Share

02 | Menahan

Pot-pot bertebaran hampir memenuhi teras. Bungkus-bungkus tanaman pun tak kalah banyaknya tercecer ke mana-mana. Tampaknya orang yang membukanya terburu-buru, atau memang bukan orang yang rapi.

"Nay! Mana vitamin untuk akarnya!" teriak Sandra yang sedang membawa media tanam. "Lama-lama, punya otot juga nih," keluhnya menaruh cukup keras media tanam ke lantai. "Nay!"

"Bentar!"

Naya berjalan tergopoh-gopoh, tangannya terlebih dahulu terlihat dibandingkan dengan tubuhnya. "Ini! Bisa sabaran enggak?" tanyanya kesal.

"Lagian, cari vitamin itu aja masa lama. Kan, di atas rak tv."

Sontak saja, Naya langsung berkacak pinggang. Dengan menggerakkan tangannya, dia berkata, "Kamu pikir, tinggi rak di tv itu berapa, hah?"

"Enggak setinggi itulah," katanya. Namun, ketika Sandra menoleh ke Naya, mulutnya langsung membentuk huruf o. "Aku lupa kalau kamu terlalu tinggi."

"Minta dihajar anak ini ya." Naya mengepalkan tangannya, dan pura-pura marah pada Sandra yang membuat sahabatnya itu tertawa.

Naya tak bisa terlalu kesal dengan Sandra, karena dirinya sadar, tingginya tidak seberapa. Dia mempunyai tinggi 144, sangat tinggi bukan? Bahkan di antara teman-temannya dulu, dirinya yang paling tinggi. Teman-temannya rata-rata mempunyai tinggi sekitar 160-an hingga 170. Jangan dibayangkan, Naya sendiri pun tidak mau membayangkannya.

"Ini. Berapa takarannya?" Naya jongkok mengikuti Sandra yang sudah terlebih dulu melakukan itu.

"Aku aja. Kau duduk manis saja," katanya.

Sandra memang tahu, Naya bukan seseorang yang mempunyai tangan apik. Maksudnya, dia tidak telaten jika berurusan dengan tanaman. Ada saja yang bisa mengacaukan penanaman indah yang sudah dibayangkan Sandra. Jadi, untuk meminimalisir kejadian tak terduga, Naya harus disingkirkan terlebih dulu.

Naya hanya mengangguk. Dia menyingkir, memperhatikan bagaimana telatennya Sandra membuka plastik penutup akar, membersihkannya.

"Kemarin, mukamu kenapa ditekuk? Mau nanya, udah duluan masuk kamar."

"Jangan diingetin," sahut Naya judes.

Sandra membalikkan tubuhnya, menghadap Naya. "Jangan bilang, ucapanku benar."

"Apa?"

"Kau bertemu dengan mantanmu?"

"Enggak!" teriak Naya reflek.

Sandra mengernyitkan dahi, dan Naya melihat sudut bibir sahabatnya mulai naik dan itu pertanda tak baik.

"Aku tidak bertemu dengannya," kata Naya yang kali ini lebih pelan. "Eh, itu tanaman apa? Bunganya lucu."

"Kau tak usah belagak mengalihkan topik, enggak mempan. Jadi, kenapa kau manyun kemarin? Kau tahu kan, aku tidak akan melepaskanmu, begitu saja?"

Naya berdecak. Ia bangkit. "Aku tidak berbohong. Aku tidak bertemu dengan mantanku, tapi aku bertemu dengan sahabatnya."

"Wow, mantanmu ada?"

"Tidak!" Naya melotot. "Kalau dia ada, aku bukan hanya manyun, tapi mengeluarkan sumpah serapah."

Sandra tertawa. "Aku hanya bertanya."

"Pertanyaanmu membuatku emosi."

"Kau masih mempunyai perasaan padanya?" tanya Sandra mendadak.

Naya mengernyit. "Pertanyaan dari mana itu? Kenapa kau selalu bertanya hal yang sudah pasti?"

"Dariku, dan ya, perasaan itu sesuatu yang tidak pasti. Menurutku."

"Aku tidak menyukainya." Naya melempar pandang jauh. "Aku tak akan pernah mau menyukainya lagi. Semenjak dia berselingkuh, sejak itulah perasaanku padanya mati. Enggak akan pernah ada lagi namanya perasaan kedua, atau selanjutnya. Aku tak akan sudi."

Sandra menekan lututnya sebelum berdiri. "Aku mengerti. Namun, bisa tidak aku mengeluarkan pendapatku?"

"Apa?" Naya menarik kembali pandangannya menuju Sandra.

"Menurutku, kau belum bisa terlepas dari masa lalumu. Ini sudah berapa tahun, Naya?" tanya Sandra dengan sorot mata lembut. "Kau belum mempunyai pasangan semenjak putus dengannya bukan?"

Naya diam, dia tak punya alasan untuk menyanggah.

Melihat keterdiaman Naya, Sandra melanjutkan perkataannya. "Ketika kau bertemu dengannya, kuyakin, dia akan tertawa dan menganggapmu belum melupakannya."

"Omong kosong! Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu?" Naya sudah tersulut emosi, bahkan hanya dengan membayangkannya saja.

Sandra mengedikkan bahu. "Siapa tahu dia berpikir seperti itu. Jadi,"

"Jadi?"

"Bagaimana sehabis ini, kita mencari cogan saja di luaran sana? Buat persiapan jika kau bertemu dengannya lagi."

"Kamu serius?" Naya kadang bertanya-tanya, kenapa dia bisa terasa nyaman dengan Sandra.

                                                                      *

Tidak ada yang berani untuk menyapa laki-laki yang kini sudah melepaskan jaketnya. Mereka hanya berani untuk melirik, dan mengaguminya.

Laki-laki itu menjadi pelanggan tetap di sebuah kafe sederhana, dengan interior bertema vitage. Dulu, dia membenci kafe ini, tak ada yang menarik hatinya. Setiap dia ke sini, yang ia rasakan adalah rasa bosan yang luar biasa. Lagu yang terputar pun tidak sesuai dengan seleranya, semakin membuatnya ingin menghindari kafe itu.

Namun, sesaat setelah orang yang ternyata sangat ia cintai menghilang, kafe ini menjadi favoritnya. Benar kata orang, jangan terlalu membenci sesuatu, kalau tidak mau terjadi sebaliknya.

"Pesanannya milkshake cokelat, ya Kak."

Satu gelas milksake cokelat langsung tersaji di hadapannya bersamaan dengan kue kecil. Laki-laki itu hanya mengangguk. Setiap kali dia ke sana, pesanan itu selalu sama. Tidak pernah sekalipun ia melewatkan pesanan itu sama sekali. Karena sekarang minuman yang ia benci menjadi sebuah keharusan untuknya, agar dirinya bisa bekerja dengan tenang.

"Kebanyakan minum manis, hati-hati kadar gulamu naik," seloroh Aska yang baru saja tiba.

"Untuk apa kau ke sini?" Rama tak mau membuang-buang waktu hanya untuk meladeni ucapan Aska.

"Bertemu dengan sahabat tercintaku." Aska menopang dagunya dengan kedua tangan, mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Rama.

Rama yang melihat itu tak pelak bergidik, seram. "Jauhkan mukamu dariku, atau kau tak akan pulang dengan muka mulus."

"Aku bercanda." Sejenak, Rama fokus pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. "Aku ada kabar untukmu."

Rama mengambil minumannya, menyesapnya setelah menghirup aroma minuman itu secara perlahan. Dulu gadisnya sering meminum ini, merasakan aroma itu. Sering kalai Rama berpikir--di masa itu--hal itu konyol, nyatanya dia lakukan sekarang.

"Kau dengar perkataanku? Untuk apa kau melakukan tingkah yang kau benci? Itu tak akan membuat gadis yang kau buang kembali," kata Aska pedas, yang berhasil membuat tatapan Rama berubah sangat tajam. "Apa? Aku mengatakan sejujurnya. Kau menyelingkuhinya, menganggapnya tak ada, tak suka kalau dia menghubungimu. Itu semua kenyataan."

Dada Rama terasa ada yang memukul, begitu keras, hingga ia harus menarik napas, mencari oksigen. 

"Apa berita yang kau bawa?"

Rama tahu apa yang dikatakan Aska semuanya benar. Karena itu, ia ingin menakhiri percakapan itu. Dirinya tak mau lagi mengingat betapa brengseknya dia di masa lalu.

"Ada dua kabar," kata Aska yang sekarang tersenyum lebar.

"Kabar buruk."

Rama menggaruk sisi kiri bibirnya. "Kau yakin?"

"Telingamu sudah tak berfungsi dengan baik?"

"Hanya menegaskan. Kau tahu kan, kabar baik kadang membuat semuanya lebih baik."

"Kabar buruk, adalah kenyataan yang tak menaikkan harapan," balas Rama.

"Oke." Rama mengaduk minumannya. "Sekali lagi, kau yakin?"

"Aska."

"Oke." Aska menyerah, Rama sudah memanggil namanya dengan nada rendah berarti peringatan pertama. "Dia membencimu, sangat membencimu. Dia bilang, bahkan kalau kau mati, dia tidak akan peduli."

"Siapa?" Mendadak Rama merasakan perasaan yang kacau. Perutnya terasa melilit. Ada satu nama yang mendadak muncul di kepalanya. Namun, ia tak mau terlalu yakin untuk sekarang. Mengingat bagaimana Aska suka sekali membuatnya naik darah.

Aska menegak minumannya santai. "Siapa lagi, kalau bukan orang yang kau cari. Mantanmu sudah kembali. Naya. Aku bertemu dengannya, kemarin."

"Dia di sini?" Suaranya serak. "Di mana?" Rama ingin cepat-cepat bertemu dengannya.

"Aku tak tahu."

"Brengsek!"

"Aku serius. Aku tak tahu di mana tempat tinggalnya. Aku bertemu dengannya di toko buku favorit yang kau bilang waktu itu."

Rama diam. Akhirnya, setelah sekian lama dia akan bertemu dengan Naya.

"Kau tak usah senang seperti itu. Karena dia sangat membencimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status