Share

Anak Kucing

Setelah pertemuan dengan kedua orang tua Cakra, Ana tidak bisa kembali meminta putus pada Cakra. Ayolah, meskipun dirinya memang ingin putus dengan Cakra, Ana tidak mungkin bertindak gila dengan memaksa putus, sementara ada satu nyawa yang dipertaruhkan dalam hal itu. Ana belum siap menjadi tersangka pembunuhan, dan sampai kapan pun dirinya tidak akan pernah siap. Jadi, pada akhirnya Ana masih menyandang status menjadi kekasih Cakra. Tentu saja hal ini membuat Ana merasa bingung. Apalagi akhir-akhir ini Cakra bersikap sangat manis padanya, sikap otoriternya telah berkurang drastis. Sikapnya seakan-akan tengah memohon maaf tanpa mau mengutarakannya dengan lebih jelas.

Ana tak mau memikirkan Cakra dan hubungan aneh di antara mereka ini. Sayangnya setiap waktu pikiran Ana hanya dipenuhi masalah Cakra dan hubungan mereka. Bahkan ingatan ketika Cakra dan Ely yang berciuman, masih sering mendatangi dirinya. Ana marah bahkan membenci Ely yang tampak menikmati ciuman tersebut, sedangkan pada Cakra? Ana sendiri tidak mengerti, rasa kecewa serta marahnya jelas masih bercokol dalam hatinya, tetapi Ana tidak bisa mengeluarkannya. Ia takut, jika Cakra akan kembali melibatkan Bima dalam masalah mereka. Tentu saja Ana tidak mau lagi menjadi penyebab kambuhnya penyakit jantung Bima.

Sekarang, keputusan yang paling bijak adalah kembali menjalani hubungan ini seperti air mengalir. Biarkan takdir yang menuntun Ana dan Cakra menemukan akhir dari kisah mereka  ini. Ana mendesah dan tak berniat untuk merubah posisinya yang tengah berbaring malas di atas ranjangnya. Hanya saja, ringtone pertanda pesan masuk memaksa dirinya untuk sedikit bergerak meraih ponselnya.

Akra

06.05

Akra tunggu di kampus lima belas menit lagi.

Ana melotot. Astaga, baru saja dirinya memuji Cakra karena sikapnya yang telah membaik. Kenapa sikapnya mulai kembali lagi seperti semula. Ana tanpa pikir panjang segera melompat untuk mengambil kaos oversize lengan pendek berwarna hitam, serta rok sebetis berwarna baby blue. Ana memilih pakaian santai, karena hari ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di kampus. Ana sendiri yakin, jika Cakra dan teman-temannya pasti mengadakan latihan futsal. Ana juga heran sendiri, kenapa Cakra dan teman-temannya masih aktif dalam kegiatan klub? Padahal mereka semua sudah menginjak semester terakhir, dan seharusnya fokus dengan skripsi mereka. Ana tidak tahu, karena pencapaian apik pada event terakhir, kegiatan klub futsal diliburkan untuk beberapa saat. Ana yang takut terlambat memilih naik ojol, dan hal itu membuat dirinya kesulitan pada akhirnya. Ingat bukan bagaimana kondisi rambut Ana? Ya, begitu dilepas dari helm, rambut Ana segera mengembang bak singa jantan.

Sayangnya Ana tak memiliki waktu untuk memedulikan hal itu. Setelah membayar jasa ojek, Ana segera berlari seperti seekor kancil yang melarikan diri dari kejaran buaya. Napas Ana memburu saat dirinya memasuki area lorong fakultas ekonomi, lebih tepatnya gedung jurusan manajemen bisnis, jurusan yang diambil Cakra. Sepertinya belum ada yang tahu jurusan kuliah Ana, bukan? Meskipun Ana ceroboh dan terkesan bertindak tanpa berpikir, Ana adalah calon arsitek. Sungguh tidak terduga.

Cakra yang semula bersandar di salah satu pilar beranjak dan berdiri di tengah lorong. Ana yang melihat kehadiran Cakra memelankan langkahnya, dan berakhir menghentikan larinya. Ana sibuk mengatur napas, tak menyadari Cakra yang tengah mengamatinya dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dimulai rambut hitam panjang Ana yang bergelombang, telah mengembang berantakan. Lalu wajah manisnya yang memerah serta berkeringat, diperparah dengan pakaian Ana yang tampak berantakan karena aksinya naik ojek dan berlari terburu-buru. Jika Sintya melihat penampilan Ana saat ini, Cakra yakin ibunya itu membutuhkan sehari semalam untuk mengabsen satu persatu kesalahan Ana dan menjelaskan apa saja yang harus Ana lakukan sebagai seorang gadis.

Cakra menyeringai dan menarik Ana ke dalam pelukannya. Lalu beberapa saat kemudian Cakra tertawa lepas. Hal itu membuat bulu kuduk Ana meremang. Ana kemudian berusaha merenggangkan pelukan Cakra, lalu mendongak dan menatap wajah tampan Cakra yang bersinar kala dirinya  tertawa. Dengan wajah serius, Ana bertanya, “Saha maneh?”*

*Siapa kamu?

Cakra mengerutkan keningnya. “Apa maksud Bhu?”

“Akra pernah nonton acara dunia lain, ‘kan?” tanya Ana balik, dan diangguki Cakra.

“Nah kalo gitu, Akra pasti tau kalau ada yang kesurupan dukunnya suka nanya, saha maneh? Begitu,” jelas Ana lancar, ia tak menyadari jika wajah Cakra mulai menggelap.

“Jadi maksud Bhu, Akra kerasukan?”

Mendengar suara Cakra yang dingin, Ana segera menggeleng. “Bukan begitu. B-Bhu cuma sedikit takut, tapi Akra benar-benar tidak sedang kesurupan, ‘kan?” Cakra menyipitkan matanya, dan menatap Ana dengan lekat. Hal itu membuat Ana bergerak gelisah dalam pelukan Cakra.

“Dasar. Jangan berbicara macam-macam!” Cakra menggenggam tangan Ana dengan lembut dan menariknya menyusuri lorong. Belum sempat Ana bertanya alasan mengapa Cakra memerintahkan Ana untuk ke kampus ketika waktu libur seperti ini, Ana sudah melihat jawabannya. Ia mengerucutkan bibirnya saat melihat beberapa mobil terparkir di parkiran fakultas ekonomi. Jangan lupakan anggota klub futsal yang riuh karena tawa canda mereka.

“Ayo semuanya, kita berangkat. Naik ke mobil sesuai pembagian sebelumnya, ya!” Adi berteriak dan memimpin teman-temannya. Alfian, Sani serta Hidayat juga terlihat. Mereka bertingkah bak kenek angkot yang berlomba mengisi muatan. Ana memutar bola matanya, kekonyolan mereka semua tidak ada duanya.

“Memangnya kalian mau pergi ke mana?” tanya Ana sembari menarik-narik tangan Cakra pelan.

Cakra menunduk dan menjawab, “Bukan kami, tapi kita. Kita akan liburan klub ke vilaku. Mereka ingin merasakan liburan di kebun teh.”

Ana mengerucutkan bibirnya. “Di sana dingin, Bhu tidak mau ikut. Lagi pula Bhu ti—”

“Hai Kak Cakra, hai juga Ana.”

Ana segera mengatupkan bibirnya saat mendengar sapaan suara manis yang membuat Ana kesal. Mood Ana hancur seketika. Wajah Ana yang manis, segera dihiasi ekspresi masam. Cakra yang melihat reaksi Ana, hanya bisa menggeleng tipis dan ia menjawab singkat sapaan Ely. Benar, yang memotong ucapan Ana adalah Ely. Wanita yang sempat membuat Ana merasa cemburu besar—walaupun sampai saat ini, Ana masih belum mengaku jika dirinya telah merasa cemburu—dan memaksa untuk putus dari Cakra. Ely yang mengenakan sweter merah muda dan celana super pendek yang hampir tertutup sepenuhnya oleh sweternya, hanya bisa tersenyum canggung. Ia kemudian berkata, “Ana maafkan aku atas kejadian tempo hari. Kejadian itu benar-benar tidak disengaja.”

Ana mengerutkan keningnya saat mendengar permohonan maaf Ely yang terdengar begitu menjengkelkan baginya. Ana semakin mengerucutkan bibirnya. Cakra yang melihat tingkah Ana hanya bisa mendengkus dan mengusap rambut mengembang Ana dengan lembut. “Bhu, jangan seperti ini. Apa yang dikatakan Ely memang benar. Kejadian itu hanya sebuah kesalahan. Ayo, bersikap baiklah!”

Ana mengerang dalam hati, tapi ia tak melawan perkataan Cakra. Rupanya kejadian jantung Bima yang kumat, benar-benar berkesan pada Ana. “Iya, aku maafkan,” ucap Ana setengah hati lalu memeluk tangan Cakra dengan erat.

“Akra, Bhu ikut liburan.” Ana yang awalnya tidak mau liburan bersama rombongan Cakra, berubah pikiran saat menyadari Ely yang juga akan ikut dalam acara ini.

Cakra mengangguk dan tersenyum tipis. “Sebelum pergi, mari rapikan rambut Bhu dulu.” Ana hanya menurut saat ditarik oleh Cakra menuju mobilnya, sedangkan Ely kini merasa dongkol sendiri dan bergumam kesal melihat tingkah pasangan itu.

***

Ana mengusap-usap matanya sesaat setelah bangun dari tidur siangnya. Sepertinya tadi ia tertidur karena bosan di sepanjang perjalanan menuju vila milik Cakra ini. Ana bangkit dari posisi berbaringnya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tak lama, Cakra memasuki kamar dan melihat Ana yang telah bangun. “Sudah bangun? Ayo mandi dulu, yang lain sudah menunggu.”

Ana mengangguk dan masuk ke kamar mandi, sesuai dengan perintah Cakra. Ana tak membutuhkan banyak waktu untuk membersihkan diri. Di sini terlalu dingin untuk bermain air. Sekitar lima belas menit kemudian Ana ke luar dari kamar mandi dan menemukan Cakra tengah duduk di tepi ranjang. Ana menghela napas lega dalam hati, untung saja Ana memiliki kebiasaan untuk membawa baju ganti ke kamar mandi. Jika tidak, ah sudahlah Ana tidak mau membayangkan kejadian memalukan itu.

“Sudah?” tanya Cakra.

“Sudah, tapi rambut Bhu belum disisir.”

Cakra bangkit dan mengambil alih sisir yang dipegang Ana. “Sini, biar Akra yang menyisir rambut Bhu.” Ana membiarkan Cakra menyisir rambutnya. Tak memakan waktu lama, rambut lebat Ana diikat rendah menjadi dua bagian oleh Cakra. Jangan heran dengan keterampilan Cakra ini. Sudah lima tahun ia berstatus menjadi pacar Ana, dan sudah tak terhitung berapa ratus kali dirinya merapikan rambut Ana.

“Ayo!” Cakra lalu menggandeng tangan Ana, dan melangkah menuju taman belakang vila miliknya. Di sana, anggota klub futsal telah mulai menyiapkan peralatan serta bahan-bahan untuk barbeque. Ana bergabung dengan para wanita untuk menyiapkan bahan-bahan. Ana sibuk menyiapkan minuman sembari menjaga jarak dari Ely yang bersikap sok akrab dengannya. Cakra sendiri sibuk menyiapkan alat barbeque dengan teman-teman yang lain. Pesta barbeque berjalan lancar. Semua orang menikmati hidangan yang dibuat bersama. Ana sendiri membawa satu piring penuh potongan daging, sedangkan beberapa potongan sayur terlihat mengintip di sana. Cakra menarik Ana agar duduk di sampingnya dan menggeleng melihat isi piring Ana.

“Bhu bawa buat Akra juga kok,” elak Ana saat melihat Cakra yang menatapnya dengan penuh peringatan.

Jieilahh, sepiring berdua gitu?” celetuk Alfian.

“Kek judul lagu!” timpal Sani.

“Kalian jangan ngeledek Ana mulu. Ini tanda kalo Ana itu bisa diajak susah, makan aja rela sepiring berdua. Ciri-ciri istri yang bisa diajak susah!” Hidayat berkomentar.

Adi dan anggota klub lainnya menggeleng saat mendengar celotehan tiga pria berbibir lemes itu, sedangkan Ana tidak mendengarkan ucapan ketiganya dan memilih makan dengan fokus. Cakra mencolek iseng pipi Ana yang menggembung karena mengunyah makanan. “Katanya Bhu juga mengambil makanan untuk Akra, lalu kenapa Bhu malah makan sendiri?”

Ana mendongak dan mengangkat garpu yang menusuk sepotong sayur. “Ini, Akra harus makan sayur.”

Cakra memakannya dengan senang hati lalu berkomentar, “Jangan terlalu banyak makan daging, ingat apa kata dokter!”

Ana yang baru saja akan menggigit daging, segera menghentikan gerakan tangannya. Ia mengerucutkan bibirnya sembari menatap penuh cinta pada potongan daging. Terkutuklah penyakit darah tingginya! Cakra yang melihat tingkah Ana hanya bisa menggeleng, sebelum menarik tangan Ana agar dirinya leluasa menggigit daging yang sebelumnya akan Ana makan. Dengan serentak yang lain mengalihkan pandangan mereka. Memang sudah biasa jika pasangan Cakra dan Ana mengumbar sikap manis diberbagai kesempatan, hanya saja hal itu tentu menjadi sangat menjengkelkan bagi mereka yang jomlo akut. Salah satu jomlo tersebut adalah Alfian si bibir merecon. Karena itu, ia memimpin untuk mendemo kelakuan pasangan yang kelewat manis itu.

“Aku mah apa atuh~

Cuma jomlo ganteng pisan~

Aku mah apa atuh~

Cuma belum lakuuu~”

Sani dan Hidayat dengan kompak memukul-mukul gelas dan peralatan makan lainnya untuk membentuk melodi. Mereka semua bersenang-senang. Tertawa riang, melepas semua penat akan tugas kuliah atau masalah lainnya. Acara tersebut berakhir sekitar jam sebelas malam. Para pria bertugas membersihkan peralatan, sedangkan para wanita kembali ke kamar mereka masing-masing. Ana sendiri segera memasuki kamar yang tadi ia tempati. Ia segera mencuci wajah dan sikat gigi, sebelum mengganti bajunya dengan baju tidur yang memang berada di lemari pakaian. Ana dulu pernah beberapa kali ikut lilburan keluarga Cakra di sini, dan menyisakan beberapa pakaian. Jadi, meskipun Ana ikut tanpa persiapan, ia tak merasa bingung.

Ana ke luar dari kamar mandi dan merasa terkejut saat melihat Ely tengah sibuk membongkar kopernya. “Kenapa kamu di sini?” tanya Ana agak ketus.

Ely mendongak dan berkata, “Kita ‘kan sekamar.”

Tentu saja Ana tidak mau sekamar dengan Ely. “Ada banyak kamar di vila ini. Lebih baik kamu cari kamar lain saja, aku tidak terbiasa berbagi ranjang dengan orang lain.”

Ely menggeleng. “Kak Cakra mengatakan jika tidak ada kamar yang tersisa. Jadi, ia memintaku berbagi kamar denganmu saja. Ah, apa kamu belum memaafkanku sepenuhnya?”

Ana menyipitkan matanya saat mendengar penuturan Ely. Pada akhirnya Ana mengalah. Ia rela untuk berbagi kamar dan ranjang dengan Ely. Sayangnya hingga tengah malam, Ana tidak bisa tidur. Ia memang benarr-benar tak bisa tidur seranjang dengan orang asing, terlebih orang itu pernah menyinggungnya. Ana bangkit dari posisinya dan melangkah menuju beranda belakang, ia bisa melihat Cakra dan keempat temannya masih belum tidur dan memilih menghabiskan waktu dengan berbincang ringan. Melihat Ana muncul, Alfian dan Sani yang tengah merokok segera mematikan rokok mereka. Ada peraturan tak tertulis agar tidak merokok di dekat Ana. Jika melanggar, tinggal menunggu waktu untuk mendapatkan pelajaran dari Cakra.

“Akra,” panggil Ana serak. Ia sudah sangat mengantuk saat ini.

Cakra yang duduk di kursi single mengulurkan tangannya pada Ana. Cakra tahu alasan mengapa Ana muncul seperti ini, pastinya karena keberadaan Ely di kamarnya. Ana melangkah pelan dan menerima uluran tangan Cakra. Dengan mudah Cakra membuat Ana duduk di pangkuannya. Cakra tersenyum tipis saat melihat Ana yang menyamankan diri di atas dadanya. “Tidurlah,” bisik Cakra lalu mencium puncak kepala Ana.

Cakra kemudian meminta tolong Adi untuk mengambilkan selimut di dekatnya. Cakra menyelimuti tubuh Ana, memastikan kekasihnya itu tak merasakan kedinginan. Ana memang sangat sensitif dengan suhu. Ana terlihat meringkuk nyaman dan mendengkur pelan. Cakra tersenyum tipis, senyum mahal dari Cakradara Abinaya yang tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Ia mengangkat pandangannya dan menggeram saat menyadari keempat sahabatnya tengah menatap Ana. Keempatnya segera menarik pandangan, tahu jika Cakra tengah memperingatkan mereka.

“Iya-iya, kita Cuma heran aja. Kok si Ana kayak anak kucing, ya?” tanya Alfian.

“Betul! Pas naik ke pangkuan, langsung ngeringkuk terus tidur,” tambah Sani.

“Pake ngorok juga, astaga. Kok anak perawan ngoroknya dahsyat begitu,” ucap Hidayat.

“Ana memang terlihat seperti seekor kucing,” tambah Adi.

Cakra menunduk dan menatap Ana yang telah pulas di pangkuannya. Ia lalu berkata, “Ya, mungkin benar. Anak kucing nakal, yang berbulu lebat.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Devi April
ada apa dengan ely dan cakra..? apa maksud dari ciuman mereka itu? aku masih belum ngerti nih.. 😭😭
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status