Kanya POV
Setelah Samuel Wijaya keluar dari apartemenku, aku berhenti memakan sarapan. Termenung sejenak, cairan hangat jatuh dari pelupuk mata tanpa aku sadari sebabnya. Perlahan dadaku terasa sesak dan rongga dalam hatiku terasa disisi oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.
Rindu. Seperti rasa rindu yang melelehkan darah beku dari setiap nadiku. Air mataku semakin deras dan terasa hangat, tidak dapat kutahan lagi, tangisan tersedu-sedu memenuhi apartemenku.
Aku sendiri tidak yakin darimana datangnya hujaman kerinduan ini muncul dan mengiris jantungku. Seketika wajah kesakitan Eros melintas dalam benakku, dadaku semakin sesak dan hatiku semakin tercabik. Pria itu tidak nyata dan aku sendiri telah berulang kali menikamnya dengan kejam menggunakan tanganku.
Memperhatikan tangan-tangan yang telah menikam pria itu tanpa belas kasih. Rasanya aku ingin menusuk tanganku sendiri. Menunduk karena rasa sesak di dadaku makin menjadi, layaknya sangat merindukan sesuatu yang tak ingin aku lepaskan. Tapi apa? Apakah mungkin Eros?
"Ah!" tangisanku tak berhenti meski aku telah mencoba beberapa kali menepuk kuat pada dadaku. "Sakit sekali."
Tak terasa sudah satu jam lamanya aku menangis tanpa alasan yang jelas. Nasi goreng di depanku sudah penuh dengan genangan air mata. Aku merasa sangat lelah setelah menguras air mataku. Napasku tersengal, tenggorokanku terasa kering serta mataku sudah sembab. Pengelihatanku menjadi agak buram lantaran bulir-bulir cairan hangat masih tergenang di pelupuk mataku. Masih sama seperti sebelumnya; sakit. Kelopak mataku terpejam dan tetes terakhir dari air mataku meluncur dengan mulus ke pipiku.
Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan selama beberapa detik sebelum aku bangkit dan membereskan meja makan.
Aku buru-buru ke kamar mandi, hanya untuk mendapati keadaan wajahku pada cermin besar di depanku. Sosok yang nampak pada cermin merupakan diriku, riasan pada wajahku sudah terhapus oleh air mata layaknya cucuran hujan kala dunia diselubungi awan mendung tak akan berhenti hinga awan tersebut menjadi putih kembali, serta dengan sorot mata amat sayu dan sembab pada kedua kelopak mataku.
Jemariku menyentuh pantulan mataku pada cermin. "Apakah ini gue yang nggak pernah menangis meski gue kelaparan sekalipun? Apakah ini gue yang nggak menangis meski terluka sekalipun? Apakah ini gue yang nggak akan menangis ketika sakit sekalipun? Lalu apa yang membuat gue nangis tersedu?" pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan pada bayangan diriku.
Kembali aku menyentuh dadaku. "Di sini rasanya sakit banget. Gue seperti merindukan sesuatu atau seseorang yang menghancurkan logika gue." Lagi-lagi aku menarik napas dalam, rasa sesak itu masih mendiami dadaku. "Sepertinya gue harus mandi lagi. Gue nggak bisa membiarkan diri gue seperti ini dan dikuasai oleh perasaan asing yang menyeruak masuk tanpa sebab apa pun."
***
Aku berendam di bak mandi selama 30 menit dan hampir ketiduran di dalam sana. Setelah menganti pakaian dan membuat secangkir kopi agar mataku tetap terjaga, aku membawa secangkir kopi hitam ke dalam kamarku.
Bagaimanapun juga aku harus melanjutkan aktivitasku seperti biasanya. Telah aku putuskan untuk membuat sinopsis novel ketiga, walaupun novel keduaku masih on going. Aku ingin memperbanyak karyaku serta menambah penghasilanku tentunya.
Merasa agak lebih tenang setelah menyesap kopi hitam di tanganku dan mencium baunya seperti relaksasi kembali. "Hm, kopi hitam memang teman yang paling baik." Senyumku sudah kembali mekar dan rasa sesak yang aku rasakan tadi telah memudar secara perlahan.
Meletakkan cangkir tersebut di atas nakas aku mengambil ponsel dan mencari platform menulis yang mana aku meng-upload naskahku di sana. "Berapa jumlah views hari ini?" sejenak aku menutup mulutku dengan telapak tanganku ketika memperhatikan jumlah views harian. "Wow, lumayan juga padahal bukan adegan itu. Kalau adegan itu mungkin lebih wow lagi. Karena baru gue update semalam besok pasti lebih banyak dari ini."
Terlalu senang aku meraih cangkir kopi dan menyesapnya seperti meneguk air dingin. "Ahk—" kuletakan kembali cangkir keramik itu di atas nakas, "Ah! Panas banget." Mengambil beberapa lembar tisu lantas menyeka bibirku. Aku sempat berpikir, mungkinkah hari ini merupakan hari buruk bagiku?
Mengambil laptop yang sengaja aku bawa kemari setelah menghidupkannya sebelum mengambil ponselku. Jari-jemariku mulai mengetik setiap rangkaian paragraf dari chapter selanjutnya. Tak dapat berhenti ketika jemariku telah menari di atas keyboard berwarna putih di atas tempat tidur.
Tokoh dalam novel keduaku bernama Eros Darwin—sebagai karakter utama yang memiliki kepribadian ganda. Aku sengaja memberikan nama Eros Darwin pada sebagai karakter psikopat dalam novel ini, setidaknya dia tetap hidup di dunia fiksi.
"Eros." Bisikku ketika jemariku mengetik nama Eros di dalam paragraf-paragraf pada layar datar itu. "Kenapa dingin banget?" kusentuh punggung leherku lantaran merasakan sesuatu yang dingin melintas di sana, lantas memalingkan wajahku spontan ke arah balkon yang terbuka.
"Pantas aja dingin—" aku memotong ucapanku sendiri. "Siapa yang buka pintu balkon?"
sempat mengerutkan kening beberapa saat karena aku tidak pernah membuka pintu balkon atau mungkin aku lupa pernah membukanya? Aku menggeleng menepis pikiran-pikiran aneh yang agaknya sebentar lagi akan menyusup ke dalam pikiranku.
Aku bergerak cepat melesat ke arah pintu balkon dan menutup pintu tersebut. Namun anehnya sensasi dingin tetap menyapa area tengkukku. Spontan aku menengok ke belakang dan tidak mendapati siapa pun. "Haha," aku terkekeh garing, "masih pagi, masih pagi, Kanya. Mikir apa, sih?" hari ini cuaca cukup dingin jadi aku menutup pintu balkon agar udara dingin tidak masuk ke dalam kamarku.
Berlari ke arah ranjangku sembari memicingkan mata, menengok ke kanan dan ke kiri. "Ini kan apartemen gue, ngapain gue pakai acara takut segala? Ada-ada aja." Ucapku menenangkan diri.
Jemariku kembali mengetik setelah terganggu untuk beberapa saat, ide dalam kepalaku tidak hilang sama sekali. Rangkaian paragraf baru mulai tertuang. Aku terlalu fokus melihat layar yang dipenuhi barisan-barisan paragraf baru sampai aku menyentuh tengkukku dan merasakan sesuatu yang dingin menempel di sana.
Memalingkan wajahku ke kiri, tetap saja tidak ada siapa pun. Aku melihat pada tanganku sendiri tidak terjadi apa pun. "Siapa?" dahiku berkerut karena setelah melepaskan tanganku dari tengkuk, area itu kembali terasa dingin.
Layaknya sebuah tangan dingin mengelus tengkukku, aku menelan ludah dalam-dalam dan kembali berseru, "Siapa?!" mencoba memjamkan mataku dan merasakan hawa dingin itu masih berada di tengkukku. Dingin bagaikan bongkahan es. Aku sudah tidak tahan lagi karena takut, aku bergerak cepat sampai harus terjungkal dari ranjang. "Siapa!" aku berteriak seraya berlari menuju pintu dan segera keluar dari kamarku.
Bersambung
Jika sesuatu yang tak kuketahui membuat air mata di pelupuk terjatuh, apa yang harus aku lakukan untuk mencari tahu? — Apple Leaf
Kanya POVDengan kaki yang gemetar menjadikan tubuhku terasa lemah. Aku berhasil keluar dari kamar meski harus terjungkal sampai-sampai membuat kulit telapak tanganku terkelupas."Ini masih pagi, setan mana yang mampir ke apartemen gue?" kakiku amat lemah sehingga aku terduduk di lantai. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut dalam apartemenku. Tidak ada siapa pun, hanya aku seorang diri.Tak ada suara dentingan benda pecah belah dari dalam dapur. Piring, garpu, sendok dan gelas tertata rapi ditempatnya, bahkan angin tidak menyapa benda-benda itu, namun suara dentingan dari sebuah gelas menyapa telingaku.Tubuhku makin bergetar lantaran rasa takut sudah mengalir ke dalam venaku. Sentuhan dari tangan dingin yang baru saja menyapa tengkukku di dalam kamar, saat ini terasa semakin menjadi."A—" suaraku tercekat layaknya orang bisu berusaha untuk sekadar mengucapkan kata sederhana. Aku merangkak
Eros POVPria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu. Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku be
Kanya POVKakiku sangat lemas setelah menutup pintu apartemenku. Aku terduduk lemas di lantai, senyum kecut menghiasi bibir merahku. Ingin rasanya mengeluarkan air mata, namun cairan bening itu tidak kunjung terjun dari mataku.Yang ada saat ini hanyalah rasa takut menyeruak ke dalam setiap nadiku. Lelah. Setelah rasa takut itu tubuhku menjadi letih, aku tidak bisa melanjutkan menulis dengan keadaan seperti ini.Kucoba bangkit dan berjalan dengan kaki lemasku. Perlahan aku menuju ke kamar sembari mengedarkan pandangan. Semoga hantu itu sudah pergi ke apartemen sebelah. Pergi ke apartemen pria sombong bernama Eros."Dari wajah, tinggi, bahkan nama pun sama. Kebetulan macam apa ini?" sedikit menggelengkan kepala, aku masih terheran-heran dengan kebetulan yang ada di depan mataku tadi. Plak! Sekali lagi aku memukul pipiku pelan, berharap semua hanyalah mimpi karena kebetulan ini sangatlah mustahil bagiku. "Sakit! Emang
Kanya POVTubuhku bagaikan sebuah boneka yang dipasangi oleh puluhan tali yang digerakkan oleh pria itu. Tali-tali yang menggerakkan tubuhku tanpa sadar dapat aku lihat dan aku sudah terduduk di dalam mobil sport hitam milik Eros."Tali?" melihat seluruh tubuhku, semua tali yang mengikatku barusan telah menghilang, aku menatap aneh pada Eros di kursi kemudi. Dia sama bingungnya denganku padahal dia sendiri yang menggerakkan tubuhku. "Elo!""Apa? Tali apa?" Eros Darwin malah balik bertanya padaku. Mimik wajahnya benar-benar nampak kebingungan seperti orang yang tak bersalah sama sekali."Gue melihat tali menggerakkan badan gue barusan.""Dasar wanita aneh! Tidak ada tali. Tadi pagi berteriak hantu sekarang tali. Kamu harusnya memeriksakan matamu ke dokter atau pergi ke psikiater. Aku memberimu saran tulus agar kamu tidak disangka gila dan menganggap tetangga lainnya sebagai hantu." Ujarnya tanp
Eros POVAku menghentikan mobilku dan melihat wanita dengan bibir merah itu mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin dari dahinya. Dia nampak pucat karena mimpi buruk saat ini kemungkinan tengah menyapa dalam tidur singkatnya.Saat aku sibuk mengemudi, Kanya Arundhati memberontak ingin turun dari mobilku. Aku bisa melihat rasa takut berlebih dari kelopak mata indah itu, namun aku tak tahu mengapa dia bisa sampai setakut itu padaku tadi pagi, bahkan juga barusan. Mengataiku sebagai hantu serta ada dalam mimpinya, dia wanita yang cukup gila yang pernah aku temui karena sapaannya yang tidak biasa.“Hei, Kanya bangunlah!”Aku menggoyangkan bahunya karena dia tidak kunjung bangun seperti terjebak dalam mimpinya sendiri hingga tak mampu membuka matanya. Kuambil secarik tisu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Kanya tampak sangat ketakutan hingga air mata perlahan merembes dari matanya yang tertutup rapat.
Kanya POV“Kay, lo nggak apa-apa? Dia siapa?”Aku mengatur napasku ketika bertemu dengan Samuel di depan restoran, untuk saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaan Samuel. Menggelengkan kepala menjadi hal termudah yang bisa aku lakukan sekarang ini sebagai jawaban. Mataku masih melirik pada Eros yang tengah menatap kami sedari aku turun dari mobilnya. Aku tidak menyangka akan tertidur sampai bermimpi buruk di dalam mobil Eros.Sungguh hari yang menyebalkan!Eros menutup kaca mobilnya seraya menyeringai tipis, lantas mobil tersebut melaju menembus keramaian jalanan hingga tak nampak lagi oleh mataku. Masih menatap lurus ke arah mobil yang telah sepenuhnya menghilang dari pandanganku. Karena begitu takut, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih padanya.Tidak, jangan berterimakasih! Dia terlalu menakutkan.Apalagi ketika aku mengingat telah memeluknya dengan erat dan tak menginginka
Eros POVAku memarkir mobilku di sembarang, ketika sampai di depan kantor, lantas keluar dari mobil. Melemparkan kunci pada satpam adalah hal pertama yang kulakukan ketika kakiku menyentuh lantai.“Selamat siang, Pak Direktur.”Sapaan yang sama setiap pagi, membuatku enggan untuk sekadar menyahut. Hanya menganggukkan kepalaku sebagai balasan atas kesopanan mereka.“Pak Direktur, Anda sudah tiba?” pria dengan penampilan kaku dan membosankan jauh-jauh menghampiriku ketika baru melihatku turun dari mobil. Raut mukanya dilingkupi kepanikan, serta saputangan yang digunakan untuk menyeka dahinya membuktikan bahwa keringat dingin telah mengguyurnya barusan. “Presdir Irwan tengah menunggu Anda di kantor sejak tadi. Beliau sepertinya marah sekali karena Anda pindah dari rumah besar.”Langkahku bergegas menuju lift karena asisten pribadiku memberitahukan bahwa si tua Irwan pemilik dari perusahaan ini atau yan
Kanya POVSetelah pergi meninggalkan Samuel di restoran dengan marah, aku bahkan tak mengangkat panggilan telepon pria itu dan langsung mematikan ponselku. Aku tahu dia khawatir padaku, tapi aku paling tidak suka jika sahabatku sendiri tidak percaya padaku.Dia hanya bergeming menatapku dengan manik matanya yang tak memiliki kepercayaan padaku. Dulu Samuel akan percaya pada setiap perkataanku, aku tahu dia menganggapku setengah gila dan pasti akan menyuruhku pergi menemui psikiater.Tak terasa sekarang sudah jam 9 malam, aku masih duduk di bawah pohon kelapa sejak kedatanganku ke pantai ini. Orang-orang masih ramai bermain dengan ombak bersama pasangan mereka.Sedang, aku sendiri meratapi nasibku yang dianggap setengah gila.Tunggu. Jam 9 malam dan di pantai?“Gue harus pulang sekarang. Gue belum nulis dari pagi, malah sibuk ngurus hantu. Hehe.” Terkekeh garing karena baru menyadari