Share

3. Mau gue temani ke psikiater?

Kanya POV

Samuel Wijaya menghiraukanku dan masuk ke dalam apartemen, tidak lupa dengan bungkusan hitam di tangannya. Dia menoleh ke belakang ketika aku sudah menutup pintu apartemen. 

"Tadinya gue mau langsung ke kantor aja, tapi sayang banget sama bungkusan ini. Jadi gue ketok pintu terus bertamu dengan sopan seperti kata seseorang." Ucapnya sembari tersenyum menyindir serta mengangkat bungkusan tersebut tinggi-tinggi.

Aku memperhatikan dengan tatapan malas pada bungkusan tersebut yang telah kuketahui isinya. Semalam Samuel Wijaya memasak semua isi kulkasku, aku pun makan banyak tadi malam. Jadi, bukan hanya kesalahannya saja yang telah membuat isi kulkasku kosong, namum aku juga ikut andil dalam mengosongkan isi kulkasku sendiri.

"Kayaknya gue harus makan sendiri aja deh di luar." Samuel kembali mengambil langkah mendekat ke arah pintu. 

Sebelum dia bisa meraih gagang pintu, aku yang masih berdiri di pintu masuk dengan segera mengambil bungkusan hitam di tangannya. Aku sangat lapar dan tidak mungkin membiarkan sarapanku lenyap begitu saja.

Segera aku berlari ke arah dapur dan mendengar Samuel terkekeh di belakangku. Wajahku memerah karena sudah bersikap tidak sopan padanya, apalagi barusan aku membicarakannya di belakang punggungnya, meskipun aku hanya menggerutu sendirian.

"Karena lo udah di sini, ngapain makan sendirian di luar?" sembari menenteng bungkusan berisi sarapan kami, aku membawa dua piring serta sendok dan garpu, lantas meletakkannya di atas meja makan mini. "Lo duduk aja, Sam, duduk di mana pun lo mau. Di lantai juga boleh."

"Astaga! Masa gue disuruh duduk di lantai. Nyesel gue bawain lo sarapan."

Menata piring dan menaruhnya di kedua sisi meja. Aku mulai mengeluarkan sarapan yang berada dalam bungkusan hitam tersebut. Nasi goreng yang biasa Samuel bawakan untukku. Nasi goreng kesukaanku yang hanya ada di seberang rumah Samuel Wijaya, dia cukup baik sering-sering membawakan sarapan untukku.

"Nyesel, tapi tetap aja lo bawain gue sarapan, 'kan?"

"Hmph! Tadi katanya gue nggak sopan karena masuk ke apartemen lo seenaknya? Jadi gue pikir lo nggak mau sarapan bareng karena udah punya tiga biji telur dalam kulkas lo." balik bertanya padaku, Samuel Wijaya masih memiliki nada menyindir.

Aku hanya terkekeh canggung mendengarnya dan tidak membalas agar pembahasan itu tidak menjadi panjang. Memutar bola mata malas, segera kubuka bungkusan pada nasi goreng itu; mencium baunya saja sudah membuat air liur terasa ingin keluar. Aku sudah tidak sabar untuk menyantapnya.

Melirik pada meja dan benar saja aku merasa ada yang kurang, ternyata aku lupa mengambilkan air minum untuk kami. "Gue mau ambil minum dulu." Segera aku bangkit, berjalan cepat menuju dapur dan membawa dua gelas air putih di tanganku tanpa perlu repot-repot memakai nampan untuk membawanya.

"Hati-hati, Kay, jangan jalan cepat-cepat nanti airnya tumpah!"

Samuel memang pria yang sungguh perhatian, siapa pun yang akan menjadi pacarnya nanti akan sangat beruntung memiliki pria seperti Samuel. Dia tampan, mapan juga pekerja keras. Bahkan Samuel sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi, bukan karena orang tuanya tinggal jauh, melainkan Samuel Wijaya sudah mampu membeli rumah untuk dirinya sendiri. 

Rumah yang dihuni olehnya cukup besar dan memiliki dua lantai di kawasan yang terbilang cukup elit pula. Jarak dari apartemenku dengan rumah Samuel sebenarnya cukup jauh. Tentu tidak masalah baginya berkunjung ke apartemenku karena dia mengendarai mobil dan tentunya hasil kerja kerasnya pula selama beberapa tahun terakhir.

Andaikan saja aku juga mempunyai pacar seperti Samuel Wijaya di masa depan. Maksudku aku tidak ingin berpacaran dengan Samuel karena dia sendiri sudah aku anggap sebagai sahabatku. Meskipun kebanyakan di luar sana sahabat menjadi cinta atau malah stuck in friend zone. Aku tidak ingin merusak persahabatan yang telah aku bangun dengan Samuel menjadi hancur karena sebuah perasaan, dan beruntungnya aku tidak memiliki perasaan seperti itu padanya.

Kutaruh salah satu gelas di depan Samuel dan satunya lagi untuk diriku. "Selamat makan," ucapku. Dengan tidak sabar aku memasukkan satu sendok makan penuh nasi goreng ke dalam mulutku.

"Kay,"

Aku menoleh ketika Samuel memanggil namaku lirih, "Ada apa?"

"Semalam mimpi lagi?" Samuel bertanya seraya mengambil sendok, kemudian memasukkan satu suap nasi goreng ke dalam mulutnya. Untuk sesaat dia tampak menikmati nasi goreng yang dikunyahnya. Setelahnya Samuel kembali menatapku dengan mata agak sendu.

"Hm, iya." Jawabku singkat. Aku terus memakan nasi goreng di mejaku karena tidak bisa berhenti menikmati rasa gurih ketika masuk ke dalam mulutku.

"Mau gue temani ke psikiater?"

Tanganku berhenti ketika akan menyendok nasi goreng yang berada di piringku. Sejenak aku termenung karena pertanyaan Samuel seperti mempertahankan kewarasanku. Hanya sebuah mimpi aku tidak harus jauh-jauh berkunjung ke psikiater. Seperti yang kukatakan sebelumnya, jika aku pergi ke sana, maka aku sendiri sudah tidak mempercayai kewarasanku.

"Kay, bukan berarti gue bilang lo gila atau gangguan syaraf. Gue cuma khawatir lo mimpi yang sama berulang-ulang hanya karena adegan novel yang lo tulis dan itu pun nggak nyata adanya." Samuel Wijaya kembali berucap. Dia nampak khawatir padaku, apalagi dengan kesehatan mentalku.

Aku masih termenung, tidak memiliki niatan untuk menjawab. Mengetahui Samuel mengkhawatirkan aku, tentunya aku senang. Tetapi, ada rasa berat di dalam hatiku ketika aku berpikir mungkin saja semua itu terjadi karena aku memang tidak waras?

Tidak, tidak, menggelengkan kepalaku seolah memberikan jawaban tidak pada Samuel. "Gue nggak apa-apa, Sam. Habisin sarapannya biar nggak telat lagi ke kantor." Kembali mengambil sendok dan memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutku, namun rasanya sudah tak seperti semula lagi. Kemungkinan karena suasana hatiku berubah, oleh karena itu aku tidak dapat menikmati nasi goreng ini lagi.

Samuel menghela napas. "Terserah lo aja. Apa pun keputusan lo—gue pasti dukung."

"Thanks, Sam, lo emang sahabat terbaik gue."

Memberikan senyum seluas lautan pada Samuel—hingga ekor mataku mengkerut. Akan tetapi—entah mengapa aku melihat senyum Samuel seperti senyum masam, mungkinkah karena aku menolak untuk bertemu psikiater? Aku sudah putuskan tidak akan menemui psikiater!

"Lo makan aja sendiri Kay, gue harus buru-buru ke kantor." Samuel Wijaya melirik pada jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Kemudian dia bangkit dari duduknya ketika aku selesai memasukan nasi goreng yang kesekian sendok ke dalam mulutku.

Mulutku penuh dengan makanan sehingga aku hanya dapat mengangguk padanya.

"Nanti gue sarapan di kantor aja. Dahi tuh benarin, kusut banget kayak hidup lo, kusut!" Samuel tersenyum mengejek.

Hampir saja tersedak mendengar ucapannya, aku segera meneguk setengah gelas air putih. "Pergi sana!" usirku dengan nada kesal yang dibuat-buat.

"Dah, Kay!"

Bersambung

Tidak akan mudah untuk mengubah sesuatu yang telah diputuskan. Mendukung adalah tindakan nyata untuk menjadikannya lebih kuat. — Apple Leaf

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status