Share

4. Siapa?

Kanya POV

Setelah Samuel Wijaya keluar dari apartemenku, aku berhenti memakan sarapan. Termenung sejenak, cairan hangat jatuh dari pelupuk mata tanpa aku sadari sebabnya. Perlahan dadaku terasa sesak dan rongga dalam hatiku terasa disisi oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.

Rindu. Seperti rasa rindu yang melelehkan darah beku dari setiap nadiku. Air mataku semakin deras dan terasa hangat, tidak dapat kutahan lagi, tangisan tersedu-sedu memenuhi apartemenku.

Aku sendiri tidak yakin darimana datangnya hujaman kerinduan ini muncul dan mengiris jantungku. Seketika wajah kesakitan Eros melintas dalam benakku, dadaku semakin sesak dan hatiku semakin tercabik. Pria itu tidak nyata dan aku sendiri telah berulang kali menikamnya dengan kejam menggunakan tanganku.

Memperhatikan tangan-tangan yang telah menikam pria itu tanpa belas kasih. Rasanya aku ingin menusuk tanganku sendiri. Menunduk karena rasa sesak di dadaku makin menjadi, layaknya sangat merindukan sesuatu yang tak ingin aku lepaskan. Tapi apa? Apakah mungkin Eros?

"Ah!" tangisanku tak berhenti meski aku telah mencoba beberapa kali menepuk kuat pada dadaku. "Sakit sekali."

Tak terasa sudah satu jam lamanya aku menangis tanpa alasan yang jelas. Nasi goreng di depanku sudah penuh dengan genangan air mata. Aku merasa sangat lelah setelah menguras air mataku. Napasku tersengal, tenggorokanku terasa kering serta mataku sudah sembab. Pengelihatanku menjadi agak buram lantaran bulir-bulir cairan hangat masih tergenang di pelupuk mataku. Masih sama seperti sebelumnya; sakit. Kelopak mataku terpejam dan tetes terakhir dari air mataku meluncur dengan mulus ke pipiku.

Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan selama beberapa detik sebelum aku bangkit dan membereskan meja makan.

Aku buru-buru ke kamar mandi, hanya untuk mendapati keadaan wajahku pada cermin besar di depanku. Sosok yang nampak pada cermin merupakan diriku, riasan pada wajahku sudah terhapus oleh air mata layaknya cucuran hujan kala dunia diselubungi awan mendung tak akan berhenti hinga awan tersebut menjadi putih kembali, serta dengan sorot mata amat sayu dan sembab pada kedua kelopak mataku. 

Jemariku menyentuh pantulan mataku pada cermin. "Apakah ini gue yang nggak pernah menangis meski gue kelaparan sekalipun? Apakah ini gue yang nggak menangis meski terluka sekalipun? Apakah ini gue yang nggak akan menangis ketika sakit sekalipun? Lalu apa yang membuat gue nangis tersedu?" pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan pada bayangan diriku.

Kembali aku menyentuh dadaku. "Di sini rasanya sakit banget. Gue seperti merindukan sesuatu atau seseorang yang menghancurkan logika gue." Lagi-lagi aku menarik napas dalam, rasa sesak itu masih mendiami dadaku. "Sepertinya gue harus mandi lagi. Gue nggak bisa membiarkan diri gue seperti ini dan dikuasai oleh perasaan asing yang menyeruak masuk tanpa sebab apa pun."

***

Aku berendam di bak mandi selama 30 menit dan hampir ketiduran di dalam sana. Setelah menganti pakaian dan membuat secangkir kopi agar mataku tetap terjaga, aku membawa secangkir kopi hitam ke dalam kamarku.

Bagaimanapun juga aku harus melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Telah aku putuskan untuk membuat sinopsis novel ketiga, walaupun novel keduaku masih on going. Aku ingin memperbanyak karyaku serta menambah penghasilanku tentunya.

Merasa agak lebih tenang setelah menyesap kopi hitam di tanganku dan mencium baunya seperti relaksasi kembali. "Hm, kopi hitam memang teman yang paling baik." Senyumku sudah kembali mekar dan rasa sesak yang aku rasakan tadi telah memudar secara perlahan.

Meletakkan cangkir tersebut di atas nakas aku mengambil ponsel dan mencari platform menulis yang mana aku meng-upload naskahku di sana. "Berapa jumlah views hari ini?" sejenak aku menutup mulutku dengan telapak tanganku ketika memperhatikan jumlah views harian. "Wow, lumayan juga padahal bukan adegan itu. Kalau adegan itu mungkin lebih wow lagi. Karena baru gue update semalam besok pasti lebih banyak dari ini."

Terlalu senang aku meraih cangkir kopi dan menyesapnya seperti meneguk air dingin. "Ahk—" kuletakan kembali cangkir keramik itu di atas nakas, "Ah! Panas banget." Mengambil beberapa lembar tisu lantas menyeka bibirku. Aku sempat berpikir, mungkinkah hari ini merupakan hari buruk bagiku?

Mengambil laptop yang sengaja aku bawa kemari setelah menghidupkannya sebelum mengambil ponselku. Jari-jemariku mulai mengetik setiap rangkaian paragraf dari chapter selanjutnya. Tak dapat berhenti ketika jemariku telah menari di atas keyboard berwarna putih di atas tempat tidur.

Tokoh dalam novel keduaku bernama Eros Darwin—sebagai karakter utama yang memiliki kepribadian ganda. Aku sengaja memberikan nama Eros Darwin pada sebagai karakter psikopat dalam novel ini, setidaknya dia tetap hidup di dunia fiksi.

"Eros." Bisikku ketika jemariku mengetik nama Eros di dalam paragraf-paragraf pada layar datar itu. "Kenapa dingin banget?" kusentuh punggung leherku lantaran merasakan sesuatu yang dingin melintas di sana, lantas memalingkan wajahku spontan ke arah balkon yang terbuka. 

"Pantas aja dingin—" aku memotong ucapanku sendiri. "Siapa yang buka pintu balkon?" 

sempat mengerutkan kening beberapa saat karena aku tidak pernah membuka pintu balkon atau mungkin aku lupa pernah membukanya? Aku menggeleng menepis pikiran-pikiran aneh yang agaknya sebentar lagi akan menyusup ke dalam pikiranku.

Aku bergerak cepat melesat ke arah pintu balkon dan menutup pintu tersebut. Namun anehnya sensasi dingin tetap menyapa area tengkukku. Spontan aku menengok ke belakang dan tidak mendapati siapa pun. "Haha," aku terkekeh garing, "masih pagi, masih pagi, Kanya. Mikir apa, sih?" hari ini cuaca cukup dingin jadi aku menutup pintu balkon agar udara dingin tidak masuk ke dalam kamarku.

Berlari ke arah ranjangku sembari memicingkan mata, menengok ke kanan dan ke kiri. "Ini kan apartemen gue, ngapain gue pakai acara takut segala? Ada-ada aja." Ucapku menenangkan diri.

Jemariku kembali mengetik setelah terganggu untuk beberapa saat, ide dalam kepalaku tidak hilang sama sekali. Rangkaian paragraf baru mulai tertuang. Aku terlalu fokus melihat layar yang dipenuhi barisan-barisan paragraf baru sampai aku menyentuh tengkukku dan merasakan sesuatu yang dingin menempel di sana.

Memalingkan wajahku ke kiri, tetap saja tidak ada siapa pun. Aku melihat pada tanganku sendiri tidak terjadi apa pun. "Siapa?" dahiku berkerut karena setelah melepaskan tanganku dari tengkuk, area itu kembali terasa dingin.

Layaknya sebuah tangan dingin mengelus tengkukku, aku menelan ludah dalam-dalam dan kembali berseru, "Siapa?!" mencoba memjamkan mataku dan merasakan hawa dingin itu masih berada di tengkukku. Dingin bagaikan bongkahan es. Aku sudah tidak tahan lagi karena takut, aku bergerak cepat sampai harus terjungkal dari ranjang. "Siapa!" aku berteriak seraya berlari menuju pintu dan segera keluar dari kamarku.

Bersambung

Jika sesuatu yang tak kuketahui membuat air mata di pelupuk terjatuh, apa yang harus aku lakukan untuk mencari tahu? — Apple Leaf

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status