"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya.
Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?"
"Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?"
"Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan."
"Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?"
"Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup."
"Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
Kaki Naya terus bergerak dengan gelisah. Keinginannya untuk kabur dari ruangan semakin meningkat. Bahkan rasa penyesalannya pun semakin besar. Naya tak tahu kalau tempat ini adalah milik dari orang yang sudah dia hapus dari kehidupannya. Dari luasnya bumi, kenapa harus ketemu sama ini orang? Menyebalkan. Naya merasakan kakinya ditendang kecil. Ketika menoleh dia menemukan Sandra sudah dalam tampang menyeramkan. "Kamu sengaja mau ketemu sama dia? Makanya milih tempat ini?" bisik Sandra. Naya tanpa sadar memutar jarinya dekat kepala. "Kamu gila?" balasnya juga dengan berbisik. Kalau dirinya tahu tempat ini milik orang itu, tak akan pernah memilih tempat ini. Mendingan agak terpencil tapi hati nyaman. Dibandingkan tempat ini, yang sudah jelas akan membuatnya makan hati sendiri. "Terus, kenapa kamu milihat tempat ini? Kamu tahu dia pemiliknya?" "Ya enggaklah. Makin gila kamu ya." "Sepertinya penjelasan
Pernah kehilangan kepercayaan pada seseorang yang akan memenuhi hatinya, membuat Naya tidak bisa memberikan kepercayaannya dengan mudah. Seberapa kuat dia mencoba untuk kembali percaya, dia tetap gagal. Ada kecurigaan yang timbul, itu membuatnya enggan untuk membuka hati.Namun, dia sadar, mau sampai kapan dia akan seperti ini?Dia akan mencoba membuka hatinya untuk Angga. Sampai saat ini, Sandra mengatakan kalau laki-laki itu baik. Naya akan mencoba untuk mempercayainya."Mau kubelikan pastime?""Enggak. Kalau kamu mau beli, beli aja," kata Naya."Ya enggak. Aku nawarin kamu, kalau kamu enggak mau, ya buat apa juga aku beli?" kata Angga. "Kalian langsung pulang?""Iya." Sandra menjawab terlebih dulu. "Kamu balik lagi sana." Ia mengibaskan tangan, mengusir Angga."Yaelah, udah selesai dibutuhin langsung diusir ya?"Sandra mengangguk mantap, tak bersalah. "Ya emang harus diusir."Naya mendengarkan perdebata
Naya buru-buru menghampiri alat pembuat kopi, mematikannya secepat yang ia bisa, lalu memeriksa air di dalam sana. Ia merasa cukup lega karena datang diwaktu yang tepat."Untuk apa kau berlarian seperti itu? Bikin kaget saja!" semprot Sandra yang keluar dari kamar karena mendengar derap langkah yang memburu.Naya tertawa. Ia melepaskan handuk di kepala dan mengusap rambutnya berulang kali. "Mengulang dari awal itu sangat merepotkan, San. Jadi, sebelum terlambat aku harus mematikannya. Kau mau kubuatkan kopi?"Sandra mengangguk. "Ya ya, kau selalu mempunyai alasan. Tidak seperti dulu.""Memangnya dulu, aku kenapa?" Naya mengedipkan kedua matanya, berusaha terlihat polos.Sandra memutar kedua bola matanya malas. "Kau ingin aku mengingatkanmu seperti apa dirimu dulu? Aku tak masalah. Coba kita ingat apa yang kau ucapkan ketika--""Berhenti!" Naya nyengir. "Aku bersalah. Aku tak akan berlari seperti itu lagi, kalau tidak kepepet," katanya menghe
Pot-pot bertebaran hampir memenuhi teras. Bungkus-bungkus tanaman pun tak kalah banyaknya tercecer ke mana-mana. Tampaknya orang yang membukanya terburu-buru, atau memang bukan orang yang rapi."Nay! Mana vitamin untuk akarnya!" teriak Sandra yang sedang membawa media tanam. "Lama-lama, punya otot juga nih," keluhnya menaruh cukup keras media tanam ke lantai. "Nay!""Bentar!"Naya berjalan tergopoh-gopoh, tangannya terlebih dahulu terlihat dibandingkan dengan tubuhnya. "Ini! Bisa sabaran enggak?" tanyanya kesal."Lagian, cari vitamin itu aja masa lama. Kan, di atas rak tv."Sontak saja, Naya langsung berkacak pinggang. Dengan menggerakkan tangannya, dia berkata, "Kamu pikir, tinggi rak di tv itu berapa, hah?""Enggak setinggi itulah," katanya. Namun, ketika Sandra menoleh ke Naya, mulutnya langsung membentuk huruf o. "Aku lupa kalau kamu terlalu tinggi.""Minta dihajar anak ini ya." Naya mengepalkan tangannya, dan pura-pura marah pada
Naya mengetikkan balasan komentar calon pembelinya. Salah satu reunitas hariannya, mengecek akun tanaman milik Sandra. Siapa tahu ada pembeli tanaman. Mereka--tepatnya Sandra, Naya hanya membantu--membuka akun itu kurang lebih satu tahun setengah, dan pengikutnya sudah banyak. Promosi yang Sandra lakukan ternyata sangat berhasil. Terlebih dengan tanaman yang akhir-akhir ini sedang banyak digandrungi. Penghasilannya lumayan.Selain itu, Naya juga bekerja di salah satu toko kue. Lumayan untuk menimbun pundi-pundi rupiah dan menambah pengetahuannya. Dia lebih menyukai pekerjaan itu, bertemu dengan banyak orang, dan tidak fokus di depan komputer. Apalagi, teman kerjanya cukup asik.Naya berjalan lebih cepat, dan mendorong pintu ke dalam. Suara lonceng, menjadi penyambutnya."Nay, datang juga kamu. Kupikir kamu enggak akan masuk hari ini," kata Rio yang tengah menurunkan kursi dari meja."Masuk dong. Nanti kalau aku udah kaya, baru aku enggak masuk." Nay
Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang akan terjadi di masa depan. Semuanya terkesan misterius. Apa yang dimiliki saat ini, bisa saja hilang di masa lalu, dan meninggalkan penyesalan yang besar.Rama masih mengamati Naya. Semua kegiataannya saat ini tak dia pedulikan sama sekali. Setelah meminta izin, dia mematikan ponsel. Tak mau ada yang mengganggu; siapa pun itu. Pandangannya masih terarah pada Naya.Mereka begitu dekat, sayangnya dirinya tak bisa menghampiri Naya. Rama belum mau melihat tatapan Naya yang mengatakan betapa bencinya gadis itu padanya.Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras. Gemuruh yang ia rasakan semakin kuat. Sekali dia lalai, ia takut tak bisa menahan diri. Keinginannya yang kuat akan memaksanya untuk berlari sekarang juga ke arah Naya."Sekarang aku tahu perasaanmu," katanya pedih. "Dulu, kamu melihatku, hanya melihatku, tak berani mendekat jika tak ada izin dariku. Menyakitkan, bukan?" Senyum getir muncul di wajahnya.&n
Sudah berulang kali, Naya dikenalkan lelaki oleh Sandra. Dari tinggi, hingga pendek, dari yang pendiam, sampai yang cerewet, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalkan oleh Sandra, sampai sekarang belum ada yang membuat hatinya kepincut. Pun ada, ketertarikannya hanya sampai kencan kedua setelahnya, perasaan itu menguap tak tersisa.Apa yang sudah terjadi sebelumnya,"Kau kenal dengan Ari? Dia meminta nomer ponselmu."Naya mengernyit, dan langsung menengadahkan kepala. "Ari?" Kernyitan di dahinya semakin dalam ketika mencoba mengingat nama itu. "Ah, aku tahu. Untuk apa dia minta nomerku?"Ari adalah salah satu pelanggan tetap di kafe tempat Naya bekerja, yang ternyata adalah teman Sandra. Berulang kali mereka terlibat pembicaraan santai.Sandra berkacak pinggang. Keningnya mengernyit dalam, dan bibirnya mencebik. "Mau mengerjakan tugas kampus! Ya, kenalanlah. Kau mau aku jambak atau bagaimana?"Naya
Pernah suatu hari--entah berapa kali, bayangan akan pertemuan mereka hinggap di kepala. Banyak skenario asing yang muncul, hingga menimbulkan beberapa perasaan yang berakhir dengan menyedihkan. Naya mengerjap, lalu mengalihkan pandangan, memutuskan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.Perasaannya yang mulanya nyaman, berubah drastis. Dia tidak menyangka kalau hari ini mereka akan dipertemukan.Dia mencengkram cangkirnya kuat-kuat, mengertakkan gigi, dan menelan bulat-bulat perasaannnya saat ini.Aku harus terlihat baik-baik saja. Aku bukan Naya yang dulu. Kehadirannya tak akan pernah mempengaruhiku."Nay, ada apa?"Panggilan lembut disertai dengan tepukan yang tak kalah lembut di tangannya, menyentakkan Naya."Ya? Kau berbicara apa?""Ada apa?" tanya Ari khawatir. "Kita balik saja, aku tak mau kau kenapa-napa." Ari mengeluarkan dompet dan memanggil pelayan."Tak apa?" tanya Naya khawatir.Bia