Share

Chapter 2

Jhonny berpamitan terlebih dahulu, kemudian meninggalkan para gadis itu dan menghampiri teman-teman gengnya yang baru saja masuk ke kantin.

Suara indah Ed Sheeran mengalun dari ponsel Valentina. Valentina merogoh kantongnya dan menerima panggilan tersebut setelah sebelumnya melihat identitas si penelepon.

"Hallo Bang, Iya Valen masih di sekolah."

"Kamu sama Al? Bisa kasih ponselnya sebentar ke dia ?"

"Iya ... Bang."

Vallen mengulurkan ponsel ke arah Almira yang sudah menatapnya sedari tadi, tapi dengan muka cemas seraya menggigiti bibir bawahnya. Almira cemas jika Davka akan marah padanya, walau selama mereka berpacaran sampai sekarang, Davka tidak pernah sekalipun marah kepadanya.

"Nih ... ayangmu bicara," ujar Valentina seraya menggoda Almira dengan mengedipkan sebelah matanya.

"Hallo Bang, Al ... mira di sini," sapa Almira gugup.

Terdengar hembusan nafas berat dari ujung sana, "Kenapa gugup? Ponsel kamu dimana lagi sekarang?" Suara Bariton Davka terdengar.

"Al jual Bang ... emm, bulan kemarin Bapak sama Ibu nggak kirim uang untuk bayar kos, sedangkan bulan kemarin adalah tenggat waktu untuk pelunasan." Almira beralasan.

"Ya sudah kalau begitu, kamu kerja hari ini?" tanya Davka lembut.

"Nggak Bang, Al libur."

"Pulang reuni langsung ke rumah Abang ya?" Davka sungguh rindu akan kekasihnya itu.

"Tap-,"

Ucapan Almira terpotong oleh kalimat tak terbantahkan dari Davka, "Jangan membantah, kamu harus datang. Sudah dulu ya, pesawat Abang sudah akan take off." Davka segera mematikan ponselnya dan berjalan meninggalkan ruang tunggu menuju terminal gate.

Hati Almira gelisah setelah mendengar suara sang kekasih, alih-alih merasa senang jika akhirnya mereka bisa sering bertemu. Walau ia sudah menyiapkan hati untuk berterus terang kepada Davka tentang keadaan orangtuanya. Ia juga menjadi merasa bersalah karena tidak memberi tahu teman-temannya. Bu Suci tadi saat bertemu dengannya di ruang aula memang menawarkan Almira untuk tinggal di rumahnya saja. Tetapi karena perasaan sungkan, Almira beralasan masih memikirkannya padahal jika ia menerima tawaran dari bu Suci setidaknya ia bisa menghemat pengeluaran untuk sewa tempat tinggal.

"Oh iya ... gue mau balik nih ke Bandung," terang Valentina. Almira dan Sinta serentak memandangnya bersamaan.

"Gue juga balik Jakarta sama Jhonny besok lusa. Loe balik kampung Mi? Loe nggak ngelamar jadi guru, sayang banget ijazah sarjanamu," ujar Sinta.

"Aku belum bisa bagi waktu dengan pekerjaanku yang sekarang." Almira beralasan, ia masih senang mengajari para anak TK les privat

dan juga membantu di restoran.

"Percuma loe punya pacar tajir kayak Davka, kerja masih ikut orang lain aja. Kenapa nggak minta kerjaan di Kantor papinya Davka aja sih?" sambung Sinta lagi. Kadang sinta gemas pada sifat Almira yang terlalu mandiri dan sungkan kepada orang lain.

"Aku tahu kamu nggak mau ngerepotin Bang Davka, tapi minta kerja disana juga nggak apa dia pasti setuju. Toh mulai Senin depan dia yang gantiin Om jadi pimpinan pusat lho." Valentina menimpali perkataan Sinta.

Almira tampak berfikir, ia tidak ingin membebani pikiran teman-temannya itu kemudian ia berkata, "Iya coba nanti aku bicara sama Abang."

***

Setelah berpamitan dengan teman-teman yang lain, Almira segera berjalan ke arah tempat parkir, ia bersama dengan Valentina yang akan menjemput Eric di rumah Davka.

Jhonny berlari menghampiri Almira, "Mimi! Tunggu, gue udah tahu kalau loe hidup sendiri sekarang. Ingat kalau ada apa-apa loe bisa ngandelin gue,ok? Nih pakai ponsel gue," ujar Jhonny setelah berdiri berhadapan dengan Almira.

"Jangan tolak, please," timpal Jhonny saat Almira tampak akan menolak pemberiannya, Jhonny mengulurkan ponselnya seraya tersenyum.

Almira tercengang tapi sejurus kemudian gadis itu pun tersenyum menyambut ponsel pemberian Jhonny. "Makasih ya Tong. Btw kamu tahu dari siapa?" tanyanya penasaran.

"Bu Suci wali kelas yang bilang, dia khawatir sama elo. Beliau berpesan kalau ada apa-apa loe hubungi dia juga. Tuh udah ada nomor telpon Bu Suci, ok?" terang Jhonny sembari menepuk bahu Almira.

Almira hanya tersenyum dan mengangguk. Dia bersyukur masih banyak orang baik di sekitarnya. Jhonny nggak tahu kalau Almira juga bekerja di tempat ibu Suci.

Ketika Almira baru menginjakkan kaki di teras rumah Davka bersama Valentina. Mobil Hammer ber plat AB 4 warna hitam masuk ke halaman, di susul oleh BMW m series dibelakangnya. Wajah Almira berseri-seri, pujaan hatinya sudah kembali. Ia berharap hidupnya semakin baik, keluarga Davka adalah keluarga terpandang yang baik hati. Mereka tidak melarang anak semata wayangnya menjalin hubungan dengan gadis yang berasal dari keluarga sederhana seperti dirinya.

"Sudah lama menunggu Abang?" tanya Davka begitu berdiri berhadapan dengan Almira seraya mengusap puncak kepala Almira dengan sayang.

"Belum Bang, Al barusan sampai." Almira tersenyum, kemudian mencium punggung tangan Davka, orangtua Davka dan Eric.

"Kak Eric apa kabar?" tanya Almira.

"Kabar ba-,"

"Udah nggak usah basa-basi sama Eric, baperan nanti dia Al," celetuk Davka dengan raut wajah cemberut memotong jawaban Almira.

"Idih gitu aja cemburu Bang. Sama sepupu sendiri juga," timpal Valentina. Valentina tak habis pikir dengan sifat Davka yang posesif, Eric itu sepupu Davka dan juga saudara kembarnya.

"Eric kan tetep laki juga, Dek." sahut Davka tidak mau kalah.

Ucapan Davka disambut kekehan dan gelengan kepala Eric dan kedua orangtua Davka. Davka merengkuh bahu Almira bersama mereka semua masuk ke dalam rumah.

***

Dua Minggu berlalu, saat Almira berada di dapur rumah makan 'Echo'

milik Bu Suci. Bian sang manager memanggilnya ke depan.

"Tolong bantu di depan ya, Mbak Yan kepayahan."

"Baik Pak," sahut Almira.

Malam Minggu susana rumah makan memang selalu ramai. Terutama banyak anak mahasiswa dan SMA.

Saat ia sibuk melayani tamu di bagian gazebo. Masuklah Davka beserta Lidya dan Bayu. Raut wajah Davka tampak tegang, tersirat rasa tidak nyaman dengan kehadiran kedua temannya. Mereka mengambil tempat di gazebo nomor 14 di tempat paling pojok berdekatan dengan pintu ke arah dapur.

Setelah mereka memesan makanan mereka. Davka menatap kedua orang yang terlihat tegang, duduk di depannya itu.

"Jadi keperluan apa yang begitu mendesak harus dibicarakan?" tukas Davka memulai percakapan.

Lidya merogoh tasnya kemudian mengulurkan amplop coklat berbentuk persegi panjang dan menaruhnya di meja persis di depannya. Davka membukanya, amplop tersebut berisi lima macam merk test pack. Wajahnya terkejut seketika dan kemudian ia menatap tajam ke arah Lidya yang mulai tersenyum gugup.

"Apa maksud semua ini? Kau mau menjebakku?!" bentak Davka dengan wajah garang, sebisa mungkin Davka menahan diri agar amarahnya tidak sampai keluar.

"Aku hanya minta kamu bertanggung jawab, aku hamil anakmu Davka dan aku punya bukti. Aku sudah memberitahukan orangtuamu," terang Lidya.

"Kamu ...."

Davka melihat layar ponselnya, terpampang nama sang ayah Pramana Putra Alsaki. Davka menarik nafas panjang sebelum menerima panggilan dari sang ayah.

"Halo Papi?"

"Segera pulang ajak Lidya, Papi tunggu!" â€‹Sambungan telepon langsung terputus dari seberang.

"Ayo pulang, Papi sudah menunggu," ajak Davka.

"Tapi, makannya belum datang?" tanya Bayu menatap dengan wajah bingung, bergantian ke arah Lidya dan juga Davka.

"Aku sudah tidak berselera," tukas Davka ketus sembari mengeluarkan enam lembar uang kertas berwarna merah dan menaruhnya di atas meja.

Davka berdiri kemudian di susul oleh Lidya dan Bayu. Saat ia membalikkan badannya, matanya bertemu dengan Almira yang berdiri terpaku tepat di depannya dengan membawa nampan berisi makanan pesanannya. Davka sungguh tak menyangka dengan kehadiran Almira di sana. Davka dengan wajahnya yang tampak pucat pasi berusaha menata detak jantungnya yang berpacu kencang dengan menelan salivanya kasar.

Wajah Almira sendiri juga tampak pias, airmatanya sudah menetes membasahi pipinya, ia mendengar semuanya tanpa terkecuali. Hatinya sakit seperti tersayat sembilu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status