Share

Chapter 2

Bunga menggelengkan kepalanya polos sembari menatap kakak sulungnya itu. Mereka masih penasaran dengan pernyataan yang keluar dari bibir ranum Bunga. Lagi-lagi mereka dikejutkan oleh dering ponsel Bunga yang dibawakan oleh Juminah kehadapannya.

“Maaf mengganggu, hp-nya bunyi terus,” Juminah mengulurkan ponsel ke arah Bunga.

Dalam tradisi keluarga Atmaja memang melarang adanya ponsel selama jam makan. Bunga tahu dia harus menerima panggilan tersebut karena berasal dari ponsel khusus untuknya bekerja.

“Maaf semuanya Bunga harus menerima panggilan ini.” Bunga kemudian bangkit berdiri dan sedikit menjauh dari meja makan.

Semua orang masih menunggu kedatangannya kembali ke meja makan sampai sepuluh menit berlalu dan Bunga tak kunjung datang.

“Roby cari adikmu, makan malam belum selesai,” suruh Robert.

Saat Roby hendak bangkit berdiri, terdengar suara Bunga memerintah seseorang melalui panggilan telepon genggamnya.

“Cepat siapkan helikopter, saya segera ke sana dalam tiga puluh menit.”

Bunga kemudian memasukkan ponselnya kedalam saku jaket. Pakaiannya sudah berganti dengan skiny jeans dan kaos polos dengan jaket kulit yang mempertontonkan lekuk tubuhnya. Dengan menyandang ransel di punggung, Bunga berdiri di ambang pintu ruang makan.

“Maaf semuanya Bunga harus pergi, ada sedikit masalah di kilang minyak milik Bunga.” Kemudian ia berlalu meninggalkan semua orang.

“Tunggu Nak, kapan kamu akan kembali?!” seru Lucy yang sudah berhambur menyusul Bunga yang berjalan hampir mencapai pintu depan. Saat membalikkan badan dilihatnya semua orang juga sudah bangkit berdiri menyusul sang bunda.

“Bunga tidak tahu, Ma. Pekerjaan Bunga saat ini menjadi priotitas.”

Lucy mengulurkan kedua tangannya menyentuh kedua bahu putrinya.

“Bagaimana juga rencana papamu yang ingin mencarikanmu jodoh?” tanya Lucy lagi. Seolah-olah tak ada hari esok untuk mempertanyakan hal ini lagi.

Dari ekor mata Bunga bisa melihat jika Arya ikut mengerutkan dahi seperti menunggu jawabannya. Tapi dia juga melihat Sekar sedang bergelayut manja di lengan kekasihnya.

Bunga mendengkus. “Bunga tidak tahu kapan kembali. Bunga sedang mengurus penempatan kantor agar Bunga bisa mengurus semuanya dalam satu wilayah,” jawab Bunga dengan tidak sabar. Ia sudah harus pergi saat ini juga dan juga karena keberadaan Arya yang mengintimidasi dirinya hanya dengan sorot manik sehitam jelaga itu. Pokoknya Bunga merasa tidak baik-baik saja.

“Soal perjodohan kita bicarakan nanti ya, Papa?” hiburnya seraya tersenyum ke arah Robert.

Robert hanya menganggukkan kepalanya. Roby maju ke depan dirinya sudah menahan diri tidak berkomentar dari tadi. Ia merasa ada sesuatu yang sedang dihindari oleh sang adik. Roby mengusap surai hitam Bunga dengan sayang. “Kau bisa mengandalkan Kakak, Kakak rindu kau recoki,” ujar Roby terkekeh memendam kerinduan hatinya. Namun Bunga tahu kakaknya bersungguh-sungguh tampak binar itu di manik mata sang kakak terhadapnya.

Bunga memeluk tubuh kekar sang kakak erat-erat. “Tunggu saja saatnya nanti pasti Bunga akan bikin Kakak pusing tujuh keliling.” Setelah berkata demikian Bunga kemudian melepaskan pelukan seraya memberikan kecupan sekilas di rahang sang kakak dan berlalu.

Belum habis keterkejutan mereka, deru suara motor trail milik Bunga terdengar memecah kesunyian malam.

“Tante Bunga keren,” celetuk keponakannya.

Robert sang ayah menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. “Papa benar-benar tak menyangka, anak itu benar-benar memiliki kilang minyak,” ujar Robert seraya mendudukan dirinya di kursi ruang tamu.

“Dari mana dia belajar naik motor seperti itu?” ucap Alma istri Jovan, keheranan.

“Papa kasih ijin Bunga naik motor?” tanya Jovan. Maklum saja selama dua bulan adiknya berada di rumah baru kali ini mereka semuanya bisa berkumpul bersama.

Robert mengedikkan bahunya dan merentangkan kedua tangannya. "Papa mana tahu, itu motor udah ada aja di garasi. Mungkin kapan-kapan Papa akan minta Bunga untuk off road bersama.”

Puk ...

“Papa jangan mulai deh,” protes Lucy, seraya menepuk tangan suaminya.

“Itu namanya quality time dengan anak, Ma,” kilahnya.

“Ish … itu sih maunya Papa aja, gitu juga Roby mau,” ucap Roby.

Semua orang di sana membuat raut wajah malas mendengar perkataan Robert dan Roby. Kecuali Arya yang sudah tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

Arya tak menyangka gadis yang ia sangka begitu polos dan  lebih suka menghabiskan waktu  di rumah dari pada bekerja ternyata seorang yang jenius dan pekerja keras. Pantas saja Bunga dengan berani menyatakan cinta kepadanya sebulan yang lalu itu. Kejadian yang hanya dirinya pendam sendiri, Sekar jelas tidak tahu menahu tentang hal itu.

“Siapa ya yang bantu Bunga?” celetuk Nita istri Roby dia juga sangat sayang dengan adik iparnya itu. Terlebih sejak dahulu ia sudah membantu merawat si kembar waktu  masih berpacaran dengan Roby. Nita khawatir dengan keadaan Bunga terlebih malam sudah semakin larut.

“Entahlah Papa akan cari tahu besok, astaga perkebunan dan kilang minyak. Gadis kecilku sudah tidak kecil lagi ternyata.”

“Pa, bagaimana jika Arya membantu mencari tahu, detektif Arya banyak.” Arya mengusulkan pendapatnya kepada Robert.

Entah mengapa hati kecil Arya terusik, ia tidak suka dengan apa yang dikerjakan Bunga.

“Nanti saja kita rundingkan lagi. Untuk sementara ini biarkan Bunga berbuat sesuka hatinya,” ucap Jovan. Ia merasa tidak suka jika gerak-gerik adiknya dibatasi atau dipantau seperti itu. terlebih sampai menggunakan jasa detektif memangnya Bunga seorang buronan?

***

Arya menatap Sekar yang sekarang sedang duduk di kursi penumpang. Mereka terjebak kemacetan saat perjalanan pulang ke rumah setelah bekerja seharian. Arya penasaran sudah hampir dua minggu, Bunga tak nampak batang hidungnya di rumah.

“Sayang, kamu nggak khawatir Bunga nggak balik-balik ke rumah?” tanya Arya dengan nada suara sebiasa mungkin agar tidak menimbulan kecurigaan di benak Sekar.

Sekar yang asik memainkan ponselnya hanya menjawab sekenanya saja, “Nggak juga sih, Mama tahu kok dia di mana. Kemarin Mama sudah datang ke kantornya membawakan makanan siang.”

“Saudaraku memang hebat bukan, sudah bisa memiliki perusahaan sendiri,” tambah Sekar dengan bangga, ia tidak tahu saja jika Arya merasa tidak senang dengan apa yang diungkapkan Sekar. Tetapi Sekar tidak melihat hal tersebut karena masih asik dengan ponselnya.

Arya mendengkus, ia melirik pada pacarnya yang masih sibuk dengan ponsel dan tidak menatap ke arahnya itu. Terus terang saja sejak makan malam hari itu tidur Arya tak nyenyak, dalam mimpinya selalu di bayangi sosok Bunga, kejadian saat Bunga mengungkapkan perasaannya kemudian sikap cuek gadis itu saat makan malam selalu membayanginya.

Perubahan sikap gadis itu terhadapnya sungguh drastis, apakah benar Bunga patah hati karena penolakannya ataukah gadis itu sudah mulai move on? Kedua pilihan itu sama sekali tidak membuat kegelisahan di hati Arya untuk pergi.

Arya menghampiri Robert yang sedang asik menonton televisi bersama dengan istrinya. Kemudian duduk di sisi sofa yang lain.

Lucy menatap sang calon menantunya, “Tumben akhir-akhir ini kamu sering berlama-lama di rumah. Biasanya langsung pulang?” tanya Lucy. Bukannya ia tidak suka dengan adanya Arya hanya saja pria muda itu tampak berbeda saja, hanya firasat seorang ibu.

Arya mengedikkan bahunya, “Sedang ingin saja, Ma,” jawab Arya santai, seraya menyunggingkan senyum kepada Lucy.

Sekar datang membawakan nampan berisi kopi untuk Arya. Diikuti oleh Nita kemudian Alma menyusul dengan membawa ponselnya. Rupanya ia sedang melakukan video call dengan Bunga.

“Nah gitu dong, calon istri yang baik harus bisa meladeni suaminya,” goda Alma dan diiringi anggota keluarga yang lain untuk duduk sekedar bercengkrama bersama. Sebenarnya mereka pindah dari teras samping karena panggilan video Alma tersambung kepada Bunga yang baru saja kembali dari kilang minyak lepas pantai.

“Hayo tangan siapa itu yang peluk kamu?” tanya Alma cekikikan, seraya bersandar pada bahu Nita yang saat ini sudah memegang ponsel Alma.

Semua kepala melihat ke arahnya. “Video call sama siapa sih?” Lucy penasaran.

“Sama Bunga Ma, dia lagi bikin api unggun sama teman-temannya."

“Mana sini Kak? Enak benar dia nggak ajak-ajak. Bos ya beda,” cibir Sekar menyindir Bunga. Mengulurkan tangannya meminta ponsel kepada Nita.

Nita bergeser mendudukkan dirinya di sebelah Sekar yang sudah terlebih dulu duduk di samping Arya. Ia masih belum rela melepas ponselnya karena dirinya masih rindu pada ipar kecilnya itu. Kemudian yang lain berkumpul merapat di belakang mereka melihat ke arah layar ponsel Alma.

“Wah semua berkumpul ya, ini Yanuar. Sekar ingat nggak nih teman sekolahmu dulu?” tanya Bunga berseri-seri. Yanuar yang melingkarkan sebelah tangannya di bahu Bunga tersenyum lebar ke arah layar ponsel dan menyandarkan kepalanya dengan kepala Bunga manja.

Deg ….

Arya dan Sekar terhenyak tetapi dengan pemikiran yang berbeda.

Dada Arya tersengat rasa cemburu melihat kedekatan Bunga dengan Yanuar. Dirinya mengenali siapa Yanuar, salah satu pria sukses. Pria sukses dan wanita sukses bersatu. Hal itu sama sekali tidak ia sukai. Ia memang berpasangan dengan Sekar tetapi dalam hati kecilnya dirinya juga menginginkan Bunga, amat sangat bahkan rasa ini belum pernah ia rasakan saat bersama dengan Sekar. Amat sangat memalukan bahkan dia sudah menolak cinta gadis itu. Sekaligus egois bukan?

Sedangkan Sekar melihat kedekatan Bunga dengan Yanuar sang cinta pertamanya membuat hatinya tercubit rasa cemburu dan kerinduan. Sekar sedang berpikir bagaimana caranya bisa bertemu lagi dengan Yanuar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status