Share

04 | Kenangan

Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang akan terjadi di masa depan. Semuanya terkesan misterius. Apa yang dimiliki saat ini, bisa saja hilang di masa lalu, dan meninggalkan penyesalan yang besar. 

Rama masih mengamati Naya. Semua kegiataannya saat ini tak dia pedulikan sama sekali. Setelah meminta izin, dia mematikan ponsel. Tak mau ada yang mengganggu; siapa pun itu. Pandangannya masih terarah pada Naya.

Mereka begitu dekat, sayangnya dirinya tak bisa menghampiri Naya. Rama belum mau melihat tatapan Naya yang mengatakan betapa bencinya gadis itu padanya.

Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras. Gemuruh yang ia rasakan semakin kuat. Sekali dia lalai, ia takut tak bisa menahan diri. Keinginannya yang kuat akan memaksanya untuk berlari sekarang juga ke arah Naya.

"Sekarang aku tahu perasaanmu," katanya pedih. "Dulu, kamu melihatku, hanya melihatku, tak berani mendekat jika tak ada izin dariku. Menyakitkan, bukan?" Senyum getir muncul di wajahnya. 

Dulu, dia meminta Naya untuk tidak mendekat. Dirinya tak mau diganggu oleh gadis itu. Rasanya  sangat menyebalkan ketika melihat senyuman dan ekspresi ceria yang ditampilkan oleh Naya. Gadis itu menyapanya, padahal jelas-jelas Rama tak suka sapaan itu.  

Rama terus melakukan itu--menyakiti perasaan Naya. Bahkan dia sering kali membatalkan janji mereka. Waktu itu, Rama sangat ingin menjauhi Naya. Karena dia beranggap tak akan pernah ada perasaan cinta pada Naya, sampai kapan pun.

Namun, sekarang ketika gadis itu pergi, semua anggapannya berantakan.

"Mas, pingin banget ya? Sampai berkaca-kaca giitu matanya," seloroh salah satu pelanggan yang sejak tadi memperhatikan Rama.

Tak aneh, karena Rama sudah berada di sana beberapa jam, memandang hal yang sama tapi tak bergerak sedikit pun.

"Lebih baik masuk aja, Mas. Enggak usah ragu. Enak banget kuenya. Apalagi, karyawannya ramah banget. Terutama perempuan itu."

Meski terlihat tak menyimak, pandangannya mengikuti telunjuk pelanggan itu.

"Dia ramah kalau enggak ditanya tentang pasangan. Kalau enggak pura-pura mendengar, dia langsung mengalihkan pembicaraan. Meski ya, dibilang perempuan itu jomlo. Siapa ya namanya?"

"Naya," jawab Rama datar. "Dia juga tidak suka dengan Anda. Jangan berharap lebih." Rama langsung berbalik cepat. Dirinya tak tahu, apakah Naya melihat wajahnya atau tidak. Semoga saja tidak. Rama tidak mau, gadisnya bersembunyi lagi.

Sudah cukup dia menunggu, mencari seperti orang gila. Dia tidak mau mengalami hal ini  lagi.  Sekarang, seperti ini saja cukup, dia tidak  akan meminta lebih.

Sekarang, dia harus puas dengan kenangan yang ia miliki, dan harapan yang mulai ia rasakan. Setelah memantapkan perasaannya, Rama mulai beranjak. Sekarang, dia  sudah punya tujuan setiap kali  dia  merasa  sendiri.

"Woi!  Jangan sok ganteng kamu! Tau dari mana kalau dirinya tak suka sama aku!"

Rama berbalik. "Karena saya mantannya."

                                                                       *

"Kenapa sih?" Naya menatap nyalang ke arah Fio. Sejak tadi, gadis itu menyenggol lengannya, menyoleknya. Itu sangat mengganggu. "Kamu  enggak lihat, aku  lagi input?"

"Lihat," balas Fio  santai.

Naya menggeram kecil. Ingin kesal, tapi kalau kesal dengan  Fio percuma. "Kenapa?" Naya  memperhatikan apa yang dia ketik di mesin kasir. Bisa potong gaji kalau ada nominal yang salah. 

"Orang itu sejak tadi, lihat ke arah sini mulu." Fio mulai bercerita, semangat. Khas perempuan itu. "Awalnya kupikir, dia ingin melihat menu di belakang kita, tapi sepertinya bukan. Ini sudah dua jam orang itu berdiri di tempat yang sama, dan melihat ke kita. Apa jangan-jangan,"

Naya mengernyit, cara bicara Fio membuatnya penasaran. Setelah memastikan belum ada tanda-tanda pelanggan, dia menoleh. "Apa?"

"Dia suka salah satu dari kita?"

Mulut Naya terbuka lebar, tak percaya. "Kebanyakan baca cerita roman, kamu." Ia menggeleng berulang kali. Tak habis pikir dengan pikiran Fio. Mana mungkin, ada orang yang berdiri dua jam di tempat yang sama. Kalau pun ada, tidak mungkin alasannya karena menyukai salah seorang di sini. Kecuali, dia memang dia ingin mengikuti seseorang. Apa ya namanya? stalker?

"Kamu enggak percaya ya?" Fio langsung menuding.

"Memang."

"Coba lihat di sana?"

Naya dengan malas mengangkat kepalanya, dan mengarahkan pandangannya ke arah  yang ditunjuk oleh Fio. Gelombang di keningnya semakin banyak. Naya tidak melihat wajah orang itu, karena dia berbalik.

Kemungkinan ucapan Fio benar. Orang itu aneh.

"Mungkin dia," Mata Naya mendadak melebar. Dengan cepat, kepalanya menoleh. Postur tubuh orang itu, mirip dengan orang di masa lalunya. "Enggak mungkin. Itu sama sekali enggak mungkin." Suaranya bergetar. Ia tersenyum sinis. Tak mungkin orang itu tahu di mana dirinya berada? 

"Pasti gara-gara dia." Naya terlalu naif, tidak memikirkan kemungkinan itu.

Tepukan lembut di bahunya, dan panggilan ramah, menyadarkan Naya di mana tempatnya berada.

Rio mendadak muncul di depannya. 

Kapan dia datang?

"Kenapa mukamu pucat seperti ini?"

Wajahnya di pegang hati-hati oleh Rio. Tatapannya menjelajah ke semua penjuru wajah Naya. Memastikan kalau gadis di depannya itu, baik-baik saja.

"Aku enggak apa-apa." Naya melepaskan kedua tangan Rio di wajahnya. Matanya melirik ke arah tadi, dan dia bernapas lega, orang itu benar-benar pergi. 

"Kamu yakin?"

"Kenapa aku harus tidak yakin?" tanya balik Naya.

Rio berdecak. "Kamu tak menjawab ketika dipanggil. Wajahmu seperti ini, dan matamu," Rio mendesah, "sangat sendu. Bagaimana bisa aku dan yang lainnya beranggapan kalau kamu baik-baik saja. Kamu terlihat tidak seperti biasanya."

"Benarkah?" Naya menyentuh wajahnya sendiri. Ia tidak menyangka, orang itu masih berdampak ke dirinya. Dia tidak boleh seperti ini. Semuanya sudah berakhir, dan berubah menjadi kenangan buruk.

"Istirahat saja. Biar Fio yang gantiin kamu."

Selain pemilik, Rama memang sering kali mengatur karyawan. Dia sudah dipercayai oleh Dion. 

"Baik." Naya mengikuti ucapan Dion. Dia hapal  bagaimana ini akan berlanjut, Dion akan terus memaksanya  sampai keinginannya terpenuhi. "Maaf merepotkan," kata Nay pada Fio.

Fio menggeleng. "Tak apa. Kamu istirahat aja, Nay."

                                                                    *

Rama keluar dari mobil dengan senyum kecil. Dia sangat bahagia saat ini. Akhirnya, harapannya bisa terkabul juga.

"Ngapain senyum-senyum kayak orang gila, gitu?"

Rama mengunci mobilnya. "Enggak perlu tahu." Ia berjalan melewati sepupunya--Adit, begitu saja. 

Adit merangkul pundak Rama. Baru sebentar langsung ditepis sadis oleh Rama.

"Kejam amat sama sepupu sendiri."

Rama langsung masuk tanpa menanggapi omongan Adit. Buang-buang waktu.

"Kenapa jarang pulang? Tante curhat panjang lebar. Kamu seharusnya paham, Tante kesepian."

Rama tahu itu. Jadi tutup mulutmu.

Dia berhenti. Ruang tamunya dipenuhi oleh orang-orang yang kini sedang bersenda gurau. Hampir semua  orang adalah keluarga mereka. Kecuali, satu orang.

Tanpa permisi, Rama langsung pergi menuju kamarnya. Dia tidak mau kebahagiaannya yang sekarang dia rasakan, hilang. Yang dia inginkan sekarang, melihat kembali rekaman Naya di kepalanya.

"Rama."

Rama mendesah berat. "Kenapa, Ma?" tanyanya sembari berbalik.

"Kenapa langsung masuk gitu aja?"

"Capek," balas Rama. Dia tidak segan-segan menunjukkan maksud dari ucapannya.

"Ini ada Calista lho." Mamanya mengamit lengan gadis yang bernama Calista itu.

"Terus?" Rama menaikkan sebelah alisnya. Terlihat jelas, laki-laki itu tidak tertarik dengan pembahasan ini.

"Ya, kamu temani dia," kata sang Mama. "Calista sudah jauh-jauh ke sini. Bawakan kue kesukaanmu."

"Salahnya dia datang ke sini." Rama tak suka hal ini. Dulu, mungkin dia akan merasa sedikit senang, tapi sekarang, tidak lagi. Dia sama sekali tidak tertarik. 

"Mungkin, Rama capek," sahut Calista ramah. "Calista, enggak apa-apa, kok."

"Bagus kalau kamu sadar." Setelah mengatakan itu, Rama langsung berbalik, mengabaikan teriakan Mamanya, dan masuk ke dalam kamar.

Di balik pintu kamar, Rama akhirnya bisa merasa rileks. Pantas saja, dirinya disuruh pulang. Ada maunya. 

Sudah cukup lama, Rama tidak pulang ke rumah. Alasannya sederhana. Dia tidak mau mendengar pertanyaan mengenai siapa kekasihnya saat ini. Pertanyaan itu sudah kerap kali dia jawab, tapi, Mamanya seakan tak puas.

"Menyebalkan." Rama menyusupkan jemarinya di rambut, jengah. "Udah dibilang, tetap aja dilakukan," gumamnya.

Dia beranjak dari pintu dan menjatuhkan diri di atas ranjangnya.

Mamanya tidak seperti ini sebelumnya, hal menyebalkan yang dilakukan adalah terus menyalahkan Rama atas keputusan Naya. Ya, Rama akui, itu memang salahnya. Dia lebih memilih untuk Mamanya menyalahkannya. Bukan membawa perempuan yang sama sekali tak berguna.

Tatapannya dialihkan pada sebuah figura yang sengaja ditaruh di sana. Rama memang sengaja menaruh sebuah figura foto di sana, agar setiap kali dia kemari ada hal yang membuatnya tenang.

Ada bekas robekan di antara dua orang yang tengah menunjukkan ekspresi berbeda. Sang gadis menunjukkan kebahagiaan, sedangkan laki-lakinya menunjukkan sebaliknya. Foto itu adalah foto saat mereka bertunangan ... dengan terpaksa.

Kalau Rama mengingat itu, semua kenangan buruk yang dia berikan pada Naya muncul. Dan seperti biasa, matanya mulai terpejam, dan mimpi akan masa lalu siap untuk menyambutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status