Kanya POV
Samuel Wijaya menghiraukanku dan masuk ke dalam apartemen, tidak lupa dengan bungkusan hitam di tangannya. Dia menoleh ke belakang ketika aku sudah menutup pintu apartemen.
"Tadinya gue mau langsung ke kantor aja, tapi sayang banget sama bungkusan ini. Jadi gue ketok pintu terus bertamu dengan sopan seperti kata seseorang." Ucapnya sembari tersenyum menyindir serta mengangkat bungkusan tersebut tinggi-tinggi.
Aku memperhatikan dengan tatapan malas pada bungkusan tersebut yang telah kuketahui isinya. Semalam Samuel Wijaya memasak semua isi kulkasku, aku pun makan banyak tadi malam. Jadi, bukan hanya kesalahannya saja yang telah membuat isi kulkasku kosong, namum aku juga ikut andil dalam mengosongkan isi kulkasku sendiri.
"Kayaknya gue harus makan sendiri aja deh di luar." Samuel kembali mengambil langkah mendekat ke arah pintu.
Sebelum dia bisa meraih gagang pintu, aku yang masih berdiri di pintu masuk dengan segera mengambil bungkusan hitam di tangannya. Aku sangat lapar dan tidak mungkin membiarkan sarapanku lenyap begitu saja.
Segera aku berlari ke arah dapur dan mendengar Samuel terkekeh di belakangku. Wajahku memerah karena sudah bersikap tidak sopan padanya, apalagi barusan aku membicarakannya di belakang punggungnya, meskipun aku hanya menggerutu sendirian.
"Karena lo udah di sini, ngapain makan sendirian di luar?" sembari menenteng bungkusan berisi sarapan kami, aku membawa dua piring serta sendok dan garpu, lantas meletakkannya di atas meja makan mini. "Lo duduk aja, Sam, duduk di mana pun lo mau. Di lantai juga boleh."
"Astaga! Masa gue disuruh duduk di lantai. Nyesel gue bawain lo sarapan."
Menata piring dan menaruhnya di kedua sisi meja. Aku mulai mengeluarkan sarapan yang berada dalam bungkusan hitam tersebut. Nasi goreng yang biasa Samuel bawakan untukku. Nasi goreng kesukaanku yang hanya ada di seberang rumah Samuel Wijaya, dia cukup baik sering-sering membawakan sarapan untukku.
"Nyesel, tapi tetap aja lo bawain gue sarapan, 'kan?"
"Hmph! Tadi katanya gue nggak sopan karena masuk ke apartemen lo seenaknya? Jadi gue pikir lo nggak mau sarapan bareng karena udah punya tiga biji telur dalam kulkas lo." balik bertanya padaku, Samuel Wijaya masih memiliki nada menyindir.
Aku hanya terkekeh canggung mendengarnya dan tidak membalas agar pembahasan itu tidak menjadi panjang. Memutar bola mata malas, segera kubuka bungkusan pada nasi goreng itu; mencium baunya saja sudah membuat air liur terasa ingin keluar. Aku sudah tidak sabar untuk menyantapnya.
Melirik pada meja dan benar saja aku merasa ada yang kurang, ternyata aku lupa mengambilkan air minum untuk kami. "Gue mau ambil minum dulu." Segera aku bangkit, berjalan cepat menuju dapur dan membawa dua gelas air putih di tanganku tanpa perlu repot-repot memakai nampan untuk membawanya.
"Hati-hati, Kay, jangan jalan cepat-cepat nanti airnya tumpah!"
Samuel memang pria yang sungguh perhatian, siapa pun yang akan menjadi pacarnya nanti akan sangat beruntung memiliki pria seperti Samuel. Dia tampan, mapan juga pekerja keras. Bahkan Samuel sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi, bukan karena orang tuanya tinggal jauh, melainkan Samuel Wijaya sudah mampu membeli rumah untuk dirinya sendiri.
Rumah yang dihuni olehnya cukup besar dan memiliki dua lantai di kawasan yang terbilang cukup elit pula. Jarak dari apartemenku dengan rumah Samuel sebenarnya cukup jauh. Tentu tidak masalah baginya berkunjung ke apartemenku karena dia mengendarai mobil dan tentunya hasil kerja kerasnya pula selama beberapa tahun terakhir.
Andaikan saja aku juga mempunyai pacar seperti Samuel Wijaya di masa depan. Maksudku aku tidak ingin berpacaran dengan Samuel karena dia sendiri sudah aku anggap sebagai sahabatku. Meskipun kebanyakan di luar sana sahabat menjadi cinta atau malah stuck in friend zone. Aku tidak ingin merusak persahabatan yang telah aku bangun dengan Samuel menjadi hancur karena sebuah perasaan, dan beruntungnya aku tidak memiliki perasaan seperti itu padanya.
Kutaruh salah satu gelas di depan Samuel dan satunya lagi untuk diriku. "Selamat makan," ucapku. Dengan tidak sabar aku memasukkan satu sendok makan penuh nasi goreng ke dalam mulutku.
"Kay,"
Aku menoleh ketika Samuel memanggil namaku lirih, "Ada apa?"
"Semalam mimpi lagi?" Samuel bertanya seraya mengambil sendok, kemudian memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. Untuk sesaat dia tampak menikmati nasi goreng yang dikunyahnya. Setelahnya Samuel kembali menatapku dengan mata agak sendu.
"Hm, iya." Jawabku singkat. Aku terus memakan nasi goreng di mejaku karena tidak bisa berhenti menikmati rasa gurih ketika masuk ke dalam mulutku.
"Mau gue temani ke psikiater?"
Tanganku berhenti ketika akan menyendok nasi goreng yang berada di piringku. Sejenak aku termenung karena pertanyaan Samuel seperti mempertahankan kewarasanku. Hanya sebuah mimpi aku tidak harus jauh-jauh berkunjung ke psikiater. Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika aku pergi ke sana, maka aku sendiri sudah tidak mempercayai kewarasanku.
"Kay, bukan berarti gue bilang lo gila atau gangguan syaraf. Gue cuma khawatir lo mimpi yang sama berulang-ulang hanya karena adegan novel yang lo tulis dan itu pun nggak nyata adanya." Samuel Wijaya kembali berucap. Dia nampak khawatir padaku, apalagi dengan kesehatan mentalku.
Aku masih termenung, tidak memiliki niatan untuk menjawab. Mengetahui Samuel mengkhawatirkan aku, tentunya aku senang. Tetapi, ada rasa berat di dalam hatiku ketika aku berpikir mungkin saja semua itu terjadi karena aku memang tidak waras?
Tidak, tidak, menggelengkan kepalaku seolah memberikan jawaban tidak pada Samuel. "Gue nggak apa-apa, Sam. Habisin sarapannya biar nggak telat lagi ke kantor." Kembali mengambil sendok dan memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutku, namun rasanya sudah tak seperti semula lagi. Kemungkinan karena suasana hatiku berubah, oleh karena itu aku tidak dapat menikmati nasi goreng ini lagi.
Samuel menghela napas. "Terserah lo aja. Apa pun keputusan lo—gue pasti dukung."
"Thanks, Sam, lo emang sahabat terbaik gue."
Memberikan senyum seluas lautan pada Samuel—hingga ekor mataku mengkerut. Akan tetapi—entah mengapa aku melihat senyum Samuel seperti senyum masam, mungkinkah karena aku menolak untuk bertemu psikiater? Aku sudah putuskan tidak akan menemui psikiater!
"Lo makan aja sendiri Kay, gue harus buru-buru ke kantor." Samuel Wijaya melirik pada jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia bangkit dari duduknya ketika aku selesai memasukan nasi goreng yang kesekian sendok ke dalam mulutku.
Mulutku penuh dengan makanan sehingga aku hanya dapat mengangguk padanya.
"Nanti gue sarapan di kantor aja. Dahi tuh benarin, kusut banget kayak hidup lo, kusut!" Samuel tersenyum mengejek.
Hampir saja tersedak mendengar ucapannya, aku segera meneguk setengah gelas air putih. "Pergi sana!" usirku dengan nada kesal yang dibuat-buat.
"Dah, Kay!"
Bersambung
Tidak akan mudah untuk mengubah sesuatu yang telah diputuskan. Mendukung adalah tindakan nyata untuk menjadikannya lebih kuat. — Apple Leaf
Kanya POVSetelah Samuel Wijaya keluar dari apartemenku, aku berhenti memakan sarapan. Termenung sejenak, cairan hangat jatuh dari pelupuk mata tanpa aku sadari sebabnya. Perlahan dadaku terasa sesak dan rongga dalam hatiku terasa disisi oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.Rindu. Seperti rasa rindu yang melelehkan darah beku dari setiap nadiku. Air mataku semakin deras dan terasa hangat, tidak dapat kutahan lagi, tangisan tersedu-sedu memenuhi apartemenku.Aku sendiri tidak yakin darimana datangnya hujaman kerinduan ini muncul dan mengiris jantungku. Seketika wajah kesakitan Eros melintas dalam benakku, dadaku semakin sesak dan hatiku semakin tercabik. Pria itu tidak nyata dan aku sendiri telah berulang kali menikamnya dengan kejam menggunakan tanganku.Memperhatikan tangan-tangan yang telah menikam pria itu tanpa belas kasih. Rasanya aku ingin menusuk tanganku sendiri. Menunduk karena rasa sesak di dada
Kanya POVDengan kaki yang gemetar menjadikan tubuhku terasa lemah. Aku berhasil keluar dari kamar meski harus terjungkal sampai-sampai membuat kulit telapak tanganku terkelupas."Ini masih pagi, setan mana yang mampir ke apartemen gue?" kakiku amat lemah sehingga aku terduduk di lantai. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut dalam apartemenku. Tidak ada siapa pun, hanya aku seorang diri.Tak ada suara dentingan benda pecah belah dari dalam dapur. Piring, garpu, sendok dan gelas tertata rapi ditempatnya, bahkan angin tidak menyapa benda-benda itu, namun suara dentingan dari sebuah gelas menyapa telingaku.Tubuhku makin bergetar lantaran rasa takut sudah mengalir ke dalam venaku. Sentuhan dari tangan dingin yang baru saja menyapa tengkukku di dalam kamar, saat ini terasa semakin menjadi."A—" suaraku tercekat layaknya orang bisu berusaha untuk sekadar mengucapkan kata sederhana. Aku merangkak
Eros POVPria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu. Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku be
Kanya POVKakiku sangat lemas setelah menutup pintu apartemenku. Aku terduduk lemas di lantai, senyum kecut menghiasi bibir merahku. Ingin rasanya mengeluarkan air mata, namun cairan bening itu tidak kunjung terjun dari mataku.Yang ada saat ini hanyalah rasa takut menyeruak ke dalam setiap nadiku. Lelah. Setelah rasa takut itu tubuhku menjadi letih, aku tidak bisa melanjutkan menulis dengan keadaan seperti ini.Kucoba bangkit dan berjalan dengan kaki lemasku. Perlahan aku menuju ke kamar sembari mengedarkan pandangan. Semoga hantu itu sudah pergi ke apartemen sebelah. Pergi ke apartemen pria sombong bernama Eros."Dari wajah, tinggi, bahkan nama pun sama. Kebetulan macam apa ini?" sedikit menggelengkan kepala, aku masih terheran-heran dengan kebetulan yang ada di depan mataku tadi. Plak! Sekali lagi aku memukul pipiku pelan, berharap semua hanyalah mimpi karena kebetulan ini sangatlah mustahil bagiku. "Sakit! Emang
Kanya POVTubuhku bagaikan sebuah boneka yang dipasangi oleh puluhan tali yang digerakkan oleh pria itu. Tali-tali yang menggerakkan tubuhku tanpa sadar dapat aku lihat dan aku sudah terduduk di dalam mobil sport hitam milik Eros."Tali?" melihat seluruh tubuhku, semua tali yang mengikatku barusan telah menghilang, aku menatap aneh pada Eros di kursi kemudi. Dia sama bingungnya denganku padahal dia sendiri yang menggerakkan tubuhku. "Elo!""Apa? Tali apa?" Eros Darwin malah balik bertanya padaku. Mimik wajahnya benar-benar nampak kebingungan seperti orang yang tak bersalah sama sekali."Gue melihat tali menggerakkan badan gue barusan.""Dasar wanita aneh! Tidak ada tali. Tadi pagi berteriak hantu sekarang tali. Kamu harusnya memeriksakan matamu ke dokter atau pergi ke psikiater. Aku memberimu saran tulus agar kamu tidak disangka gila dan menganggap tetangga lainnya sebagai hantu." Ujarnya tanp
Eros POVAku menghentikan mobilku dan melihat wanita dengan bibir merah itu mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin dari dahinya. Dia nampak pucat karena mimpi buruk saat ini kemungkinan tengah menyapa dalam tidur singkatnya.Saat aku sibuk mengemudi, Kanya Arundhati memberontak ingin turun dari mobilku. Aku bisa melihat rasa takut berlebih dari kelopak mata indah itu, namun aku tak tahu mengapa dia bisa sampai setakut itu padaku tadi pagi, bahkan juga barusan. Mengataiku sebagai hantu serta ada dalam mimpinya, dia wanita yang cukup gila yang pernah aku temui karena sapaannya yang tidak biasa.“Hei, Kanya bangunlah!”Aku menggoyangkan bahunya karena dia tidak kunjung bangun seperti terjebak dalam mimpinya sendiri hingga tak mampu membuka matanya. Kuambil secarik tisu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Kanya tampak sangat ketakutan hingga air mata perlahan merembes dari matanya yang tertutup rapat.
Kanya POV“Kay, lo nggak apa-apa? Dia siapa?”Aku mengatur napasku ketika bertemu dengan Samuel di depan restoran, untuk saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaan Samuel. Menggelengkan kepala menjadi hal termudah yang bisa aku lakukan sekarang ini sebagai jawaban. Mataku masih melirik pada Eros yang tengah menatap kami sedari aku turun dari mobilnya. Aku tidak menyangka akan tertidur sampai bermimpi buruk di dalam mobil Eros.Sungguh hari yang menyebalkan!Eros menutup kaca mobilnya seraya menyeringai tipis, lantas mobil tersebut melaju menembus keramaian jalanan hingga tak nampak lagi oleh mataku. Masih menatap lurus ke arah mobil yang telah sepenuhnya menghilang dari pandanganku. Karena begitu takut, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih padanya.Tidak, jangan berterimakasih! Dia terlalu menakutkan.Apalagi ketika aku mengingat telah memeluknya dengan erat dan tak menginginka
Eros POVAku memarkir mobilku di sembarang, ketika sampai di depan kantor, lantas keluar dari mobil. Melemparkan kunci pada satpam adalah hal pertama yang kulakukan ketika kakiku menyentuh lantai.“Selamat siang, Pak Direktur.”Sapaan yang sama setiap pagi, membuatku enggan untuk sekadar menyahut. Hanya menganggukkan kepalaku sebagai balasan atas kesopanan mereka.“Pak Direktur, Anda sudah tiba?” pria dengan penampilan kaku dan membosankan jauh-jauh menghampiriku ketika baru melihatku turun dari mobil. Raut mukanya dilingkupi kepanikan, serta saputangan yang digunakan untuk menyeka dahinya membuktikan bahwa keringat dingin telah mengguyurnya barusan. “Presdir Irwan tengah menunggu Anda di kantor sejak tadi. Beliau sepertinya marah sekali karena Anda pindah dari rumah besar.”Langkahku bergegas menuju lift karena asisten pribadiku memberitahukan bahwa si tua Irwan pemilik dari perusahaan ini atau yan