Share

6. Hantu

Eros POV

Pria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.

Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu.  Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.

Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku bertanya, "Jika ada masalah katakan saja, aku harus segera pulang dan memberi makan kucingku."

Aku tidak sedang membuat-buat alasan, memang benar selain perutku yang lapar, Cici saat ini pasti sedang lapar. Cici—kucing betina yang aku temukan di jalan beberapa bulan yang lalu sekarang menjadi kucing peliharaanku. Ah, sudahlah kembali ke topik yang mana dua orang aneh ini masih mencegatku.

"Kamu masih takut Kanya? Dia bukan hantu, kalau tidak percaya coba saja sentuh."

Bukannya menjawabku, pria itu malah berbicara dengan wanita aneh di belakangnya. Bambang meraih tangan wanita itu dan dengan takut-takut tangannya mulai digerakkan oleh Bambang. Pandanganku mengikuti arah dari tangan keduanya dan tidak kusangka tangan wanita itu diletakkan pada tanganku. Spontan aku menampik tangan putih itu dengan cukup keras. 

"Akh!" 

Benar saja dia merasa kesakitan pada tangannya. Aku tidak sadar telah menggunakan tenagaku dan hal yang lebih buruk ialah dia seorang wanita, aku melupakan hal itu. Dari sudut pandangku wanita bernama Kanya cukup cantik, alisnya cukup tebal dan dia memiliki bibir merah alami. Namun, tetap saja dia bukanlah tipeku.

Aku mengernyitkan dahi ketika melihat tanganku lantaran tidak senang dengan sentuhan dari tangannya. Tangannya memang halus dan tidak ada yang salah dengan itu. Aku hanya tidak senang jika disentuh dengan seenaknya.

"Bukan hantu." Gumamnya menatap lekat ke arahku. Jarak kami semakin dekat ketika Bambang menarik wanita itu guna menyentuh tanganku.

Melihat pada mata hitam itu, kami saling menatap selama beberapa detik dan selama itu pula aku merasa tidak asing dengan matanya. Entah di mana aku pernah melihat kedalam mata yang bagaikan langit malam tanpa hiasan gemerlap bintang.

Perlahan dadaku mulai terasa sesak karena semakin lama mata itu membuat udara dalam paru-paru semakin menyempit. Aneh! Sungguh aneh.

Aku segera menyadarkan diriku dan mengalihkan pandangan ke arah Bambang. Sedang wanita itu dengan bodohnya menatap wajahku.

"Jadi kalian hanya ingin memastikan apakah aku hantu atau bukan?" menghela napas kecil, aku ingin tertawa menyaksikan tingkah aneh mereka. Darimana datangnya pemikiran konyal itu? Mana ada hantu setampan diriku? Mata wanita ini sepertinya sudah agak minus, dia harus membeli kacamata untuk dirinya. Sungguh kasihan karena tidak bisa melihat pria setampan diriku. Aku menggeleng miris. "Sudah jelas bahwa aku bukan hantu. Jadi aku akan pulang sekarang."

Mulai melangkahkan kakiku, akan tetapi berhenti lagi karena badan besar Bambang menghalangi jalanku. Sejenak aku menggaruk dahiku yang tidak gatal. Haruskah aku bersabar menghadapi orang-orang aneh ini untuk berapa lama lagi? Sekali kali aku melirik pada arlojiku sudah menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit. Benar-benar tetangga yang tidak pengertian.

"Ngomong-ngomong apakah kamu orang baru di sini?" setelah memindaiku dengan mata besarnya, Bambang bertanya.

"Iya, aku pindah tadi malam." Praktis saja, aku menjawab apa yang ditanyakannya tanpa perlu bertanya balik karena pertanyaan barusan telah dengan sengaja mereka abaikan. Aku tidak suka akan hal itu. Tatapanku berubah malas dan ekspresi datar terpampang di wajahku. Aku mulai bosan dengan perbincangan ini.

Wanita dengan bibir merah itu masih menatapku dengan intens. Tatapan itu membuatku amat risi. Saat ini sorot matanya mengamatiku dari atas hingga bawah. Dia belum percaya kalau aku adalah manusia. Sebenarnya darimana pemikiran aneh di kepalanya muncul?

"Pindah? Orang baru?" wanita itu membuka mulutnya nanap.

"Dia tetangga kita yang baru!"

"Tetangga? Hantu?" mengernyitkan dahi tidak percaya. Wanita dengan bibir merah itu mulutnya semakin menganga.

Hah, sampai kapan obrolan membosankan ini akan berakhir? Jika mereka bukan tetanggaku, pastinya sudah aku lempar mereka dari atap gedung.

"Aku manusia! Berhentilah berharap kalau aku hantu. Kakiku masih menyentuh lantai."

Spontan wanita itu menoleh ke bawah dan mendapati kakiku menginjak lantai. Apakah dia idiot atau semacamnya?

"Karena kamu tetangga baru kami, silahkan perkenalkan dirimu. Oh, iya, saya Bambang penghuni 304." Bambang mengulurkan tangannya.

Dia mengulurkan tangan agar aku menjabatnya? Orang ini baru saja bangun, dia bahkan tidak mencuci muka sebelum keluar apalagi mencuci tangan. Tanganku tidak dapat digerakkan, karena aku sendiri tidak memiliki keinginan untuk menjabat tangan pria berwajah sangar di hadapanku. Berapa banyak jumlah kuman yang menempel pada tangannya?

"Aku, Eros Darwin." Ucapku sembari melangkah menuju apartemen nomor 303. Sialnya wanita itu tinggal di apartemen nomor 302 dan sangat dekat dengan apartemenku. Semoga saja dia tidak menganggu.

Kulirik dari ekor mataku, tangan Bambang masih di udara dan dia menatap tajam ke arahku. Hidung datarnya berkedut saat tatapan tajamnya terus mengikuti langkahku.

"Dasar orang baru tidak sopan, kalau orang tua mengulurkan tangan, maka jabat tangannya."

Aku tertegun sejenak mendengar ucapan lantangnya memekakan telinga, ingin sekali aku menutup telingaku. Kepalaku hampir pening oleh kedua orang aneh itu.

"Muka saya sangar tapi saya berhati malaikat."

Baru saja aku akan membuka pintu, namun ucapannya saat ini malah membuat perutku terasa mual. Ya, muka sangar dengan hati malaikat. Aku percaya, aku percaya. Bukannya aku sengaja menghindar berjabat tangan dengannya, aku tahu hal itu tidaklah sopan, tapi dia tidak mencuci tangannya dan aku pun terlalu malas ketika tanganku bersentuhan dengan orang lain.

Aku mendengar suara tepuk tangan. "Bagus, Pak Bambang, kasih pelajaran sama dia!"

Apa-apaan? Kenapa dia malah bertepuk tangan? Aku sungguh lelah menghadapi kedua orang itu. Kubuka pintu lantas masuk ke dalam dan sebelum menutup pintu aku mendengar Bambang kembali berucap.

"Kamu juga sama, pagi-pagi sudah teriak-teriak. Teriak hantu segala, mana ada hantu pagi-pagi begini?" Bambang mendengus kesal dan berbalik menuju apartemennya, mulutnya kembali berkedut menatap ke arahku di balik pintu yang setengah menutup, "dasar anak muda jaman sekarang memang tidak sopan."

Bam! Dia menutup pintu apartemennya dengan marah.

Sedangkan wanita itu sempat melirik ke arahku, namun dengan segera dia masuk ke apartemennya.

"Huh," menghela napas, aku menutup pintu apartemen. "Cici ...."

Bersambung

Jika kamu dapat menembus ke dalam pikiranku, maka kamu dapat menumbangkan aku dengan satu kalimat sederhana.— Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status