“Permainan ini, bagaimanapun menyakitkannya, bagaimanapun aku pedih terbakar olehnya, aku hanya perlu mengingat satu hal cinta ini tidak boleh kalah."
Suasana pagi di kota Bandung begitu dingin, membuat siapa saja mengurungkan niat untuk menanggalkan selimut, termasuk aku. Rasanya tak ada yang lebih nikmat daripada berselimut memeluk guling dan bermimpi di pulau kapuk. Hanya saja kenikmatan itu segera lenyap begitu Nina masuk ke kamar dan merebut paksa selimut yang menutupi hampir ke seluruhan tubuhku.
“Rian bangun...!!! Sudah siang, kamu tidak kerja ya?” Ucapnya setengah berteriak. Nina memang memanggilku dengan nama pendek “Rian” seperti laki-laki, tapi sungguh aku seorang perempuan. Hehe.
“Kar... Kare!!! Kamu ganggu tahu, sini balikin selimutnya.” Seruku dengan mata masih mengatup.
“Gak ada selimut, kamu pokoknya harus bangun.”
“Nggak!”
“Ishhh... ngeyel yah nih anak.”
“Kamu kan kerja Yan. Tidak takut disemprot bos kamu?”
“Nggak.”
“Maksud kamu? Kamu off?”
“Nggak.”
“Cuti?”
“Nggak.”
“Nggak gimana maksud kamu? Semua pertanyaan kamu jawab 'nggak'.”
“Iya Kare, aku gak off, gak juga lagi cuti, aku resign.”
“RESIGN???”
“IYA!"
“Serius? Tapi kenapa?”
“Ya gak kenapa-kenapa Kare. Aku gak suka suasananya, gak nyaman. Mesti gimana lagi sih aku harus jelasin ke kamu, biar kamu ngerti.”
“Tunggu... tunggu...! Suasananya tidak nyaman atau kamu yang berulah. Kamu baru sebulan loh kerja di perusahaan itu dan ingat dalam setahun ini kamu udah keluar masuk perusahaan udah lima kali. Kamu tidak belajar dari kesalahan yang sudah-sudah ya?”
“Cerewet deh Kare. Sinih selimutnya!” Aku berhasil merebut selimut itu dari tangannya.
Kudengar Kare ber-“hhhh” panjang lalu keluar dari kamarku. Bukannya tidur lagi, aku malah melamun panjang. Selera tidur jadi hilang gara-gara Kare menghancurkan semuanya. Dengan malas, aku meraih Gadget yang tergolek pasrah di sampingku. Mengecek email dan BBM yang masuk, tidak ada email penting, hanya beberapa email promosi dan tawaran diskon dari toko-toko online tempatku biasanya berburu barang. Buka BBM, ada beberapa BBM Broadcast tidak penting yang menurut aku orang BC seperti itu malah terkesan tidak smart. Mataku berbinar begitu melihat BBM dari Tefan.
Pagi...! Baru bangun ya? Selimutnya masih ditarik-tarik Nina gak?
Tanpa pikir lama aku langsung membalas BBM tersebut.
Iya nih, pacar kamu keterlaluan kalau bangunin orang. Kayak macan ngamuk.
Menunggu balasan. Baru bertanda Delivery.
Ting Tong!!! BBM masuk.
Haha... udah bangun sana, mandi. Bau tahu.
Iyah. Kamu sudah di kantor ya?
Iyah. Gak kayak kamu, bukannya kerja malah Resign.
Bawel kamu ah, sama kayak Kare.
Wake up Riana!
OK!
Agak terkesan ganjil rasanya, aku malah bermesraan dengan pacar sahabat sendiri. Aku sahabat keduanya, sahabat Karenina dan sahabat Tefan juga. Itulah yang terlihat dan nampak di mata orang-orang, tapi jauh di sudut yang tersembunyi, sesungguhnya kami, maksudnya aku dan Tefan bukanlah sekedar sahabat, tapi lebih dari itu.
Bila hal seperti itu disebut selingkuh, maka aku tidak akan menamai hubungan ini dengan apapun. Baik aku atau Tefan, perasaan yang muncul di hati kami itulah yang kami percayai. Sesederhana itu dan aku tidak perlu pendapat orang lain untuk mematahkan apa yang sudah terjalin diantara kami berdua. Antara aku dan Tefan.
Karenina tidak pernah mempermasalahkan jika aku keluar makan siang berdua dengan Tefan, sebab yang dia tahu, aku dan Tefan adalah sahabat sejak kecil. Tidak lebih dari itu. Apa aku jahat? Aku tidak mau memikirkan itu, apalagi kalau benar-benar beranggapan bahwa aku ini jahat pada sahabat sendiri. Sudah terlalu banyak waktu yang kami lewati sendiri-sendiri. Saat bertemu Tefan, hidupku kembali berwarna ada letupan kebahagiaan yang sulit kujelaskan begitu melihatnya.
Di meja makan sudah terhidang sarapan pagi yang kutahu semua itu adalah kerjaan Karenina. Aku senyum dan mengucapkan terimakasih dalam hati. Dia sangat baik, itulah sebabnya mengapa aku tidak mau dia sampai tahu ada sesuatu antara aku dan Tefan. Tidakkah aku sudah cukup baik membiarkan dia memiliki Tefan, sementara aku hanya bisa memiliki Tefan pada waktu\-waktu tertentu saja. Entah siapa yang paling egois.
***
Selamat datang di dunia pengangguran, dunia di mana hari-hari hanya diisi dengan movie time, makan, jalan-jalan dan tidur. Apalagi coba yang menyenangkan selain itu semua? Hari ini aku berencana mampir ke butik Nina, siapa tahu ada barang bagus, baru, dan lagi Sale. Hahaha...! Harus begitu, menjadi pengangguran harus pintar-pintar mencari barang bagus dengan harga miring. Biar pengeluaran juga tidak membengkak kayak balon habis ditiup.
Aku mengenakan setelan jeans yang di bagian lututnya terdapat sedikit sobekan, dengan kaos Chanel berwarna putih. Aku lebih suka casual style dibanding harus berdandan ala princess yang kemana-mana harus ber-make up lengkap. Bagi aku casual style lebih cocok dengan kebiasaan aku setiap hari tidak hanya itu tapi lebih karena kepribadian aku yang memang tidak menyukai dandan. Tidak repot tapi tetap terlihat mengikuti trend masa kini. Sekitar pukul sepuluh pagi akupun berangkat memakai mobil sporty milikku. Nina pasti kaget kalau tiba-tiba melihat aku berkeliaran di butiknya.
Jalanan Bandung tidak terlalu macet, membuat aku lebih santai di balik kemudi. Mendengarkan lagu-lagu Sam Smith di Playlist selama perjalanan sembari bibirku juga tak berhenti melafalkan lirik-liriknya. Saat asyik menyetir, gawaiku bergetar, BBM dari Tefan.
Lagi di mana?
Otewe.
Ke mana?
Mau ke butik pacar kamu.
Kebiasaan lama muncul kembali. :D
Siapa tahu dikasih diskon besar-besaran atau malah gratis. Hehe
Habis itu mau kemana?
Kenapa? Mau ngajakin makan malam? Trus Kare mau kamu apain?
Yee... GR. Orang cuma nanya kok.
Gak percaya.
Iya iya, aku mau ngajakin kamu nonton. Tapi jangan bilang-bilang Nina.
Kenapa gak sekalian ngajak Nina?
Oh mau gitu?
Ya enggak sih.
Makanya jangan nawarin sesuatu yang pada akhirnya kamu gak suka. Lagi pula seminggu ini aku sudah temenin Nina kemana-mana. Aku juga pengen punya quality time sama kamu.
Ya udah, kita ketemu di XXI saja nanti malam.
Oke sip. Take Care Lady Riana...
Lebbay... :D :D :D
Tefan ada-ada saja, tapi memang benar sih seminggu ini memang mereka menghabiskan waktu sama-sama terus. Tefan juga baru gencar BBM hari ini, karena kalau dia sedang bersama Nina tidak mungkin dia akan menghubungi aku. Dua puluh menit kemudian tibalah aku di butik Nina, sebuah tulisan besar di depan toko menyambut kedatanganku. **KARENINA BOUTIQ**. Pelan aku membuka pintu butik yang bertuliskan PUSH.
Aku tidak langsung menemui Nina di ruangannya, tapi langsung melihat-lihat koleksi terbarunya. Nina termasuk sukses dengan bisnis butiknya ini, dia mendesain sendiri koleksi-koleksinya dan sekarang dia lagi mendesain berbagai macam pakaian hijab. Memang saat ini pakaian hijab sangat diminati kalangan perempuan. Banyak yang secara tiba-tiba mendapat ilham dan memutuskan untuk berhijab, entah karena benar-benar niat dalam hati atau hanya karena sebuah trend semata.
Seorang karyawan butik Nina menghampiriku, awalnya dikira pembeli trus dia menjelaskan banyak hal mengenai barang-barang baru butik Karenina, termasuk apa yang lagi promo atau Sale. Lalu ketika aku menoleh ke arah karyawan itu, ekspresinya berubah.
“Mba Riana? Yahh.... sudah capek-capek jelasin ini itu, tahunya malah Mba Riana, kirain pembeli lain.” Ucapnya cemberut.
“Haha... udah layani aja pembeli yang lain. Aku paling cuma bentar dan langsung masuk ke ruangannya bos kamu kok.?”
“Baik Mba.”
Puas berkeliling, akupun masuk ke ruangan Nina.
“Hei...!” Seruku begitu kepalaku menyembul dari balik pintu ruang kerjanya.
“Rian??” Jawabnya sedikit terkejut.
“Boleh masuk gak?” Tanyaku nyengir.
“Kamu berdiri di pintu situ juga gak bakal jadi duit Rian. Masuk gih.”
“Makasih.”
Aku duduk di depan Nina dan langsung ambil cokelat di sampingnya yang sedang tergolek manis minta dimakan.
“Kebiasaan deh Rian.”
Peduli setan sama teguran Karenina. Sambil nyemil aku lalu ambil beberapa majalah Fashion di rak majalah.
“Ngapain ke sini Yan?”
“Emang gak boleh ya?”
“Ya gak gitu. Bolehlah, siapa bilang gak boleh.”
“Aku bosen di rumah.”
“Makanya cari kerja gih.”
“Nanti aja kalau malasnya sudah hilang.”
“Kapan sih sifat malasnya kamu itu hilang? Benar-benar tidak kerja baru tahu rasa kamu.”
“Tenang deh Nin, aku yang gak kerja kok malah kamu yang bawel sih. Udah ya, mendingan kamu fokus aja deh sama kerjaan di depan kamu itu. Aku mau liat-liat majalah dulu.”
Akupun tenggelam dengan majalah di pangkuanku, sesekali tergelak dengan beberapa pakaian trendy dengan harga selangit. Kudengar Nina lagi ngobrol di telpon, suaranya bersemangat dan dia kedengarannya sedang gembira sekali. Tadinya tidak ingin peduli dengan siapa dia berbicara di telpon tapi aku terusik juga begitu tahu kalau yang telpon itu Tefan. Rasanya ada bagian dari dalam hatiku yang nyeri. Lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut dan berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Membuang jauh-jauh satu kata ini “Jelouse” sebelum makin merasuki sisi burukku.
Lagipula tidak ada yang salah dengan “cekikikan” Nina di telpon toh dia berbicara dengan kekasihnya. Walau tidak bisa dipungkiri kalau aku juga mulai merasa cemburu. Situasinya benar-benar tidak menguntungkan, aku harus bagaimana? Secara tidak sadar kita bertiga sudah menjalani hubungan yang rumit. Lalu keadaan yang harus aku hindari adalah berusaha untuk tidak cemburu sama sekali. Tidak pada Nina dan juga pada Tefan.
Sudah seharusnya aku bersyukur atas semua waktu yang aku dan Tefan lewati. Berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama. Melupakan status diantara kami dan hanya ada hati yang dipernuhi rasa cinta. Definisi cinta bagi kami selalulah sederhana, seperti moment nonton atau makan ice cream mengenang masa kecil dulu. Waktu-waktu seperti itu sangatlah berharga buat aku dan Tefan.Baru saja mau masuk ke dalam kamar, Nina muncul dengan wajahnya yang membuat aku hampir kena serangan jantung karena kaget. Suasananya remang-remang, sebagian besar lampu sudah dimatikan lalu tiba-tiba muncul sosok hitam dengan wajah putih rambut panjang seperti anaknya kuntil. Eh kunitilanak. Aku merasa saat itu juga aku akan pingsan, untung saja sosok hitam berwajah putih itu lekas ketawa yang khas sekali kukenal sebagai ketawanya Nina. Nina nyengir ke arahku memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan teratur. Puas karena tidak sengaja mengerjaiku dengan wajahnya.“Oh My God Kare
“Jalani seperti air mengalir, kadang kala ada benturan tapi air itu akan terus mengalir menuju muara seharusnya.”Hari kedua menikmati jadi pengangguran. Pagi-pagi sudah ditelpon mama, menanyakan apakah pekerjaanku lancar atau tidak. Dengan berbohong lantas kujawab iya saja, biar buntutnya tidak panjang ke mana-mana. Mama juga mengingatkan aku soal Tefan, mengingatkan untuk kesekian kalinya kalau Tefan sudah menjadi milik Karenina.“Iyah Mama, aku tahu.”“Riana sayang, Mama tidak mau kamu sampai mengorbankan banyak hal hanya karena Tefan. Kamu harus sadar posisi kamu. Orang tuanya membenci keluarga kita sayang.”“Iyah Ma.” Jawabku lemah.Dan aku mulai jengah kalau harus mendengar ini berulang kali, meski maksud mama itu baik tapi tidak juga harus dijelaskan seribu kali.“Ma, sudah dulu ya, aku mau mandi mau berangkat kerja.” Jawabku berkilah, m
Lupakan soal wawancara kerja, aku kira ini sudah direncanakan oleh Papa Tefan sejak awal. Cukup mengejutkan bahwa Papa Tefan kini sukses dengan usaha periklanannya, namun disayangkan bahwa dia tidak pernah lupa pada kebenciannya terhadap Papa dan keluargaku. Saat keluar dari kantor tersebut, tak sengaja aku bersirobok dengan Tefan yang hendak masuk ke dalam kantor. Aku tak sengaja menabraknya karena sejak keluar dari ruangan papa Tefan, aku masih menundukkan kepala. Menyembunyikan sesuatu yang sudah meluncur bebas dari mataku sejak keluar dari ruangan Papa Tefan. Tefan kaget melihatku berada di kantor papanya, aku sendiri sangat terkejut melihat kehadirannya yang begitu tiba-tiba.“Riana ...” serunya kaget.“Tefan ...” Jawabku berusaha menghapus titik-titik air yang masih tersisa. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Tefan yang pasti akan memancing amarahnya.“Kok bisa kamu ada di sini?” Tanyanya“
“Andai perasaan seperti angin, akan dengan mudah terbang begitu saja. Tanpa harus membekas atau meninggalkan jejak sakit.”“Gimana interview-nya?” Tanya Nina saat kita berdua sedang makan malam bersama di rumah.“Berjalan dengan baik. Tapi aku memutuskan untuk tidak bekerja di sana.”“Loh kenapa?”“Yah biasalah, mengenai salary.” Jawabku berbohong.“Bukannya itu bukan jadi salah satu pertimbangan kamu kerja ya?”“Dulu emang enggak, tapi sekarang iya.” Jawabku sekenanya.“Apa jangan-jangan kamu sudah bangkrut? Haha...” Tanyanya berseloroh.“Bukan. Ini gara - gara koleksi fashion di toko kamu lagi banyak yang aku incar makanya kudu punya budget yang memadai. Hehe...”“Huuu dasar... alasa
"Adakah hal yang lebih membuatmu nyaman selain berada di peluk kekasihmu?”Tefan langsung dipindahkan ke salah satu rumah sakit umum di Bandung, keadaannya tidak begitu parah begitupun dengan Reno. Reno mendapatkan tulang betisnya sedikit bergeser tapi menurut dokter tidak begitu serius dan bisa diatasi dengan penanganan yang cepat. Tefan mengalami luka di bagian kepala, terbentur namun tidak ada luka dalam yang serius. Aku belum bisa menjenguk Tefan di rumah sakit. Waktunya belum pas, orang tuanya kerap menunggui Tefan 24 jam. Nina sering mengajak pergi bersama, tapi aku menolak dengan halus. Meski aku tahu dia pasti bertanya - tanya mengapa aku belum menemui Tefan padahal Tefan adalah sahabat baikku.Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku harus menunggu sampai Tefan tidak dijaga ketat oleh orang tuanya. Mungkin besok atau lusa baru aku bisa menemuinya, sebab menurut info dari Nina orang tua Tefan akan kedatangan kolega bisnis dari
“Aku tahu semua akan baik-baik saja, selama ada kamu di sisiku, aku tak perlu takut apapun. Yang kutakutkan hanyalah kepergianmu.”---Beberapa hari berikutnya Tefan telah keluar dari rumah sakit namun masih perlu istirahat sehingga belum diperbolehkan untuk bekerja ataupun kemana-mana. Orang tuanya sangat protektif untuk satu hal itu. Maklum anak tunggal dan pewaris kekayaan satu-satunya jadi wajar kalau mereka sangat menjaga Tefan. Bagi orang tua Tefan kecelakaan yang hampir menewaskan anaknya itu cukup terjadi hanya sekali dan tidak ada lagi kecelakaan-kecelakaan yang lain. Padahal harta, nyawa dan kekayaan itu sudah diatur sama Tuhan. Yah begitulah.Atas kecelakaan yang terjadi pada Tefan itu, mencuat kabar yang cukup membuat aku kaget dan diam sejenak. Diam dan mencoba mencerna kabar tersebut. Pernikahan Tefan akan dipercepat, padahal seharusnya ada acara pertunangan terlebih dahulu. Aku yakin yang merencanakan ini se
Malamnya aku dan Tefan berdiri di balkon sembari menatap kejauhan, udara dingin membuat kami berdua tak pernah lepas untuk saling memeluk. Dengan begitu, rasa hangat akan mudah masuk begitu saja ke dalam aliran darah kami. Kami berdua hanya berdiri di sana, tak perlu berbicara, langit malam tampak bersih. Akhirnya aku bisa melihat bintang yang bahkan jumlahnya takkan bisa dihitung. Di kota mana bisa menikmati pemandang malam seperti ini, hanya ada asap, polusi suara, dan semua hal yang takkan bisa membawa ketenangan.“Fan, aku ingin begini selamanya.” Ucapku pelan, kepalaku telah rebah di dadanya.“Aku juga sama Riana. Hal yang paling menggangguku selama ini adalah bila kelak aku tak bisa bersamamu lagi.”“Terimakasih sudah hadir dalam hidupku.”“Aku juga berterimakasih karena kamu masih mau menerimaku meski keadaan akan membawamu sampai ke titi
“Aku harus pergi sekarang," Tefan berbicara dengan kepala menunduk, seakan ada perasaan bersalah. Hal itu dapat aku lihat dari ekspresi wajahnya.“Ada apa?” Aku mendekat padanya dan mencari jawaban.“Papa tahu kita sedang bersama sekarang," Tefan menggenggam tanganku. "Aku harus pulang Riana, Papa mengancam akan membocorkan hubungan kita pada Nina jika aku tak segera pulang sekarang."Raut wajah itu semakin jelas, aku tak bisa berbuat apa-apa.“Bagaimana Papamu bisa tahu, Fan?" Aku berusaha untuk tenang, meskipun di dalam hati aku juga sama khawatirnya dengan Tefan. Bagaimana jika Nina tahu hubungan kami?“Papa sudah menyelidiki banyak hal tentang hubungan kita, Riana.”Aku tidak pernah memikirkan hal sejauh itu, orang tua Tefan apalagi Papanya sangat serius dengan ucapannya. Bahkan ia