Share

5. Eros

Kanya POV

Dengan kaki yang gemetar menjadikan tubuhku terasa lemah. Aku berhasil keluar dari kamar meski harus terjungkal sampai-sampai membuat kulit telapak tanganku terkelupas.

"Ini masih pagi, setan mana yang mampir ke apartemen gue?" kakiku amat lemah sehingga aku terduduk di lantai. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut dalam apartemenku. Tidak ada siapa pun, hanya aku seorang diri.

Tak ada suara dentingan benda pecah belah dari dalam dapur. Piring, garpu, sendok dan gelas tertata rapi ditempatnya, bahkan angin tidak menyapa benda-benda itu, namun suara dentingan dari sebuah gelas menyapa telingaku. 

Tubuhku makin bergetar lantaran rasa takut sudah mengalir ke dalam venaku. Sentuhan dari tangan dingin yang baru saja menyapa tengkukku di dalam kamar, saat ini terasa semakin menjadi.

"A—" suaraku tercekat layaknya orang bisu berusaha untuk sekadar mengucapkan kata sederhana. Aku merangkak sembari memejamkan mata menuju ke pintu apartemenku. Sentuhan dingin itu menjalar ke punggungku. "Ahk!!!" berteriak sekencangnya, akhirnya aku dapat berlari dan membuka pintu apartemen. Kututup pintu tersebut dengan suara bam! Yang cukup keras.

Aku bersandar di depan pintu apartemenku masih dengan badan yang bergetar. Melirik pada kakinya yang tidak berhenti mengeluarkan getaran layaknya terkena penyakit tremor akut.

"Ah, di dalam apartemen gue ada hantu pagi-pagi begini. Apa karena Eros, ya?" aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tanganku dan memjamkan mataku sejenak.

Tenggorokanku mulai kering dan aku merasakan bibirku ikut mengering, tanpa aku sadari aku kembali mengumumkan nama pria itu ketika bayangan wajahnya nampak jelas saat mataku terpejam. "Eros ...."

"Kamu memanggilku?"

Seketika tubuhku mematung, suara yang amat familiar di telingaku—yang hanya ada dalam mimpi burukku—terdengar bahkan ketika aku sedang memejamkan mata sekalipun.

"He ... hehehe!" terkekeh garing aku melepaskan telapak tanganku perlahan. Sedikit demi sedikit kelopak mataku terangkat dan bulu mataku nampak bergetar.

Pandanganku agak buram lantaran aku memejamkan mata secara paksa. Setelah kelopak mataku terbuka dengan sempurna, yang dapat aku lihat saat ini berdiri di hadapanku ialah sosok yang aku kenal. Sosok tinggi berkulit putih pucat dengan rambut hitam legamnya. Sosok yang selama setahun ini hadir dalam mimpi burukku dan mati di tanganku berkali-kali; Eros saat ini berada di hadapanku dengan setelan suit hitam yang biasa dikenakan olehnya.

Mengerjapkan mataku karena tidak dapat mempercayai pengelihatanku sendiri. "Gue kayaknya lagi tidur sambil jalan." Aku menampar pipi kiri dan pipi kananku secara bergantian dengan kekuatan sedang. Agaknya pipiku sudah memerah, namun tetap saja aku tidak bisa bangun dari tidurku. "Bangun Kanya! Bangun!"

"Hei! Hentikan!"

Tanganku berhenti melakukan aksi yang mana aku telah menyakiti diriku sendiri. "Gue nggak lagi bermimpi, 'kan?"

"Kamu memang tidak sedang bermimpi." Pria di depanku ini berucap santai sembari menggaruk punggung lehernya.

Anehnya dia mengucapkan kalimat seperti orang biasa. Bukan kalimat yang sering aku dengar ketika Eros memberikan sebilah pisau padaku.

"Make a wish!" kalimat itu meluncur dari bibirku dengan mulus membuat pria berbusana hitam itu mengerutkan keningnya.

Dia mengangkat bahunya nampak bingung dengan dengan ucapanku. Pria yang amat mirip dengan Eros bagaikan kembar ini, mulai menatapku dengan pandangan aneh. Lantaran rasa getir dalam diriku masih tersisa aku menjadi agak takut. Meraba-raba gagang pintu di belakangku, aku berusaha membuka pintu tersebut dan ingin segera lari dari pria ini.

"Hei, ada apa denganmu? Wajahmu terlihat pucat." Dahinya tetap berkerut dan kilatan kekhawatiran dalam matanya sekilas dapat terlihat oleh mataku sebelum menghilang beberapa detik kemudian.

Apakah dia mengkhawatirkanku? Eros?

Debaran jantungku bagaikan gelombang air laut, badan kurusku kembali bergetar hebat hanya dengan membayangkan akan kembali menikam pria di depanku ini. "E, Eros jangan lagi! Gue nggak lagi bermimpi! Ini dunia nyata!" teriakku hingga memekakan telinga pria itu. 

Sontak dia menutup kedua telinganya dengan telapak tangan besarnya dan mundur sebanyak tiga langkah. 

"Kenapa berteriak? Kamu terus saja memanggil namaku, mungkinkah kamu mengenalku? Tapi aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya."

Sejenak aku terbengong karena Eros tidak mengenaliku. Aku semakin bingung karena tak paham apakah sebenarnya aku berada dalam dunia mimpi atau dunia nyata. Pagi ini terasa sangat panjang bagiku, mulai dari mimpi buruk, menangis tanpa alasan hingga bertemu dengan Eros di depan apartemenku. 

Koridor di lantai 3 sangat sepi hanya dua insan yang berdiri saling berhadapan satu sama lain. Aku belum menjawab pertanyaan dari pria pemilik wajah dan nama yang sama dengan Eros. Haruskah aku percaya akan semua ini? Melihat orang yang belum pernah kutemui sebelumnya dan bersarang di dalam mimpi kemudian melihatnya secara langsung? Ataukah logikaku mulai kelu hingga tak dapat mengenali orang dengan benar?

Mengedarkan kedua bola mataku ke seluruh koridor, perasaan mencekam menerobos ke dalam jiwaku dan kabut hitam mulai menjalar melalui ujung mataku.

"Hei, Nona, kamu masih belum menjawab pertanyaanku." 

Aku kebingungan, debaran jantungku semakin kencang dan rasanya bisa jatuh ke perutku kapan saja. "Ah!!!" berteriak histeris sembari menjambak rambutku layaknya orang yang kehilangan akal sehat.

"Woi! Pagi-pagi udah teriak-teriak gila, ya?"

Suara besar dan lantang itu mengagetkanku dari perasaan tertekan yang aku rasakan barusan.

Bambang—tetanggaku keluar dari apartemennya berkat teriakan histerisku. Beruntunglah karena aku tidak seorang diri dengan pria ini di lantai 3. Tanpa berpikir panjang aku berlari ke arah Bambang yang melangkah ke arah kami.

Beringsut di belakang punggungnya, Bambang mengernyitkan dahi lantaran dapat merasakan badanku yang gemetar ketakutan.

"Pak Bambang ..., ada hantu pagi-pagi di sini."

Bambang menoleh padaku. "Hantu? Kanya kamu sudah gila, ya? Kebanyakan nulis novel seram jadi parno." Bambang menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja kamu, menganggu tidur saya." Tampang sangar bak preman pasar tak membuatku getir, namun sebaliknya pria tampan yang tetap berdiri di depan pintu apartemenku—membuatku bergidik hingga ke tulang.

"Itu, Pak!" aku menunjuk pada Eros—pria berambut hitam legam itu nampak kebingungan dengan tingkahku sejak tadi.

Tatapan datar di arahkan oleh Bambang padaku, setelahnya dia mengalihkan pandangannya kepada Eros. "Lihat baik-baik Kanya. Dia manusia bukan hantu."

Kuperhatikan Eros berdecak kesal, dia melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan bersiap mengambil langkah ke arah kami. Dari raut mukanya Eros nampak bosan dan ingin cepat-cepat berlalu dari sini.

"Tunggu sebentar!" akan tetapi, Bambang menghentikannya dan langkah Eros terhenti di depan kami.

Jarak antara kami hanya satu meter, jantungku berdegup kencang ketika wajah segar Eros kembali menyapa pupilku dari jarak dekat 

Bersambung

Dalam pencarian panjangmu, akhirnya kamu menemukanku. Terima kasih karena telah mencariku. Bulir air mata, kekhawatiran juga kerinduanku padamu bisa aku tuangkan padamu yang saat ini berdiri di hadapanku dengan kerinduan yang sama. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status