Share

Bhu & Akra
Bhu & Akra
Author: Miafily

Belum Bosan

Jerit histeris terdengar dari tribun lapangan futsal yang terletak di gedung olahraga kampus Majaraya. Hal ini terjadi karena tahun ini, kampus Majaraya ditunjuk menjadi tuan rumah pertandingan futsal antar kampus. Kebetulan, siang ini tim futsal perwakilan kampus Majaraya tengah bertanding. Jadi, tidak mengherankan jika penonton didominasi oleh kaum hawa yang meneriakkan nama-nama mahasiswa yang menjadi primadona di kampus Majaraya, lebih tepatnya primadona untuk para remaja putri di kota ini.

Tim futsal Majaraya terdiri dari lima mahasiswa yang memesona. Mereka terdiri dari Cakra, Adi, Alfian, Sani, dan Hidayat. Kelimanya adalah primadona dari berbagai jurusan di Majaraya. Cakra, Adi dan Alfian, sama-sama mengambil jurusan manajemen bisnis. Sani dari jurusan seni ilustrasi, sedangkan Hidayat dari jurusan matematika. Dari tampang, otak, hingga harta, kelimanya memang berkualitas jempolan. Di antara kelima mahasiswa itu, yang paling menonjol adalah Cakra. Mahasiswa cerdas berusia dua puluh tiga tahun itu selalu menjadi pusat perhatian ke mana pun ia pergi.

“Raden Cakra kembali menembak, dan … Jebred! Jebred! Jebred! Cakra si-striker Majaraya kembali membuat gol!

Raden adalah julukan bagi Cakra, lebih tepatnya Cakradana Abinaya. Si kapten futsal yang selalu bersikap santai, tetapi membangun tembok pertahanan agar orang-orang tidak mudah mendekatinya. Cakra menyugar rambutnya yang basah oleh keringat dan mengangguk saat teman-temannya mengucapkan selamat. Ia menoleh dan tersenyum tipis ke arah penonton yang antusias melihat aksinya di lapangan. Spontan, hal itu membuat para mahasiswi histeris karena melihat senyum mahal Cakra. Sayang, senyuman Cakra hanya ditujukan pada gadis manis yang duduk di samping manajer klub futsal. Gadis itu adalah kekasih dari Cakra, Tribhuana Halwatuzahra. Panggil saja, Ana.

Peluit ditiup, pertanda jika permainan dihentikan sejenak. Cakra dan teman-temannya segera melangkah menuju tempat istirahat. Cakra sendiri mendekat pada Ana yang telah menyiapkan air minum dan sebuah handuk untuknya. Cakra mengusap puncak kepala Ana, sedangkan Ana sendiri membuang muka. Interaksi yang cukup membuktikan jika Ana masih berada dalam mode merajuk pada Cakra. Hal itu membuat teman-teman Cakra tertawa geli. Interaksi antara Cakra dan Ana, sejak dulu memang menjadi sebuah tontonan menarik bagi mereka.

“Ana masih merajuk, karena masalah poster, ya?” tanya Adi.

“Ana itu bucinnya Lee Min Ho. Pastinya kesel parahlah, poster pacar khayalannya dibakar sama pacarnya di dunia nyata,” timpal Alfian dengan kerling jahil di matanya.

“Emang itu Lee Min Ho? Kayaknya itu To Ming Se, deh,” tampik Sani.

“Astagfirullah, Ana jangan liat roti sobek cowok lain! Liat aja perutnya Cakra, bentar lagi kalian juga dapet cap halal!” ucapan Hidayat yang awalnya terdengar serius menasihati, menjadi sebuah lelucon saat didengar lebih seksama. Keempat teman Cakra itu tertawa keras, membuat para mahasiswi yang masih berada di tribun merasa iri pada Ana, karena bisa begitu dekat dengan para pria tampan itu. Mereka tidak tahu saja, bahwa Ana yang telah mengenal kelima pria ini selama lima tahun sudah merasa jengah dengan tingkah mereka semua, apalagi pada Cakra. Kelimanya memang kakak kelas Ana sejak SMA, hanya berbeda dua tahun.

“Itu poster Oppa Lee Dong Wook, bukan Lee Min Ho apalagi To Ming Se! Katanya pinter, tapi udah lima tahun masih aja belum bisa ngebedain. Payah!” sewot Ana. Hal itu kembali memantik rasa geli teman-teman Cakra.

Cakra mengerutkan keningnya, ia kemudian menarik Ana untuk duduk dan berbisik, “Bhu, bersikaplah sopan!” Ya, Bhu adalah panggilan sayang Cakra untuk Ana.

Ana mendongak. “Kali ini Bhu akan kembali menurut, tapi izinin Bhu pergi ke fanmeet Oppa Dong Wook, ya?”

Cakra menggeleng dengan tegas. “Tidak, Bhu harus tetap di sini hingga pertandingan selesai. Lagi pula Ayah mengundangmu untuk makan malam bersama.”

“Selalu saja seperti ini, Akra egois!” seru Ana.

“Bhu,” Cakra memperingatkan Ana. Suara Cakra yang rendah membuat Ana terdiam. Sekeras kepala apa pun Ana, ia tahu di mana saatnya ia harus berhenti dan kembali menurut. Tingkah Ana itu membuat Cakra mengangguk puas.

“Seharusnya sejak awal Bhu menurut seperti ini. Sekarang tunggu, Akra harus kembali bertanding.” Cakra meraih kepala Ana, lalu menanamkan sebuah kecupan di puncak kepala kekasihnya itu. Sesuai perkataan Cakra, pertandingan pun segera dimulai kembali. Setengah hati Ana duduk kembali di samping manajer klub yang bernama Ely. Jujur, hingga saat ini pun Ana tak pernah bisa akrab dengan Ely. Padahal mereka sering bertemu, karena Ana yang memang selalu mendampingi Cakra. Entahlah, Ana sendiri tak tahu mengapa dirinya tak menyukai Ely meskipun selama ini Ely selalu bersikap baik padanya.

Ana mengerucutkan bibirnya saat mendengar teriakan gadis-gadis yang mengidolakan pacarnya itu. Entahlah, Ana sendiri tidak yakin jika dirinya memang menyukai Cakra. Dulu saat masih SMA Ana hanya iseng menerima pernyataan cinta Cakra. Pada saat itu baik opa dan oma Ana juga telah mengenal Cakra. Keduanya meminta Ana agar lebih dekat dengan Cakra. Ya, dulu Ana memang hanya menuruti keinginan oma serta opanya yang memang menjadi pengganti orang tuanya yang telah lama berpulang ke pangkuan Ilahi.

Ana mendengkus. Setelah hampir lima tahun pacaran, Ana sudah sangat mengenal Cakra. Pria itu sungguh otoriter. Cakra bahkan lebih mengatur daripada opa serta oma Ana yang selama ini mengasuh Ana. Karena Ana memiliki bakat sebagai pebangkang, ia memang sering kali tak mengindahkan peringatan Cakra dan berakhir mendapat hukuman dari pacarnya itu. Hukumannya beragam, ada saat di mana Ana tidak boleh menggunakan ponsel, hingga Ana tidak boleh ke luar sama sekali dari rumah. Cakra lebih terlihat seperti orang tuanya daripada seperti kekasihnya. Anehnya, meskipun Ana sudah merencanakan dari jauh hari untuk melawan kata-kata Cakra, saat berhadapan dengan pria itu semua yang telah disiapkan oleh Ana menghilang begitu saja. Sungguh mengesalkan.

“Kyaa! Cakra keren pisan euy!”

“Cakra!”

“Duh kesang si Cakra meni buricak-burinong!”

“Gila, enggak nyangka rakyat Indonesia ada yang bening begini!”

Ana menutup kedua telinganya yang sakit karena jeritan para penonton. Ia melirik lapangan futsal di mana pacarnya masih berjuang memperebutkan bola dan mencetak gol. Ana mengerucutkan bibirnya saat mendengar Ely yang duduk di sampingnya berteriak keras. Di tengah situasi yang tak Ana sukai ini, akhirnya Ana mendapatkan sebuah ide cemerlang. Saat Ana melihat Cakra yang berkonsentrasi, Ana segera menoleh pada Ely dan berkata, “Aku mau ke toilet.”

Ely yang mendengarnya segera mengangguk. “Segera kembali, aku tidak mau terkena marah Cakra,” ucap Ely ramah. Tentu saja semua orang sudah tahu bagaimana Cakra sangat disiplin dengan apa yang telah ia katakan. Jika Cakra ingin Ana berada di sana hingga acara futsal ini selesai, maka Ana harus melakukan itu. Ana mengangguk dan melambaikan tangan saat dirinya berlari ke luar area pertandingan. Ana tak memikirkan risiko yang akan ia terima jika kembali membangkang pada Cakra. Hal yang kini Ana pikirkan hanya satu, ia ingin bertemu dengan aktor asal Korea Selatan yang sangat ia sukai, Lee Dong Wook si malaikat maut tampan.

***

Ana membulatkan matanya saat dirinya ditahan oleh pihak keamanan, di mana Lee Dong Wook akan melangsungkan acara fanmeet. Ana menunjukkan e-tiket atas namanya kembali, tapi pihak keamanan tetap  menahan dirinya. Ana benar-benar frustasi. “Om, ini tiketnya asli. Saya beli sendiri. Coba panggil penyelenggaranya, pasti ada yang salah,” ucap Ana pada staf keamanan.

“Maaf, tapi kami menahan Anda di sini juga atas perintah panitia,” jelas salah satu staf keamanan yang bernama Dani.

Ana hampir menangis saat melihat jam tangannya. Fanmeet sudah dimulai hampir setengah jam yang lalu, dan Ana masih tertahan oleh pihak keamanan. Bisa-bisa Ana tidak akan bisa bertemu dengan Lee Dong Wook. Sungguh menyedihkan. Kalau terus begini, perjuangan Ana akan sia-sia. Padahal Ana sudah mengumpulkan uang dari jauh-jauh hari, begadang untuk memastikan pembukaan pembelian tiket online hingga harus menantang Cakra dengan melanggar larangannya. “Om masa tega sama saya, tiket saya hangus dong kalo gini. Om enggak tau sih, sekarang saya lagi menantang maut Om! Gini deh, enggak papa kalau gak diizinin masuk pintu depan, saya punya solusi gimana kalau Om selundupin saya aja?” tanya Ana penuh harap. Ia benar-benar ingin bertemu dengan aktor tampan pemeran malaikat maut di drama yang melegenda itu.

           

“Bhu.”

Hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu. Dengan kaku, Ana menolah dan melihat Cakra yang berdiri di ambang pintu pos keamanan. Ia kemudian melangkah dan berdiri di samping Ana yang tengah duduk di depan Dani. Cakra sudah mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana cokelat muda. Rambutnya terlihat agak basah. Ana bisa mencium aroma parfum samar darinya, ia tahu bahwa Cakra telah mandi sebelum mengejarnya ke sini.

“Selamat siang, Tuan Cakra,” sapa Dani sembari mengambil posisi siap.

Cakra mengangguk. “Maaf, Ana pasti sangat merepotkan kalian. Aku akan membawanya pergi sekarang juga, permisi.”

Tentu saja Ana berontak saat ditarik Cakra, tetapi saat Ana mendapatkan tatapan tajam dari kekasihnya, nyali Ana menciut bak krupuk yang disiram air. Di mobil yang dikendarai sendiri oleh Cakra, suasana sangat tegang. Sebenarnya hanya Ana yang merasa tegang, sedangkan Cakra hanya mengemudi dengan tenang. Perasaan tegang Ana segera berubah menjadi rasa marah dan kesal, setelah sadar akan sesuatu. Dalam diam Ana berpikir, mengapa petugas keamanan tadi mengenal Cakra? Ana mendengkus, mengapa ia pusing-pusing memikirkan itu? Toh bagi Cakra  tidak ada yang tidak mungkin, semua yang ia inginkan pasti akan ia dapatkan. Lebih tepatnya, harus ia dapatkan. Itu sifat Cakra yang tak Ana sukai.

“Pasti ini semua karena Akra!” seru Ana marah.

Cakra masih membisu, ia memutar kemudi memasuki sebuah halaman luas kediaman mewah yang tak lain adalah milik keluarganya sendiri, keluarga Abinaya. Cakra tak berniat menjawab dan ke luar dari mobil, melangkah menuju pintu penumpang untuk membuka pintu sisi mobil yang lain. Ana membuang muka, ia menolak untuk turun. “Bhu,” panggil Cakra dingin. Ana tak bisa menahan diri untuk menggigil, ia tahu jika Cakra pasti sangat marah saat ini.

Cakra mendengkus dan tanpa banyak kata melepas paksa sabuk pengaman yang Ana kenakan, lalu memanggul pacar keras kepalanya itu. Kontan saja Ana menjerit kaget. Disusul pening yang menyerang kepalanya. Tentu saja, karena kini posisi Ana bisa dibilang tengah terbalik. Cakra melangkah dengan tenang, dengan Ana yang masih dalam panggulannya.

“Astaga Cakra! apa yang kau lakukan pada Ana?” tanya seorang pria yang masih tampan diusianya yang telah menginjak kepala empat.

“Ayah, tolong Ana!” jerit Ana saat Cakra masih tak menghiraukan permintaannya untuk segera diturunkan.

“Bhu membuat ulah lagi, Yah. Kami akan makan malam di kamar saja.” Cakra tak menghiraukan teriakan Ana, lalu kembali melangkah.

Ana menjerit frustrasi saat Bima—ayah dari Cakra—malah melambaikan tangan dan berkata, “Ya sudah, nikmati waktu kalian! Ayah berjanji tidak akan ada yang mengganggu kalian. Kalau begitu, Ayah akan menelepon Opa dan Oma Ana, mengabari mereka jika Ana akan pulang terlambat malam ini.”

Posisi Ana yang masih dipanggul, tentu saja membuat Ana mual. Ana tahu jika kamar Cakra memang berada jauh dari bangunan utama, tepatnya di paviliun belakang. Tempat yang memang khusus untuk Cakra. Karena itu, tidak sembarang orang yang boleh masuk ke area tersebut. Ana sendiri bisa dibilang belum pernah masuk ke kamar Cakra, di paviliun belakang ini. Setibanya di dalam kamar, Ana tidak bisa berdiri benar saat Cakra menurunkannya. Kepala Ana masih terasa berputar saat ini. Butuh beberapa detik, sebelum keadaan Ana kembali normal.

“Apa sulit sekali?” tanya Cakra sembari menatap Ana.

“Ya?” Ana kurang paham dengan pertanyaan Cakra.

“Apa sulit sekali untuk menurut padaku?” Cakra sudah tak memanggil Ana dengan nama panggilannya lagi, itu berarti Cakra memang tengah benar-benar marah. Ana juga merasa marah. Kenapa disetiap kesempatan, dirinya yang selalu menjadi pihak yang bersalah? Ana lelah.

“Sulit, karena kamu tidak pernah mendengar apa yang aku minta. Sadarlah! Kita memang tidak cocok. Waktu lima tahun, membuat kita menemukan lebih banyak hal yang bertolak belakang di antara kita. Maka dari itu, lebih baik kita pu—”

Ana membulatkan matanya saat Cakra meraih wajahnya dan mencium bibirnya dengan kasar. Demi Malaikat Maut pujaan hatinya, ini ciuman pertama Ana! Selama lima tahun berpacaran, Cakra memang tidak pernah melakukan hal lebih dari menggenggam tangan atau mencium keningnya, sesuai janji yang Cakra ucapkan. Air mata Ana menetes membasahi pipi penuhnya yang memucat. Cakra telah mengingkari janjinya sendiri. Ana berontak dan memukul dada Cakra dengan keras. Pukulan itu sama sekali tak berpengaruh pada Cakra, malahan kini pria itu membawa Ana untuk berbaring di atas ranjangnya yang dibungkus seprai abu-abu gelap. Cakra melepaskan pagutannya pada bibir Ana. Begitu dilepas, Ana segera berusaha untuk meraup oksigen yang sebelumnya hampir meninggalkan paru-parunya. Cakra menindih tubuh mungil Ana, ia mengusap pipi basah Ana dengan lembut.

“Di sini, aku yang memegang kuasa. Karena itu, aku yang akan memutuskan kapan kita akan berpisah. Untuk saat ini, aku masih belum ingin berpisah denganmu. Karena …,” Cakra menjeda kalimatnya, lalu menunduk semakin mendekat pada wajah manis Ana sebelum melanjutkan kalimatnya, “aku belum merasa bosan padamu.” Sedetik kemudian, tangis Ana kembali pecah. Tangisannya lebih  menyedihkan daripada tangisannya sebelumnya. Sungguh, Ana merasa terluka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status