Share

03 | Kabarnya

Naya mengetikkan balasan komentar calon pembelinya. Salah satu reunitas hariannya, mengecek akun tanaman milik Sandra. Siapa tahu ada pembeli tanaman. Mereka--tepatnya Sandra, Naya hanya membantu--membuka akun itu kurang lebih satu tahun setengah, dan pengikutnya sudah banyak. Promosi yang Sandra lakukan ternyata sangat berhasil. Terlebih dengan tanaman yang akhir-akhir ini sedang banyak digandrungi. Penghasilannya lumayan. 

Selain itu, Naya juga bekerja di salah satu toko kue. Lumayan untuk menimbun pundi-pundi rupiah dan menambah pengetahuannya. Dia lebih menyukai pekerjaan itu, bertemu dengan banyak orang, dan tidak fokus di depan komputer. Apalagi, teman kerjanya cukup asik.

Naya berjalan lebih cepat, dan mendorong pintu ke dalam. Suara lonceng, menjadi penyambutnya.

"Nay, datang juga kamu. Kupikir kamu enggak akan masuk hari ini," kata Rio yang tengah menurunkan kursi dari meja.

"Masuk dong. Nanti kalau aku udah kaya, baru aku enggak masuk." Naya mengikat rambutnya yang terurai menjadi ekor kuda. 

"Sekarang, belum kaya? Hati-hati lho, ucapan doa."

"Buktinya masih kerja. Kamu tuh yang anak orang kaya, malah kerja di sini," ejek Naya balik.

Awal pertama kali dirinya bertemu dengan Rio. Cowok itu tidak terlihat seperti anak orang kaya. Sikapnya yang biasa, supel dan tak menggunakan barang mewah, membuat dirinya serta teman-teman lainnya menganggap Rio juga sebagai anak biasa.

Lalu, beberapa bulan lalu, ketika salah satu teman kerjanya tak sengaja melihat Rio keluar dari toko jam tangan mahal, barulah mereka menyadari, status mereka berbeda. 

Tapi, tak ada yang berubah. Rio tetaplah Rio yang biasa.

Rio meminicingkan mata, sorot matanya yang serius membuat Naya mengernyitkan dahi. 

"Apa?" Naya menunduk, melihat penampilannya sendiri. Tidak ada yang aneh, dia menggunakan pakaian yang sering dia gunakan. Kaos lengan panjang, dengan celana jeans berwarna hitam dan  sepatu yang senada. "Kenapa kau meliahatku seperti itu?"

Naya menjadi curiga dengan Rio. Meski Rio sangat baik, kadang apa yang akan keluar dari mulutnya membuat dia merinding. 

"Kau cantik. Aku semakin suka padamu."

Lihat. Dia selalu mengatakan hal ini, disetiap kesempatan. Awalnya, Naya merasa risih. Semakin ke sini makin menganggap perkataan itu hanya sebuah lelucon.

Tangannya dikibaskan. "Kau seharusnya mengatakan itu pada orang yang kau suka," kata Naya sambil bergerak menuju toilet untuk mengganti baju. "Kalau kau terus mengatakan itu pada semua orang, kau tak akan pernah mendapatkan pacar."

"Aku mengatakannya pada orang yang kusuka! Aku suka padamu!" balasnya dengan nada setengah berteriak.

Naya menggelengkan kepala. "Ya ya, kau menyukaiku, sayangnya aku tidak menyukaimu." 

Jawabannya masih sama. Kalimat itu tidak akan pernah dia anggap serius--kalau pun serius--semuanya akan dia anggap hanya sebuah becandaan. Masa lalu membuatnya belajar, perkataan akan hanya akan menjadi perkataan, tak akan pernah bisa membuktikan kalau semuanya benar. 

Tawa Rio membuatnya menggeleng. Benar kan? Laki-laki itu hanya becanda. Dia suka sekali menggodanya.

"Kau lucu. Inginku jadikan pacar."

Naya merotasikan kedua matanya, merasa jengah dan bosan dengan Rio.

Pintu dapur terbuka, Dion keluar di sana dengan iringan aroma yang membuat Naya berhenti melangkah. Sepertinya Dion baru saja memanggang kue yang lezat. 

"Apa kalian, tidak bosan? Mengulangi hal yang sama hampir setiap hari." Dion memandangi mereka berdua bergantian. Menyurai rambutnya santai. "Aku sudah bosan."

Rio terkekeh. 

"Ya bagaimana, Yon. Dia enggak mau nerima perasaan gue." Rio menunjukkan wajah sedih yang dibuat-buat.

"Kau terima saja, Nay. Kasihan dia."

"Enggak, makasih." Naya menolak mentah-mentah, tanpa perasaan.

Dion tertawa, meledek Rio. "Yo, usahamu belum keras. Tingkatkan sampai gigi empat."

"Kau pikir, motor?" delik Naya. "Udahlah, berbicara dengan kalian berdua membuatku ingin marah saja."

"Jangan cepat marah, Nay. Nanti, enggak ada yang mau," canda Dion disertai dengan tawanya.

Baru saja Naya ingin membalas, Rio sudah terlebih dulu berbicara.

"Tenang, kalau enggak ada yang mau dengannya. Aku saja."

"Terserahmu saja, Yo. Pusing aku," balas Naya yang mulai menyerah. 

"Berarti aku diterima?"

"Enggak!" tolak Naya lagi.

Rio mencebik. "Kenapa kau terlihat susah sekali untuk membuka hati?"

Bibir Naya mengatup rapat, dan membentuk garis lurus. Trauma. Mungkin itu jawabannya kenapa dia terlihat enggan untuk menerima perasaan laki-laki. Apa yang sudah dia alami menjadi pengalaman yang sangat berharga untuknya. Dia tak mau menghabiskan waktu untuk berhubungan dengan seseorang yang tak serius dengannya.

Dan juga

Dia tak mau merasakan diselingkuhi lagi.

Naya bukannya tak mau berpacaran. Dia mau. Hanya saja, dia belum bisa melupakan apa yang sudah dia alami. Paling parah, dia akan mencurigai pasangannya kelak.

"Karena, kau terlihat seperti playboy," balas Naya yang kali ini benar-benar masuk ke dalam toilet. "Dan aku benci tipe laki-laki seperti itu."

                                                                          *

Dia membicaranmu, seolah kau adalah orang yang paling menjijikkan. Aku tak perlu bertanya apakah dia sangat membencimu atau tidak. Sorot matanya sudah jelas, dan gestur tubuhnya juga sama. Kau sudah berbuat hal yang tak akan mudah untuk dimaafkan.

Rama menghela napas berat. Dia sudah tahu, hal ini akan terjadi. Apa yang sudah dia lakukan dulu, pasti membuat gadis itu membencinya. Bedanya, dia tidak tahu kalau rasa bencinya itu akan besar. 

Kepalan tangannya semakin erat.

"Permisi, Pak."

"Ya, silakan." Rama mengatur posisinya, tegak. Dia menurunkan pandangannya ke arah laptop, berlagak sibuk. Padahal sejak tadi, pikirannya melayang pada sosok yang sangat dia rindukan. 

"Salah satu karyawan mengajukan resign." Nita menaruh amplop dengan judul yang sesuai dengan perkataannya. 

"Alasannya?"

Tugas Rama selalu berkaitan dengan karyawan. Pengunduran diri, atau pun pemecatan. Dia harus memeriksa dengan saksama apakah memang orang yang akan dipecat atau mengundurkan diri itu tidak akan berdampak pada perusahaan. Tentu, Rama tidak mau jika orang yang akan keluar dari perusahaan ini adalah orang yang sangat dibutuhkan.

"Karena Ayahnya meninggal, dan dia harus pulang kampung. Ibunya sudah tua."

Rama tak bisa berbicara apa-apa lagi. "Oke. Tapi, dia tidak bisa mengundurkan diri begitu saja." Dilepas kertas itu di mejanya. "Dia harus menunggu maksimal 3 bulan untuk mencari penggantinya. Nanti saya akan bicarakan ke atasan untuk lebih lanjutnya."

Nita mengangguk paham. 

"Apa ada lagi?"

Nita menunduk, memainkan jemarinya dengan gugup. "Ini waktunya makan siang, Pak."

Rama menaikkan satu alisnya. Dia hanya melakukan hal itu saja. Ini bukan pertama kalinya dia melihat peandangan  seperti ini. Sudah sering, tapi  dia sama sekali tidak tertarik.

"Bapak mau,"

"Kalau sudah selesai, silakan keluar. Saya harus makan siang dengan tunangan saya." Rama berkata dengan datar. Menolak langsung adalah jalan yang tepat.

Gadis itu keluar dan dia bisa melihat pundaknya bergetar, mungkin menahan tangis. Apa pedulinya.

Diraih ponselnya, membaca ulang chat dari Aska. Hanya sekadar melihat, tidak lebih.

                                                                   *

Kafe mungil itu terlihat cukup ramai. Beberapa orang terlihat mengantre di depan, menunggu giliran untuk masuk ke dalam sana.

Rama keluar dari mobil, dia berjinjit, mencoba mengintip karyawan di dalam sana. Kata Aska--setelah dia mencari tahu--gadisnya ada di sana. Bekerja di toko mungil ini. Rama tak heran, karena sejak dulu, gadisnya menyukai kue.

Tak mendapatkan kesempatan, Rama mendekati kumpulan orang-orang. Tak ada gadisnya di dalam sana. Kaca yang tranpsaran membuatnya mudah melihat apa saja yang ada di dalam sana.

"Awas aja tuh orang. Berani-beranina berbohong.  Sialan!" Rama sudah bertekad untuk membalas Aska. Mendengar kabar mengenai gadisnya membuatnya  lupa, kalau Aska, bocah tengil yang bisa kapan saja kumat.

"Permisi-permisi!"

Rama mundur beberapa langkah, dan matanya membeliak ketika melihat gadisnya yang tengah melewatinya. Dia tidak akan pernah lupa, bagaimana sosok gadis itu.

Gadis itu menghilang, masuk ke dalam toko. Rama berbalik. Dia tersenyum getir.

Gadisnya terlihat baik-baik saja.

Berbeda dengan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status