Jari-jemari Kanya dengan cekatan mengetuk setiap tombol pada keyboard sebuah laptop berwarna hitam. Rangkaian paragraf terus mengalir di layar laptop berukuran 14" tersebut.
Kanya Arundhati saat ini, sedang menggarap novel keduanya setelah sukses dengan novel pertamanya berjudul 'A Mysterious Man' yang mendapatkan popularitas hingga ratusan juta pada salah satu aplikasi menulis. Di sanalah dia mendapatkan penghasilan dan terus menulis.
Novel keduanya berjudul 'Kill Me' masih dengan genre yang sama seperti novel pertamanya yakni, genre horor-thriller, misteri dan dibumbui romantisme.
Kanya tetap fokus mengetik paragraf demi paragraf karena idenya tidak akan putus setelah dia menggebrak drafnya. Namun, jemarinya berhenti sampai pada adegan yang membuatnya bermimpi buruk yaitu, adegan pembunuhan. Adegan yang cukup Kanya sukai dan mendeskripsikan adegan itu tidaklah sulit baginya, meskipun demikian Kanya akan berpikir ulang ketika merangkai adegan tersebut.
"Kanya, lo nggak lagi bikin adegan pembunuhan kan malam-malam begini?" Samuel Wijaya bertanya.
Pria berambut coklat terang—sahabat Kanya yang selalu mendukungnya selama setahun belakangan sejak dia menulis novel. Pria itu semakin akrab dengannya dan menjadi teman juga sahabat satu-satunya.
"Nggak malam, nggak siang sama aja, Sam. Gue harus selesaikan adegan ini. Malam ini juga! Karena ini part terakhir dari chapter." Kanya berujar ngotot.
Meskipun dia tahu dirinya akan bermimpi buruk ketika tidur nanti dan bangun dengan sakit kepala besok pagi. Dia akan tetap menuntaskan part terakhir dari chapter tersebut.
"Kay ...,"
Kay merupakan sapaan akrab dari Kanya Arundhati—lebih tepatnya adalah nama pena yang digunakannya di sebuah platform menulis yang sangat terkenal belakang ini. Platform itulah yang menjadi pundi-pundi penghasilan baginya dan novel perdananya benar-benar booming, meskipun memiliki genre yang sebenarnya kurang diminati lantaran banyaknya adegan seram dan mencekam seperti adegan psikopat sadis yang membunuh targetnya, sehingga membuat pembaca cukup bergidik ngeri, apalagi dengan cara penuturan dan gaya Kanya ketika mendeskripsikan sebuah adegan.
Kanya melirik pada sahabatnya. "Sam, lo pulang aja. Nggak usah nungguin gue! Lagian udah malam ngapain masih di apartemen gue?"
Samuel menggelengkan kepalanya dan menghela napas pelan. "Ya sudah, gue pulang sekarang. Kalau lo mimpi buruk, nggak usah nelpon gue tengah malam nanti." Samuel mendengus sembari membereskan barang-barangnya.
"Tenang aja, gue udah terbiasa dengan mimpi itu. Udah buruan pulang sana! Malam-malam begini masih di apartemen anak gadis." Ledek Kanya.
Samuel Wijaya memasang wajah datar ketika melihat wajah Kanya. "Oke." Balasnya singkat.
Dirinya terkekeh ketika Samuel Wijaya mengambil langkah dan meletakkan tangannya pada gagang pintu. Sebelum membuka pintu Samuel kembali melirik Kanya.
"Kay, gue beneran pulang."
"Hati-hati di jalan jangan sampai ketemu kuntilanak." Ucapnya dengan nada bercanda. Dia masih melihat ke arah Samuel Wijaya dari duduknya. Namun tidak ada keinginan untuk bangkit dan mengantar pria itu keluar dari apartemennya.
Sekali lagi Samuel menggeleng pelan. "Astaga! Lo nyumpahin gue biar ketemu kunti? Teman macam apa lo?! Mentang-mentang penulis novel horor, nggak ada takut-takutnya."
"Horor-Thriller, Bro." Tukas Kanya.
"Iya, tahu! Gue pulang." Samuel Wijaya lantas membuka pintu dan keluar dari apartemen Kanya.
Kini, tinggal Kanya sendiri di dalam apartemen tipe 21 tersebut. Dia duduk lurus di kursinya sambil menatap kosong pada layar laptop di depannya. "Huh!" Kanya mengerutkan kening dan menghela napas pelan karena memikirkan adegan yang akan dia tulis. "Apa harus gue tulis adegan itu malam ini?!" kedua siku bertumpu di atas meja, sedang kesepuluh jarinya menggaruk lembut pada pucuk kepalanya.
Melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul 23:35 PM, dan sebentar lagi tengah malam tiba.
"Sebentar lagi tengah malam dan gue harus update chapter baru."
Wajahnya berubah lesu ketika sampai pada part yang membuat kepalanya berat seperti dipukul benda keras, namun tak meninggalkan bekas.
Kanya adalah tipe penulis yang berprinsip dan konsisten akan apa yang telah dia kerjakan. Jika update chapter novelnya pada tengah malam, maka dia harus menyelesaikan chapter tersebut dan tentunya dia harus update pada tengah malam pula tidak bisa ditunda.
"25 menit lagi dan ini merupakan part terakhir di dalam chapter 11. Gue harus selesaikan. Semangat, Kanya!" mata berapi-api serta kesepuluh jemari siap mengetik setiap rangkaian kata dalam fantasinya.
Part terakhir yang Kanya tulis dalam chapter-nya telah dia rampungkan kurang dari 25 menit. Setelah melakukan pengecekan ulang selama beberapa menit, dia memposting chapter tersebut. Terlalu lelah, mata Kanya mulai terpejam setelah mematikan laptop dan tertidur di sana.
Dalam suasana berkabut, di mana Kanya berada di sebuah gudang tua. Gudang tempat dia menusuk dada kiri seorang pria berbusana hitam. Dirinya telah masuk ke dalam dunia—entah mimpi seperti nyata ataukah nyata bagaikan halusinasi. Dia sendiri kurang paham akan hal yang disebutnya mimpi buruk berulang.
Berteriak. Kanya terus berteriak ingin lari dari sana, atau bangun secara paksa. Dia memegang kepalanya, rasa getir telah menelusup ke dalam rongga jiwanya.
"Nggak! Nggak! Nggak lagi!"
Ingin berlari, namun cahaya pun tak ada lantaran kabut gelap menguasai tempat itu. Matanya tak melihat satu pun jalan keluar, seperti biasanya Kanya menjadi sosok yang kebingungan dan kehilangan arah.
"Kanya ..., hei, kamu datang lagi?"
Nada halus dari seorang pria yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Selama setahun sejak menulis novel perdananya. Setiap kali part pembunuhan di tulis olehnya, pria ini akan datang dalam kabut gelap pada mimpinya.
Hentakan pelan suara langkah kaki berasal dari pria yang menyapanya barusan. Sesosok pria tinggi nan tampan dengan garis rahang sempurna bak model internasional—pria ini hanya ada dalam mimpi Kanya. Ya, saat ini hanya ada dalam mimpinya.
Selangkah demi selangkah pria dengan senyum memikat itu mendekat ke arah Kanya dan perlahan kabut hitam yang menyelimuti gudang itu—memudar ketika pria itu muncul.
"E, Eros." Lirih Kanya kala menyebut nama pria yang jaraknya beberapa meter darinya. Eros selalu terbunuh dalam mimpi Kanya. "Jangan mendekat!" Kanya mundur beberapa langkah, rasa getir telah menyeruak dalam sanubarinya. Takut untuk membunuh pria itu, takut setiap kali dia harus membunuh pria itu tanpa rasa belas kasih. Air mata Kanya telah membasahi pipi, dia gemetar tatkala senyum hangat Eros menyapanya.
"Kenapa Kanya? Bukankah kamu datang karena merindukanku?"
Setiap langkah Eros semakin mendekat ke arahnya. Dari tangan pria tinggi itu menaburkan kelopak bunga mawar merah di setiap langkah yang diambilnya. Kanya memperhatikan hal sama berulang kali, dan sebentar lagi hal yang ditakutinya akan terjadi.
"Gue bilang jangan mendekat!" pekiknya dengan suara lantang.
Eros sengaja menggelengkan kepala tanda ketidaksetujuannya. "Make a wish, Kanya."
Jantung Kanya seperti merosot ke lambungnya kala kalimat yang ditakutinya meluncur dari bibir Eros.
Kelopak bunga mawar di tangan Eros telah berubah menjadi belati tajam berwarna merah kepekatan. Eros tanpa ragu mengulurkan belati itu pada Kanya. Dia sangat takut melihat belati yang biasa digunakannya, ketika berkali-kali menembus dada pria itu.
"Nggak! Nggak lagi! Gue mohon."
"Ambil, Kanya." Nada tegas Eros ketika memerintah Kanya.
Dengan perlahan tanpa perlawan, tangan kanannya mengambil belati tersebut dari tangan Eros. Iris mata Kanya beralih merah saat belati tergenggam sempurna di tangannya. Dalam relung terdalam, mencoba melawan dirinya sendiri, akan tetapi belati di tangan kanannya siap meluncur ke dada kiri Eros.
"Make a wish, Kanya." Desis Eros. "Make a wish." Sekali lagi Eros mendesis di dekat Kanya.
"Matilah!"
Belati tersebut lantas menancap pada dada kiri Eros. Rasa dingin dan tak berperasaan itu telah menembus tulang pria itu. Darah mulai menetes dari sana. Rasa sakit dari Eros nampak oleh mata Kanya. Namun, tak ada belas kasih yang dia rasakan saat ini.
"Uhuk!"
Darah langsung mengucur tatkala belati ditarik dengan sengaja oleh Kanya. Dia mulai tersenyum sadis melihat mata penuh kesakitan dari pria tampan di hadapannya. Sayang sekali Eros harus mati berkali-kali di tangan Kanya.
"Hahaha~" tawa Kanya menggema di seluruh gudang.
Eros tak lagi berucap dan Kanya tanpa segan menikam dada kiri Eros sekali lagi, dua kali, tiga kali, hingga kali yang tak terhitung olehnya. Hingga akhirnya Eros tumbang lantaran ujung belati itu telah menembus jantungnya.
Bersambung
Meski mati berkali-kali di tanganmu adalah takdirku, aku akan menerimanya dengan senang hati. — Apple Leaf
Kanya POV"Ah!!!" aku berteriak sekencang mungkin ketika kabut merah sepekat darah yang mengalir dari dada Eros—menyelubungi selsuruh gudang tempat aku menikam pria itu. Mataku terbuka dan napasku tersengal-sengal seperti telah berlari puluhan meter jauhnya, serta keringat dingin membasahi seluruh badanku, untungnya aku tidak mengompol karena ketakutan.Akan sangat memalukan bagi perempuan seusiaku, ketakutan karena mendapatkan mimpi buruk sampai mengompol. Membayangkan saja rasanya lebih mengerikan daripada menikam dada Eros dengan belati.Aku mencoba menegakkan tubuhku. Kepalaku amat berat dan sakit seolah dipukul dengan pentungan. Membenahi pernapasanku agar lebih santai lantas aku bersandar."Mimpi itu lagi, berulang kali tetap sama dengan ending yang sama pula." Gumamku pelan. "Hah," menghela napas lemah itu yang dapat aku lakukan untuk saat ini ketika napasku sudah mulai membaik, tidak tersengal seperti beberapa saat lalu.
Kanya POVSamuel Wijaya menghiraukanku dan masuk ke dalam apartemen, tidak lupa dengan bungkusan hitam di tangannya. Dia menoleh ke belakang ketika aku sudah menutup pintu apartemen."Tadinya gue mau langsung ke kantor aja, tapi sayang banget sama bungkusan ini. Jadi gue ketok pintu terus bertamu dengan sopan seperti kata seseorang." Ucapnya sembari tersenyum menyindir serta mengangkat bungkusan tersebut tinggi-tinggi.Aku memperhatikan dengan tatapan malas pada bungkusan tersebut yang telah kuketahui isinya. Semalam Samuel Wijaya memasak semua isi kulkasku, aku pun makan banyak tadi malam. Jadi, bukan hanya kesalahannya saja yang telah membuat isi kulkasku kosong, namum aku juga ikut andil dalam mengosongkan isi kulkasku sendiri."Kayaknya gue harus makan sendiri aja deh di luar." Samuel kembali mengambil langkah mendekat ke arah pintu.Sebelum dia bisa meraih gagang pintu, aku yang mas
Kanya POVSetelah Samuel Wijaya keluar dari apartemenku, aku berhenti memakan sarapan. Termenung sejenak, cairan hangat jatuh dari pelupuk mata tanpa aku sadari sebabnya. Perlahan dadaku terasa sesak dan rongga dalam hatiku terasa disisi oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.Rindu. Seperti rasa rindu yang melelehkan darah beku dari setiap nadiku. Air mataku semakin deras dan terasa hangat, tidak dapat kutahan lagi, tangisan tersedu-sedu memenuhi apartemenku.Aku sendiri tidak yakin darimana datangnya hujaman kerinduan ini muncul dan mengiris jantungku. Seketika wajah kesakitan Eros melintas dalam benakku, dadaku semakin sesak dan hatiku semakin tercabik. Pria itu tidak nyata dan aku sendiri telah berulang kali menikamnya dengan kejam menggunakan tanganku.Memperhatikan tangan-tangan yang telah menikam pria itu tanpa belas kasih. Rasanya aku ingin menusuk tanganku sendiri. Menunduk karena rasa sesak di dada
Kanya POVDengan kaki yang gemetar menjadikan tubuhku terasa lemah. Aku berhasil keluar dari kamar meski harus terjungkal sampai-sampai membuat kulit telapak tanganku terkelupas."Ini masih pagi, setan mana yang mampir ke apartemen gue?" kakiku amat lemah sehingga aku terduduk di lantai. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut dalam apartemenku. Tidak ada siapa pun, hanya aku seorang diri.Tak ada suara dentingan benda pecah belah dari dalam dapur. Piring, garpu, sendok dan gelas tertata rapi ditempatnya, bahkan angin tidak menyapa benda-benda itu, namun suara dentingan dari sebuah gelas menyapa telingaku.Tubuhku makin bergetar lantaran rasa takut sudah mengalir ke dalam venaku. Sentuhan dari tangan dingin yang baru saja menyapa tengkukku di dalam kamar, saat ini terasa semakin menjadi."A—" suaraku tercekat layaknya orang bisu berusaha untuk sekadar mengucapkan kata sederhana. Aku merangkak
Eros POVPria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu. Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku be
Kanya POVKakiku sangat lemas setelah menutup pintu apartemenku. Aku terduduk lemas di lantai, senyum kecut menghiasi bibir merahku. Ingin rasanya mengeluarkan air mata, namun cairan bening itu tidak kunjung terjun dari mataku.Yang ada saat ini hanyalah rasa takut menyeruak ke dalam setiap nadiku. Lelah. Setelah rasa takut itu tubuhku menjadi letih, aku tidak bisa melanjutkan menulis dengan keadaan seperti ini.Kucoba bangkit dan berjalan dengan kaki lemasku. Perlahan aku menuju ke kamar sembari mengedarkan pandangan. Semoga hantu itu sudah pergi ke apartemen sebelah. Pergi ke apartemen pria sombong bernama Eros."Dari wajah, tinggi, bahkan nama pun sama. Kebetulan macam apa ini?" sedikit menggelengkan kepala, aku masih terheran-heran dengan kebetulan yang ada di depan mataku tadi. Plak! Sekali lagi aku memukul pipiku pelan, berharap semua hanyalah mimpi karena kebetulan ini sangatlah mustahil bagiku. "Sakit! Emang
Kanya POVTubuhku bagaikan sebuah boneka yang dipasangi oleh puluhan tali yang digerakkan oleh pria itu. Tali-tali yang menggerakkan tubuhku tanpa sadar dapat aku lihat dan aku sudah terduduk di dalam mobil sport hitam milik Eros."Tali?" melihat seluruh tubuhku, semua tali yang mengikatku barusan telah menghilang, aku menatap aneh pada Eros di kursi kemudi. Dia sama bingungnya denganku padahal dia sendiri yang menggerakkan tubuhku. "Elo!""Apa? Tali apa?" Eros Darwin malah balik bertanya padaku. Mimik wajahnya benar-benar nampak kebingungan seperti orang yang tak bersalah sama sekali."Gue melihat tali menggerakkan badan gue barusan.""Dasar wanita aneh! Tidak ada tali. Tadi pagi berteriak hantu sekarang tali. Kamu harusnya memeriksakan matamu ke dokter atau pergi ke psikiater. Aku memberimu saran tulus agar kamu tidak disangka gila dan menganggap tetangga lainnya sebagai hantu." Ujarnya tanp
Eros POVAku menghentikan mobilku dan melihat wanita dengan bibir merah itu mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin dari dahinya. Dia nampak pucat karena mimpi buruk saat ini kemungkinan tengah menyapa dalam tidur singkatnya.Saat aku sibuk mengemudi, Kanya Arundhati memberontak ingin turun dari mobilku. Aku bisa melihat rasa takut berlebih dari kelopak mata indah itu, namun aku tak tahu mengapa dia bisa sampai setakut itu padaku tadi pagi, bahkan juga barusan. Mengataiku sebagai hantu serta ada dalam mimpinya, dia wanita yang cukup gila yang pernah aku temui karena sapaannya yang tidak biasa.“Hei, Kanya bangunlah!”Aku menggoyangkan bahunya karena dia tidak kunjung bangun seperti terjebak dalam mimpinya sendiri hingga tak mampu membuka matanya. Kuambil secarik tisu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Kanya tampak sangat ketakutan hingga air mata perlahan merembes dari matanya yang tertutup rapat.