Share

05 | Bertemu

Sudah berulang kali, Naya dikenalkan lelaki oleh Sandra. Dari tinggi, hingga pendek, dari yang pendiam, sampai yang cerewet, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalkan oleh Sandra, sampai sekarang belum ada yang membuat hatinya kepincut. Pun ada, ketertarikannya hanya sampai kencan kedua setelahnya, perasaan itu menguap tak tersisa. 

Apa yang sudah terjadi sebelumnya, 

"Kau kenal dengan Ari? Dia meminta nomer ponselmu."

Naya mengernyit, dan langsung menengadahkan kepala. "Ari?" Kernyitan di dahinya semakin dalam ketika mencoba mengingat nama itu. "Ah, aku tahu. Untuk apa dia minta nomerku?"

Ari adalah salah satu pelanggan tetap di kafe tempat Naya bekerja, yang ternyata adalah teman Sandra. Berulang kali mereka terlibat pembicaraan santai. 

Sandra berkacak pinggang. Keningnya mengernyit dalam, dan bibirnya mencebik. "Mau mengerjakan tugas kampus! Ya, kenalanlah. Kau mau aku jambak atau bagaimana?"

Naya terkekeh pelan. Kadang, kekesalan Sandra sungguh membuatnya terhibur. Apalagi jika berhubungan dengan topik yang sama. 

"Lagian, jawabanku juga kau sudah tahu, kan?" Dia menaruh pakaiannya ke jejeran pakaian yang sudah dia lipat terlebih dulu. 

Setelah memastikan tak ada pakaian yang ketinggalan, Naya menoleh ke Sandra.

"Aku sudah tahu," kata Sandra. "Sangat tahu. Jawabanmu tak pernah berubah bertahun-tahun."

"Nah." Naya menjetikkan jemarinya. "Jadi, buat apa masih bertanya? Dan lagi, aku sudah memperingatkan padamu. Jangan memberikan nomerku kesembarang orang. Itu sangat menganggu."

Bukan satu kali, atau dua kali, Naya menerima 'teror' dari orang yang mendapatkan nomernya dari Sandra. Satu kali tak dibalas pesan, atau mengangkat telepon, mereka akan terus menghubungi nomernya hingga membuat Naya harus mematikan ponselnya beberapa hari. Parahnya, malah ada yang menungguinya di depan rumah, menanyakan kenapa dirinya tidak membalas pesannya.

Mengingat itu, Naya sakit kepala.

"Kali ini dia normal." Sandra menunjukkan foto Ari di ponselnya. "Dia ini udah kukenal cukup lama. Pribadinya juga baik, sopan, dan asik. Bukan tipe-tipe peneror, atau tukang selingkuh. Gajinya juga lumayan, terus,"

Naya menganga medengarkan penjelasan dari Sandra. Entah mulai kapan, Sandra mengumpulkan data Ari, hingga mendapatkan informasi sebanyak itu. Sampai ukuran celananya pun Sandra tahu.

"Kau pernah pacaran dengannya?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Naya tak bisa menahan kebingungan dan rasa penasarannya di kepala.

Rasanya tidak masuk akal, Sandra mengetahui semua hal tentang Ari kalau tidak pernah berhubungan, atau minimal pernah menyukai. Karena Naya tahu, banyak cara yang bisa dilakukan oleh gadis jika sudah berniat untuk menguntit seseorang, apalagi di media sosial.

Naya selalu takjub dengan kemampuan itu.

"Tidak," Sandra melipat kedua kakinya. "Aku sudah cukup lama mengenalnya, dan salah satu mantan pacar Ari adalah penggosip hebat, jadi, ya ... begitu."

"Ah." Naya mengangguk, mengerti. 

"Jadi, kau mau keluar dengannya? Dia selalu menanyakan padaku, apakah kau ada waktu atau tidak." Sandra menggoyangkan ponselnya, seakan memberitahu kalau semua pertanyaan Ari ada di ponselnya.

"Aku lelah, San. Maksudku, aku seperti membuang waktu bertemu dengan seseorang yang tidak menarik perhatianku sama sekali."

Sandra menghela napas. "Aku melakukan ini, karena peduli padamu, Nay," kata Sandra lembut. Dia menepuk pundak Naya. "Aku hanya tak mau kau terus seperti ini. Memangnya aku tak tahu kalau berulang kali kau menatap pasangan kekasih dengan tatapan kosong?"

Naya tak mengelaknya. Benar, dia kerap kali melakukan itu.

"Aku tahu, kau terluka, sangat terluka. Lalu, sampai kapan kau begini? Waktu terus berjalan, Nay. Kau juga harus melupakan masa lalumu itu, dan satu orang brengsek, bukan berarti orang lain juga brengsek."

Masih dengan keterdiaman, Naya mendengarkan perkataan itu. Perkataan yang sudah berulang kali terpikirkan di dalam kepalanya. Dia sudah meyakini kalimat itu, semua berbeda, tak semuanya mempunyai sifat seperti itu. Namun, semuanya seakan sia-sia.

"Aku sudah mencobanya," kata Naya serak. "Aku sudah mencoba untuk membukakan hatiku."

"Kau yakin, kau sudah mencoba?"

Kening Naya berkerut. "Maksudmu, aku berbohong?"

Sandra menggeleng. Bibirnya melahirkan senyuman tipis. "Aku tahu kau pasti sudah mencoba. Maksudku, kau yakin benar-benar sudah mencoba sekuat tenaga? Apakah kau sudah melepaskan semua perasaanmu pada mantanmu?"

                                                                       *

Naya menghela napas berat berulang kali. Menenangkan dirinya dan meyakinkan diri kalau kali ini dia harus berhasil. Kata-kata Sandra benar, dia sepertinya belum melupakan perasaannya di masa lalu.

Atau dirinya yang begitu mudah dipengaruhi oleh Sandra?

Tapi, dari sekian banyak kafe. Kenapa dia harus berada di depan kafe ini?

Naya ingin membatalkan pertemuan ini, dan berbalik pulang. Meski sudah kembali, tempat ini salah satu tempat yang ia hindari. Banyak hal yang bisa dia kenang di tempat ini.

"Apa karena ini, dia bilang aku harus membuktikannya? Sandra, harus kuapakan kau setelah pulang." Naya mengepalkan kedua tangannya, memusatkan emosinya di sana. "Udahlah." Naya hanya berharap tidak bertemu siapa-siapa yang dia kenal.

Dia menarik napas dan membuangnya perlahan. Banyak alasan dia gugup ketika menyentuh knop pintu. Tempat itu jelas sangat berbeda dibandingkan terakhir kali bertemu. Namun, suasana di sana masih sama. 

Naya tanpa sadar langsung menoleh ke tempat yang sering kali dia duduki. Satu per satu kenangan muncul di kepalanya, membuat emosinya mulai bermain. Dulu, dia sering kemari, hanya sekadar menikmati minuman dan memandang orang-orang yang berlalu lalang. Karena tak ingin sendiri, Naya akhirnya meminta ...

Naya menggelengkan kepala, mengenyahkan kenangan itu.

"Ini alasan aku tak mau ke sini."

Bahunya merasakan tepukan lembut. Naya berbalik dengan cepat, dengan jantung yang berdegup cepat. 

"Ari," panggilnya lemah. Rasa lega menyeruak dari dadanya. Ia tersenyum lebar. "Hai."

"Hai." Ari menyapa balik. "Kau kenapa? Sakit?"

"Tidak. Kenapa?"

Ari menunjuk kening Naya. "Kau berkeringat. Seharusnya aku menjemputmu, meski kau tolak."

Mendengar penyesalan dari suara Ari, membuat Naya kembali memberikan senyuman penenangnya. "Aku baik-baik saja. Ini," dia mengusap dahinya, melihat keringatnya sendiri, "aku sering seperti ini."

"Benarkah? Setelah ini, aku akan mengantarkanmu pulang."

Naya menggoyangkan kedua tangannya. "Tak usah. Aku sungguh bisa pulang sendiri."

Ari menggeleng lalu mencondongkan wajahnya. "Kali ini aku tidak akan mendengarmu, Nona." Tubuhnya kembali menegak. Dia membalikkan tubuh Naya, dan mendorongnya agar berjalan.

"Aku bisa berjalan sendiri, jangan mendorongku." 

"Begitukah?"

Naya mencebikkan bibirnya, dan mereka memutuskan untuk menduduki deretan tengah yang masih tersisa. 

"Kau ingin memasan apa?" Ari memanggil pelayan. "Tempat ini sangat bagus untuk mengabiskan waktu," katanya menjelaskan.

"Aku milkshake, cokelat." 

"Milkshake?" bibir Ari berkedut.

Naya mengernyitkan dahinya. "Kenapa? Enggak ada yang salah kan?" 

Sejak dulu, kesukaannya tidak berubah. Terlebih di kafe ini. Pesanannya selalu sama, dia tak pernah bosan dengan minuman itu. Entah apa yang membuatnya menyukai minuman itu. 

Ari tertawa kecil, lalu mengaitkan kedua tangannya dan menjadikannya tumpuan dagu. "Tidak. Tapi, kupikir kau tak menyukai minuman seperti itu, dan lebih menyukai kopi."

Gantian Naya yang tersenyum samar. Sembari menolehkan pandangannya ke luar, Naya berkata, "Kopi, pilihan terakhirku."

"Aku ingin meminta maaf. Aku terlalu pengecut meminta nomormu dari Sandra," aku Ari. "Seharusnya aku meminta langsung padamu."

"Tak masalah. Yang penting, kau tak menerorku." Naya menarik kembali pandangannya, dan menatap Ari. "Aku akan mem-blokirmu."

"Benarkah?" Ari ternyata tak salah memilih untuk mendekati Naya. Gadis itu apa adanya. "Kau tak punya kekasih kan?"

Naya menghela napas. "Tentu tidak. Aku bukan tipe seseorang yang berselingkuh." Kali ini sikap Naya berubah serius. Ada beberapa hal yang tidak dia sukai, salah satunya kalimat ini. "Dan aku benci dengan seseorang yang berselingkuh."

Ari mengangguk paham, sepertinya dia sudah memilih topik yang salah. "Tentu, semua orang tak mau diselingkuhi. Kau suka membaca buku?"

"Tentu." Naya mencoba untuk mengendalikan perasaan kesalnya. Kali ini berbeda dari sebelumnya, Ari tidak membuatnya merasa risih, kecuali kalimat itu. Sikapnya biasa saja, dan tidak melakukan sesuatu yang membuatnya langsung muak. "Kau juga?"

"Ya. Aku menyukai novel misteri."

Mereka membahas novel kesukaan masing-masing. Ketika mendapatkan satu novel yang sama, mereka tampak bersemangat. Beberapa kali mereka saling menyahuti adegan dalam novel itu.

Sepertinya, Naya tak salah sudah menerima pemaksaan Sandra saat ini.

"Kau tahu, kalau asistenmu tidak menyukaimu, mungkin aku sudah mengejarnya."

"Tak ada hubungannya denganku."

Naya menghentikkan kegiatannya menyesap minumannya ketika mendengar suara yang tidak asing. Tanpa sadar dia menggertakan giginya, dan napasnya terasa berat. 

Ari menyentuh tangan Naya, memeriksa gadis itu. "Naya, Kenapa? Kau serius tak sakit?"

Naya memberanikan diri untuk menaikkan pandangannya, dan detik itu dia menyesal melakukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status