⚠️ Semua yang ada dicerita ini bersifat fiksi dan fantasi serta dibungkus dalam sajian komedi. Penulis tidak bertanggung jawab atas perbedaan prespektif atas suatu kepercayaan yang ada dalam tulisan ini. Harap untuk menyikapi dengan bijak. ⚠️
Felicia POV
Asap mengepul tebal dari sebuah mobil yang hancur ringsek parah setelah menabrak sebuah pohon di pinggir jalan. Para warga berkerumun mendekat, menyaksikan pengemudi yang sudah terkapar tak berdaya. Beberapa warga segera melakukan pertolongan seadanya, ada juga yang langsung menelepon ambulans.
Sumpah, itu kecelakaan paling parah yang pernah gue lihat seumur hidup.
Gue penasaran dong ya, jadi gue masuk ke kerumunan warga itu. Perlahan dahi gue mengernyit, gue familiar sama mobil ini. Sampai akhirnya tepat di sebelah kursi kemudi, pintu mobil sudah dibuka lebar. Seketika gue merinding.
Itu badan gue.
Badan gue yang terbaring di sana, bercucuran darah. Gue sering diundang ke premiere teman-teman artis gue, nggak sedikit dari mereka yang memainkan peran di film horor. Tapi gue gak pernah semerinding ini. Karena, iya, yang gue lihat badan gue sendiri di sana.
Reaksi gue yang pertama kali seharusnya adalah mual. Tapi kali ini gue nggak merasakan apapun. Semuanya ringan, enteng, seperti kapas. Selama beberapa saat gue masih gak sadar sampai kerumunan bapak-bapak itu menarik badan gue yang ada di mobil untuk keluar. Memakan usaha memang, karena tubuh gue terjepit di antara setir di sana.
Tapi yang lebih buruk adalah, mereka nembus gue.
Iya, gue ditembus begitu aja.
Gue ingin meneriakkan makian sekeras-kerasnya, tapi itu cuma bayangan di kepala gue. Karena pada faktanya gue masih mematung terdiam melihat semua ini. Gue gak percaya dan gak mau percaya kalo ini semua nyata. Gue butuh seseorang dateng ke gue dan bilang gue high gara-gara anggur atau nikotin.
Tapi seingat gue dengan jelas, gue sudah bersih sejak dua hari lalu. Seperempat jam sebelum gue naik mobil pun, gue masih bisa jalan dan melihat dengan jelas. Terus, ini apa? Prank? Gak masuk akal.
"Mbak?"
Gue hampir tersentak kaget. Tapi di sisi lain gue senang karena ada orang yang mau bicara ke gue buat memastikan semua ini cuma prank.
Tapi, zonk.
Yang gue liat adalah orang dengan jubah besar panjang bertudung hitam, lengkap dengan sabit di tangan kanannya.
"AAAAAAAAAAA!!!" Gue sontak berteriak kaget. Gue termundur jauh, jauh banget dari orang itu. Gue menutup mata gue dan nggak ingin melihat orang itu. Tapi sial, hawa keberadaannya malah terasa makin mendekat.
Gue baca semua doa yang bisa gue baca. Apa pun itu, yang penting orang ini bisa pergi dari depan mata gue.
Tapi,
"Mbak?"
"AAA!!! PERGI! PERGI KAMU! AAA!!!"
Hening sejenak, orang itu tak lagi menjawab. Gue langsung teriak-teriak lagi baca doa sekencang mungkin. Tapi yang gue denger malah helaan napas. Ah, gue justru gak yakin orang di depan gue ini bernapas.
"Ya udah sih, santai aja kali, Mbak. Orang udah liat kan? Udah tau kan?"
Gue membuka sela jemari gue yang menutupi muka gue perlahan. Orang itu ternyata duduk berjongkok tepat di depan gue. Gue sendiri jatuh menyandar di pohon saking takutnya. Dan melihat orang itu, ah, entahlah. Gue menutup wajah gue lagi. Takut.
"Ya elah, Mbak. Kayak setan aja saya," ujar orang itu.
"Emang kalo bukan setan apa?" tanya gue membuka wajah seketika.
Rupa orang itu terlihat jelas, tapi rasa penasaran gue tentang semua ini lebih besar dari rasa takut yang tadi.
"Saya? Oh iya, saya apa ya?" orang itu nampak berpikir. Lalu melanjutkan dengan senyum riang. Ah, gue nggak melihat wajahnya memang. Tapi dari nada dia bicara, gue tahu. "Oh iya! Saya malaikat pencabut nyawa!"
Gue mengumpat, teriak, lalu baca doa lagi. Ada ya, malaikat maut sebahagia ini?
"Ya udah sih, Mbak, santai aja. Gak capek apa teriak mulu? Saya yang denger aja capek." ujar orang itu berdiri, kemudian melirik catatan di balik jubah hitamnya. "Maaf ya, Mbak belum saatnya mati. Tapi udah saya cabut duluan."
"Jadi elo yang bikin gue kayak gini!" bentak gue langsung.
"Ya, iya sih. Saya orangnya,"
"Eh, tanggung jawab kek lu! Gue itu lagi perjalanan jemput anak gue di sekolah! Enak aja main cabut nyawa orang sembarangan!" omel gue meracau kesal. "Anak gue baru aja mau ikut try out minggu depan, bayangin dong perasaannya nunggu gue! Argh dasar sampah lo!"
Orang itu menatap gue sambil berkedip-kedip. Sekali lagi, gue nggak melihat wajahnya. Tapi gue merasakannya. Entah.
"Ya terus maunya apa sekarang?" tanya orang itu.
"Ya apa kek! Yang bisa apa! Anak gue gimana!" jawab gue cepat.
"Mbak mau saya hidupin lagi? Ya enak di elu dong, Jubaedah. Mana ada kayak begitu,"
"Kalo emang saya beneran mati kan ada banyak kasus orang mati suri. Bisa dong, kenapa enggak?"
"Ya soalnya ini murni kesalahan saya. Sedangkan saya bukan spesialis ngehidupin orang lagi," jawabnya pelan sambil mengusap pundak, segan. "Gini aja, mending Mbak balik ke masa lalu aja. Mbak kan banyak dosa, dari pada—"
"Enak aja bilang gue banyak dosa! Lo tau apa!?"
"Ini, ada catetannya, kok." jawab orang itu santai. Gue langsung terdiam.
Orang itu juga terdiam, ada hening yang cukup lama. Mungkin dia berpikir gue berpikir, tapi gue sebenarnya tidak berpikir. Jadi siapa yang berpikir?
"Gimana?"
"Apanya yang gimana!" sahut gue nyolot.
"Mbak mau dihidupin lagi juga nggak bisa. Anak Mbak tetep bakal jadi piatu."
Gue seketika terdiam mendengar jawaban itu. Kalimat terakhirnya seketika bikin mental gue jatuh sejatuh-jatuhnya.
Zanna, anak yang gue lahirkan 12 tahun lalu dengan jerih payah pertaruhan nyawa harus kehilangan ibunya, gue nggak bisa. Gue nggak bisa kehilangan orang tua satu-satunya. Karena si brengsek Adam itu nggak bertanggung jawab sama sekali. Bahkan setelah nama gue besar, setelah Zanna tumbuh jadi anak yang cantik, Adam nggak pernah akui Zanna.
Hati gue hancur. Gue nggak bisa tinggalkan Zanna.
"Gak bakal ada yang berubah di masa sekarang, Mbak—"
"Yang bisa saya lakuin cuma balik ke masa lalu?" potong gue cepat. "Saya lakuin."
Pikir gue saat ini juga, kalau gue nggak bisa untuk nggak tinggalkan Zanna, maka hal yang lebih baik adalah kalau Zanna nggak pernah terlahir di dunia sekalian. Biar gue nggak perlu terlantarkan siapa pun. Biar gue bisa pergi tanpa rasa bersalah ke Zanna.
"Deal?"
"Deal."
Hari itu, perjanjian gue dengan malaikat maut pun terjalin. Gue kembali ke masa lalu, lahir sebagai diri gue yang sebelumnya. Sari Sartika.
Malam menjelang pagi, Felicia merasakan tubuhnya benar-benar ringan saat ia melihat dunia dan hiruk-pikuknya yang masih terus berputar. Bahkan saat Felicia tidak lagi bernapas. Hingar-bingar lampu jalanan dan ramainya kota benar-benar indah, hanya saja Felicia tidak tahu di zaman mana ia sedang berada.Malaikat Maut membawa Felicia ke tempat yang sangat jauh. Felicia tidak memperhatikan. Ia sibuk dengan aktifitas manusia. Sampai mereka tiba di pintu suatu rumah kecil, Felicia pun akhirnya menoleh dan terdiam merenung."Ini—""Selamat datang kembali ke rumah orang tuamu, Felicia."Felicia merasai bulu kuduknya naik, matanya menghangat dengan pelupuk menahan bendungan air. Semua yang Felicia takutkan, rasa bahagia, jejak penyesalan, titik air mata berasal dari sini. Felicia tak merasa pantas berdiri di sini."Saya beneran harus di sini?""Iya." jawab Malaikat Maut. "Kamu mau protes lagi?"Felicia diam, kemudian menatap rumah orang
Sinar matahari belum terlalu menusuk saat kelas X3 melakukan pemanasan. Tidak ada murid yang tahu apa yang akan mereka lakukan hari ini. Materi sepak bola sudah selesai lebih awal dari yang dijadwalkan, seharusnya ini jam kosong bagi mereka.Tapi Pak Mulyono berkata tidak."Ketua kelas silahkan pimpin. Setelah pemanasan, nanti kalian putari sawah sebelah barat satu kali. Saya tunggu kalian di sini, saya catat."Sari mengumpat kasar dalam hatinya. Sari benci pelajaran olahraga, dia tidak bisa dan fisiknya memang tidak mendukung. Apalagi sawah barat milik warga itu terhitung sangat luas, pelajaran olahraga benar-benar menyiksa. Tertulisnya menyiksa imajinasi, prakteknya menyiksa fisik."Ri, ayo lek ndang." ujar Mega, teman dekat Sari.Sari mengangguk pasrah dan mulai berlari keluar dari sekolah bersama Mega. Masih belum terlalu jauh, Sari yang sedang berlari pelan pun disenggol pundaknya secara sengaja oleh seseorang. Membuat Mega hampir iku
Kelas X3 kosong saat jam istirahat. Hanya ada beberapa siswa yang makan bekal mereka di kelas, salah satunya Sari. Sedangkan sisanya pergi ke kantin ataupun bermain bola di lapangan. Bangku sebelah Sari kosong. Mega pergi ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas, lalu mampir ke kamar mandi. Dan setelah kembali ke kelas, Mega berlari dengan wajah panik. Derap langkah terdengar di sepanjang koridor, Sari sampai menoleh sebelum Mega sampai di pintu. "Sari ayo, Ri! Felix! Felix! Kasihan Felix, ayo!" "Felix? Felix kenapa Felix?" Sari berusaha tenang. "Felix kesurupan!" Sari mendelik seketika mendengar itu. Ia pun langsung menutup kotak bekalnya dan berlari ke ruang kesehatan bersama Mega. Antara takut dan khawatir bercampur menjadi satu, tapi yang penting sekarang adalah mendampingi teman mereka. Mega langsung menjeblak ruang kesehatan saat ia tiba. Seketika mereka melihat Felix yang duduk tenang di atas ranjang, dengan teh hangat di tanganny
"SARI, IT'S RAINING!!!" Felix masuk ke kelas yang sedang tak diawasi guru dengan senyuman gembira, dia menari-nari senang dan tersenyum lebar. Mega pun seketika tersenyum lebar. Dia ikut berdiri dan bergabung heboh dengan Felix. Sari melirik ke jendela, awan mendung yang sedari tadi menggantung akhirnya pun menjatuhkan air hujan. Kalau begini sudah pasti guru tidak akan masuk ke kelas. Jarak ruang guru dan ruang kelas yang terlalu jauh hanya akan membuat para guru kebasahan kalaupun memakai payung sekalipun. Hujan semakin deras dalam waktu singkat. Sari tersenyum tipis dan akhirnya ikut bergabung dengan Felix dan Mega bermain air. Seperti anak kecil, mereka tertawa dan tersenyum lebar, saling menyiram air pada seragam satu sama lain. Siswa lain ikut keluar dari kelas. Baik anak kelas X3 maupun kelas lain. Mereka bermain air, dari menampung sampai saling siram. Ada yang melepas kemeja pramuka dan berguling di lantai yang licin.
Terik matahari masih berkuasa di langit saat Sari dan Mega tiba di rumah Felix. Meski ini bukan kali pertama mereka datang, tapi tetap saja kagum. Melihat rumah Felix yang besar dan sudah berkeramik lengkap. Hanya saja ada yang berbeda. Mobil putih yang biasanya terparkir di depan rumah itu tidak ada di tempatnya. Rumah tertutup rapat dan tidak terdengar suara sibuk dari dalam. "Aku yang ketuk pintunya ya," kata Mega. Sari mengangguk setuju. Mega pun mengetuk pintu kayu besar itu tiga kali. "Permisi, Feliiix!" Tidak ada sahutan dari dalam. Mega mengulum bibir ke dalam sambil menunggu ada suara yang datang. Namun sampai hitungan lima, tidak ada sahutan dari dalam. Mega pun hendak kembali mengetuk pintu, namun suara tiba-tiba terdengar. "Iya, sebentar!" Mega tersenyum lega. Itu suara Felix. Sari bisa mendengar suara langkah Felix mendekat. Ia menjadi sedikit lega, tidak sabar untuk menengok keadaan Felix dan memberika
Mega menghela napas berat. Ia menyangga dagu dengan tangan kanannya sambil memainkan pulpen di tangan kiri. Pandangannya tertunduk ke buku tulis yang masih kosong setengah, tapi niat untuk mengerjakan tugas sudah habis. Yah, memang terkadang mengumpulkan niat itu hal sulit. Mega melirik ke samping. Pekerjaan Sari malah belum sampai seperempat, tapi tatapan matanya sudah kosong melamun ke ruang tamu rumah Mega. "Kenapa sih, Ri?" tanya Mega menyenggol pundak Sari pelan. Sari pun menoleh, tapi tatapannya masih kosong. "Felix, Ga." jawabnya pelan. "Felix kenapa sih sebenernya? Tadi di kelas juga gak banyak omong sama kita. Lebih suka ngumpul sama yang cowok-cowok." Mega terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ya gimana ya, Ri. Felix kan juga cowok. Mungkin dia juga pengen punya temen cowok. Masa konconan sama awake dewe terus." Sari tidak langsung menjawab. Ada jeda sesaat. "Eh?" Mega menoleh.
Sari kembali ke rumah saat hari sudah malam. Ia mengulum bibir ke dalam dan beberapa kali meneguk saliva. Dengan langkah pelan dan hati-hati, Sari harus memastikan ayahnya belum pulang dari sawah. Masalahnya, Sari tidak memakai baju ganti. Masih dengan dress ungu yang biasa ia kenakan saat bernyanyi di panggung hajatan. Tentu akan sulit berbohong kalau Sari bermain ke rumah Mega karena dress ungu ini. Seiring langkah yang semakin dekat ke rumah, Sari bisa mendengar suara ayahnya yang jelas terdengar. Sari pun terdiam, mengutuk dalam hati. Sekarang mau beralasan bagaimana pun, pasti ketahuan. Jawaban amannya sekarang cuma ada satu. Memutar ke rumah Mega dan meminjam bajunya supaya seolah-olah Sari memang berkunjung ke sana. Memang jauh, tapi mau bagaimana lagi. Semua ini demi menghindari konflik di rumah. Sari membalikkan tubuh dan hendak berjalan pergi. Namun sepertinya, semua itu sudah terlalu terlambat. "SARI! MAU KE
Hembus angin pagi mengelus kulit. Sari berjalan kaki menuju sekolah ketika matahari masih malu-malu menampakkan diri. Maklum, jalanan desa tak sebaik di kota. Kalau tidak berangkat sekolah awal, bisa-bisa terlambat. Berpapasan dengan beberapa warga di jalan, Sari tidak lupa untuk menyapa dan menunduk hormat. Adab kebiasaan di kampung. Yang seharusnya masih ada juga di kota. Seharusnya. Soal kata-kata Mega kemarin, Sari jadi merenung. "Gak pernah pulang bareng sama cowok selama 16 tahun selain Felix." Sial, kalimat itu kembali terbayang. Sebenarnya kalau mau diceritakan sih, bukannya tidak ada. Tapi malah ada. Cuma ya, tidak semua berjalan manis. Mungkin salah satunya, adalah pemilik sepeda onthel yang rajin sekali membunyikan klakson sepedanya padahal jarak dengan Sari masih sangat jauh. Dari nada bicaranya yang bahagia, berani bertaruh cowok itu sudah tersenyum dari kejauhan. "Kring, kring, ada sepeda. Sepedaku roda lima. Kud