Share

Chapter 1 - Saturday Morning

Hari sabtu, merupakan hari yang paling sibuk untuk Nahdara, dia melihat tumpukan resep dan kue yang diinginkan oleh pelanggannya. Setiap hari sabtu, dia akan mulai menyiapkan resep baru dan itu terbilang sangat melelahkan karena dia harus membuatnya beberapa kali agar rasanya pas.

Tetapi, Nadhara menyukai hari sibuk itu karena dia bisa berkreasi dan terkadang mendapat ide baru untuk membuat kue. Seperti Nadhara, sabtu pagi selalu membuatnya bersemangat. Dia tidak sabar untuk mencoba membuat resep baru yang dia buat beberapa hari yang lalu karena setiap hari senin, dia mengganti kue yang terpajang di toko agar pelanggan tidak bosan.

Ia menggumamkan lagu sembari menatap kue di lemari untuk di pajang di tokonya. Pagi ini, dia sudah membuat beberapa kue dengan resep baru dan sangat bersemangat untuk menunjukkan kue itu kepada pelanggan setianya.

Biasanya banyak anak sekolah, pegawai negeri ataupun pegawai kantoran yang mampir untuk sekedar membeli roti atau sepotong untuk sarapan dan bahkan membeli kue sendiri untuk merayakan ulang tahun atau hari bahagia lainnya.

“Nada, sekarang semua kue dan roti sudah selesai. Kita siap untuk membuka toko.” Ucap Daffa, salah satu orang yang membantu Nadhara membuat kue di toko rotinya.

Nadhara mengangguk, “Tunggu tiga menit lagi, kita selalu membukanya tepat pukul setengah tujuh.”

Daffa mengangguk lalu kembali ke dapur, Nadhara terus melihat jam tangannya dengan jantung berdebar. Euporia tentang resep untuk kue baru membuatnya sangat bersemangat untuk di coba oleh beberapa pelanggannya.

Nadhara sudah melihat

beberapa orang menyapanya dari luar. Salah satu dari mereka adalah pelanggan setia toko Nadhara tetapi dia ingin membiarkan toko ini buka sesuai waktu yang dulu dia tentukan jadi tidak pernah cepat atau lambat.

Tepat pukul setengah tujuh, dia mengubah tanda ‘closed’ menjadi ‘open’ lalu membuka pintu dan mempersilahkan pelanggannya masuk. Hal yang Nadhara sukai ketika pelanggannya masuk adalah mereka terdiam lalu mencium aroma roti khas yang menguar di toko rotinya.

“Wah wangi sekali. Nad, hari ini ada kue atau roti baru?” tanya salah satu pelanggannya.

Nadhara mengangguk lalu berjalan sembar menggiring wanita paruh baya itu menuju sebuah lemari kaca dan menunjuk tiga buah kue baru. Nadhara fasih menjelaskan rasa dan bahan apa yang di campur di dalam kue itu.

Nadhara meminta salah satu pegawainya untuk memberikan pelanggannya sepotong kecil bagian kue yang memang dia gunakan sebagai taster untuk para pengunjung baru dan pelanggan mereka.

Wanita paruh baya itu melebarkan mata setelah mencobanya, “Rasanya sangat segar dan sangat lembut ketika di gigit. Saya mau satu, bungkus ya.” Ucap wanita itu lalu berjalan ke arah rak roti yang baru saja selesai di oven.

“Kami membuat varian roti baru.” Ucap Nadhara mencoba mengambil perhatian wanita paruh baya itu. “Ini,” dia menunjuk sebuah roti yang bentuknya mirip bantal tetapi lebih kecil. Wanita paruh baya itu melihat kea rah yang di tunjuk Nadhara.

“Ini isinya apa?” tanya wanita paruh baya itu sembari mengangkat roti yang di maksud oleh Nadhara.

Nadhara tersenyum, “Isiannya kelapa muda yang sudah di campur dengan gula merah dan yang berada di sebelahnya menggunakan gula putih. Kalau yang yang di sampingnya roti gandum yang baru saja selesai di oven, masih panas dan enak untuk di pakai sarapan bersama selai.”

Wanita paruh baya itu menatap roti gandum yang di tunjuk oleh Nadhara, “Apa bedanya roti gandum dan roti tawar?” tanya wanita itu menatap Nadhara dengan ekspresi ingin tahu.

Nadhara tersenyum lalu melangkah pelan dan berdiri di depan roti yang dia maksud. “Kalau dari yang bisa kita lihat sekarang, sangat tampak jika roti tawar dan gandum sangat berbeda, Bu. Roti tawar di buat dengan tepung terigu, itulah yang membuat warnanya lebih cerah dan bahkan mendekati putih kecoklatan sedangkan untuk roti gandum terbuat dari tepung gandum yang membuatnya berwarna kecoklatan.

“Sini, Bu. Lebih dekat lagi, sama saya.” Ucap Nadhara lalu memperlihatkan tekstur kedua roti itu. “Nah, dari sini kita dapat melihat jika tekstur rotinya sangat berbeda, roti tawar sangat lembut dan halus hingga rongganya cukup banyak sedangkan gandum memiliki banyak serat sehingga tekstur rotinya padat dan kasar. Lalu, kalori keduanya berbeda, Bu. Kalori roti tawar lebih tinggi apalagi jika di makan dengan selai, susu ataupun campuran lainnya dan roti gandum kalorinya lebih sedikit tetapi tidak mengurangi karbohidrat, protein dan beberapa zat alami yang terkandung di dalam kedua roti ini.”

Wanita paruh baya itu tersenyum senang, “Kalau begitu saya ambil dua-duanya.

Nadhara tertawa, “Ah, saya sedih. Ibu mungkin nggak datang ke toko roti ini besok karena membeli banyak roti hari ini.”

Wanita itu ikut tertawa dan menambahkan roti kelapa gula merah masuk di keranjang belanjaannya. “Saya pasti sering datang karena keluarga saya suka makan roti. Mungkin akan habis dalam sehari, kamu ada selai juga?”

Nadhara mengangguk, “Kami ada selai nanas, strawberry, bluberry dan nuttela buatan sendiri. Silahkan.”

Wanita paruh baya itu memilih dua jenis selai lalu berjalan menuju kasir. Nadhara sendiri yang melayani pelanggannya karena kedua kasirnya juga sedang sibuk. “Bu?”

“Panggil tante aja. Tante Ay.” ucap wanita itu lalu tersenyum.

Nadhara tersenyum lalu mengangguk pelan, “Iya Tante. Tan, kalau nggak sibuk, sarapan sama-sama yuk di atas?”

“Yah, hari ini saya mau pergi ke luar kota. Mungkin nanti siang sudah berangkat.” Jawabanya sedih.

Nadhara memberikan kantong berisi beberapa roti dan juga satu kotak berisi kue yang tadi beliau pesan. “Lain kali?”

“Sure, nanti sepulang saya dari luar kota pasti ke toko kamu lagi. Sarapannya gratis kan?” tanya wanita paruh baya itu bercanda.

Nadhara tersenyum lebar, “Pasti tante, saya yang traktir.”

Mereka berdua sama-sama tertawa, lima menit kemudian wanita paruh baya itu sudah pamit dan pergi dari tokonya mengendarai mobil sedan berwarna hitam. Nadhara kembali melayani pelanggan dan pembeli selanjutnya. Pagi itu sangat sibuk sampai dia harus sarapan pukul sepuluh pagi.

Nada memesan nasi uduk untuk di makan sebagai sarapan karena dia sudah sangat lapar dan menu lain untuk semua rekan-rekannya. Mereka makan bergantian karena masih ada beberapa pembeli yang harus mereka layani.

“Nad, kue blueberry mintnya tinggal dua sekarang dari total dua puluh lima yang kita buat pagi ini. Untuk roti tawar langsung habis, Daffa sedang membuatnya sekarang dan roti kelapa juga dua-duanya sudah habis. Di bawah tersisa bagel, croissant, baguette dan beberapa muffin.” Lapor Mika yang merupakan rekannya untuk membuat kue dan roti.

Nadhara hampir saja tersedak nasi uduknya, “Bagaimana bisa? Bukankah kita tadi baru saja membuat banyak stok? Bagaimana dengan yang ada di dapur?”

“Suda habis, Daffa sudah membuat adonannya. Sekarang tinggal di buat kembali.” Ucap Mika.

Nadhara menghela napas panjang, dia tersenyum. Ini salah satu yang dia sukai dari hari senin, bahkan tidak menduga hal ini terjadi. Roti-roti dan kue yang mereka jual sudah hampir habis hanya dalam waktu beberapa jam.

“Aku akan membantu setelah makan.” Ucap Nadhara.

Mika mengangguk lalu beranjak untuk berdiri, “Jangan terburu-buru, kami bisa menghandelnya.”

Nadhara mengangguk, dia mengambil waktu setengah jam untuk makan, mandi untuk kedua kalinya dan kembali mengganti pakaian untuk segera membuat kue dan roti di dapur.

Satu jam kemudian, Nadhara telah mengoven beberapa kue. Di tengah kesibukannya dia berpikir untuk menambah dua karyawan lagi untuk membantu mereka membuat kue. Tetapi, dia ragu rencana itu harus dia ambil atau tidak karena Nadhara sedikit tidak percaya kepada orang lain yang belum lama dia kenal apalagi untuk membuat kue seperti ini yang merupakan andalan utama mereka dalam membuka toko roti.

Nadhara duduk di kursi, dia menyeka keringatnya. Sekarang sudah lewat makan siang dan mereka baru saja selesai membuat beberapa kue kembali dan menaruhnya di toko.

Walaupun sedikit lelah, tetapi wajah Nadhara tersenyum begitu juga dengan dua rekannya yang lain. “Wah, aku rasa blueberry.” Ucap Mika sembari tertawa.

Nadhara tersenyum, “Masih mending, dari pada aku bau gula merah.”

Mereka bertiga kompak tertawa, Daffa juga ikut mencium wangi tubuhnya dan dia terkejut ketika dia berbau tepung terigu. Itu karena dia banyak sekali membuat adonan hari ini dan untuk besok hari.

“Kalian boleh pulang, jika roti di depan habis aku akan menambahkannya sendiri dan jika stoknya memang habis terpaksa kita kembali kerja rodi besok.” Ucap Nadhara yang telah berdiri dan berjalan ke depan.

Mika dan Daffa saling bertatapan, keduanya tersenyum sangat lebar. “Serius?”

Nadhara mengangguk, “Iya serius, hari ini ku kasih libur setengah hari karena aku tahu kalian akan merayakan hari annivarsari ke empat tahun kalian.”

Daffa dan Mika sangat terkejut mendengar ucapan Nadhara, “Bagaimana kau ingat?”

Nadhara berbalik, “Bagaimana tidak? Di kalender ada lingkaran warna merah sangat besar sampai aku selalu melihatnya.”

Kedua orang itu refleks melangkah lalu melihat kalender, tiba-tiba Daffa menggaruk tengkuknya lalu tersenyum malu kepada Mika dan juga Nadhara. Melihat itu, Mika yang merupakan kekasih Daffa memukul punggung pria itu kuat-kuat. “Dasar, yuk. Nanti keburu sore.” Ajak Mika.

Daffa mengangguk, keduanya pergi dari hadapan Nadhara setelah mengucapkan terimakasih. Dia hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat sepasang kekasih itu. Nadhara membuka topi yang dia gunakan saat membuat roti ataupun kue agar rambutnya tidak terjatuh.

Ia keluar untuk meliaht pergantian karyawan yang melayani pelanggan dan juga kasir. Ketika semuanya berjalan dengan lancar, Nadhara ijin untuk naik ke lantai tiga untuk kembali membersihkan diri.

Nadhara kembali makan pesan antar, kali ini dia memesan rica-rica, ayam bakar dan sop tahu. Perutnya langsugng berbunyi ketika menghirup aroma yang sangat lezat.

Nadhara makan dengan tenang sembari melihat stok kue dari tablet miliknya yang langsung dilaporkan ketika ada pelanggan yang membeli roti mereka. Jumlah itu sudah dihitung secara akurat dengan jumlah yang dia tambah hari ini.

Athala memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko roti bernama Rosemary, dia sangat lapar karena baru saja selesai melakukan operasi dan tidak pernah makan seharian. Ketika membuka pintu, Athala di sambut wangi roti yang membuat perutnya sangat lapar.

Ia mengambil beberapa potong roti dan terkejut ketika roti itu masih terasa hangat. Athala mengambilnya di atas nampan khusus dan pergi ke kasir untuk membayar. Di sana, dia melihat beberapa minuman yang bisa dia pesan juga.

“Ini saja, Pak?” tanya seorang kasir kepada Athala.

Athala terdiam sembari membaca beberapa minuman yang terpajang. “Satu Americano dingin.”

Kasir itu mengangguk, “Baik, nanti kami akan mengntarnya ke atas.”

Athala menganguk pelan, dia melangkahkan kakinya ke lantai dua. Dia sangat kagum dengan dekorasi toko roti itu, sangat nyaman dan juga memiliki pengharum ruangan alami berupa wangi khas roti.

Dia memakan rotinya sesuap demi sesuap dan Athala benar-benar terkejut dengna rasa roti di sini. Sangat lembut dan sesuai dengan roti asli yang pernah dia rasakan.

“Silahkan, Americanonya.” Ucap seorang pramusaji kepada Athala.

Athala mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia menikmati makanannya itu dengan perasaan senang. Akhirnya perutnya sedikit terisi, setelah ini dia akan makan siang.

Athala sengaja memakan roti terlebih dahulu agar tidak sakit perut ketika pencernaannya langsung di tabrak dengan nasi. Setengah jam kemudian, Athala turun dan pergi dari toko roti itu.

Di saat yang sama Nadhara juga turun ke toko untuk mengecek keadaan. “Hei, ngapain ngelihatin pintu sampai mangap kayak gitu?” tegur Nadhara ketika melihat kasir tokonya melamun sembari menatap pintu.

“Eh, nggak Bos. Tadi, ada cowo ganteng banget.” Ucapnya tergagap karena dikejutkan oleh Nadhara.

Dia menggelengkan kepala pelan, “Ya udah, kerja lagi. Cowonya udah pergi kan?”

Kasir itu mengangguk cepat, “Iya, Bos. Itu yang barusan pergi.”

Nadhara hanya tertawa kecil dan pergi untuk mengatur roti agar susunannya lebih terlihat rapi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status