilihan warna mobilnya, mungkin, dipengaruhi oleh kesukaannya pada warna biru. 

"Lagu?"

"Hmm... Kalau sekarang, aku lagi suka mendengarkan lagu-lagunya Lana Del Rey."

Oh, aku tahu penyanyi itu. Aku sempat mendengarkan beberapa lagunya. Karyanya berbeda dari lagu-lagu yang pernah kudengarkan sebelumnya. Ada keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dari penyanyi lain. 

"Genre film?"

"Apa saja yang penting bagus dan menarik."

"Kalau drakor?"

Sekilas, ia menoleh padaku dengan ekspresi seolah mempertanyakan pertanyaanku barusan.

"Yah... Aku adalah penikmat drama Korea. Kamu mau, nggak, kalau misalnya aku mengajakmu nonton bersama?" Drama Korea, tentunya. 

"Lihat ceritanya dulu, ya." Aku sudah menduga ia akan menjawab begitu. Jarang sekali kutemukan pria yang mau dan suka menonton serial televisi dari negeri ginseng itu. Memang, yang penuh drama adalah hidup wanita.

"Ukuran sepatu?"

"42. Mau membelikan sepasang untukku?" guraunya.

Aku mengendikkan bahu dan berkata, "Mungkin saja."

"Akun sosial media?" 

"Hmm?" Ia merespon dengan meminta penjelasan tambahan untuk pertanyaan tersebut.

"Menurutmu, apa aku perlu mem-follow akunmu agar orang-orang percaya pada hubungan kita?" Aku justru memberinya pertanyaan lain untuk melengkapi.

Kerutan di dahinya menghilang setelah mengerti tujuanku bertanya demikian. "Cari saja namaku. Atau nanti kutunjukkan kepadamu."

"Oke. Lanjut! Jam tidur?"

"Sekitar tengah malam."

"Kebiasaan sebelum tidur?"

"Nggak ada." 

"Kebiasaan saat tidur?" 

"Kamu harus melihatnya sendiri agar tahu," candanya, lalu terkekeh geli setelahnya. Aku sedikit salah tingkah dibuatnya karena secara tak sadar melontarkan pertanyaan itu. Rasanya, kedua pipiku memanas, terlebih usai mendengar jawaban pria itu. 

Namun, akan terlalu canggung bila sesi tanya jawab ini mendadak berhenti. Maka, aku memilih untuk tak memikirkan ucapan Aksara dan terus melanjutkan obrolan kami hingga mobil biru metalik ini membawa kami ke tempat tujuan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status