Share

Chapter 4

Yora menatap sang nona sedih, ia ingin agar pria pujaan nonanya mengetahui. Entah mengapa saat menatap Arya dirinya tahu jika lelaki itu juga memendam rasa dengan majikannya. Kenapa dirinya bisa tahu? Karena Bunga menyimpan banyak foto Arya yang tak sengaja pernah dilihatnya.

Seluruh keluarganya sudah duduk semua di sofa. Yanuar juga ada di sana. Bunga melihat Yanuar memberi kode agar dia duduk di sebelahnya. Bunga mengenyakkan tubuhnya duduk di sebelah Yanuar. Yanuar mengelus punggungnya menenangkan dan memberi kekuatan. Bunga meringis karena tanpa sadar Yanuar mengenai luka bakarnya yang belum sembuh benar.

“Oh maaf,” ucap Yanuar terkaget.

“Jelaskan pada kami apa yang terjadi padamu?” tanya Robert lembut.

Bunga mengedarkan pandangannya keseluruh orang yang ada di sana. Kemudian berhenti menatap Arya yang balik menatapnya dengan pandangan tajam tak terbaca dengan bibir terlipat menipis. Lalu pandangan matanya beralih menatap bundanya.

“Enam bulan yang lalu, Bunga mengalami kecelakaan saat menolong anak tetangga teman Bunga yang apartemennya mengalami kebakaran,” ujarnya.

“Dan kamu bagaikan seorang pahlawan menerjang kobaran api begitu saja?!” ucap Arya tajam memecah keheningan.

“Apa?! Tentu saja tidak, waktu itu api belum terlalu besar. Ini bayi lho! Siapa yang tega tidak menolong. Kalau kau tak tahu apa-apa lebih baik diam!” balas Bunga kesal. Matanya melotot menatap Arya. Lelaki aneh kok dia yang sewot sih. Bunga tidak suka Arya sepertinya semakin ingin turut campur dalam kehidupannya. Para saudaranya saja diam sedari tadi menyimak.

“Lalu bagaimana kamu bisa terkena luka bakar?” tanya Jovan.

“Saat aku mau berlari keluar dengan si bayi, tiba-tiba tabung oksigen yang ada di ruang tamu meledak, nah saat itu lidah api menjilat punggungku dan serpihan kaca dinding rumah mengenai punggungku,” ucapnya sembari menunduk, Bunga tak kuasa menatap raut kekagetan bercampur kesedihan yang tercetak pada wajah kakak lelakinya itu.

“Kenapa kamu sama sekali tidak mau bilang dengan kami keluargamu, Nak?” tanya Lucy. Nada bicara Lucy bergetar tampak raut kekecewaan dan terluka di wajahnya.

“Mama saat itu sedang sibuk dengan hal lain. Makanya Bunga tidak ingin menambah beban Mama.”

“Hal apa itu?” tanya Lucy.

“Mama waktu itu sibuk mengurusi nenek yang terkena stroke ringan.”

“Astaga Nak, orangtua tetap orangtua. Sesibuk apapun Mama, anak-anaknya tidak mungkin terabaikan. Kamu jauh, jadi bagaimana Mama bisa tahu jika kamu tak bilang? Oh, mama ingat sekarang, waktu itu tak sengaja cangkir yang dipegang Mama terbelah menjadi dua. Lalu perasaan Mama jadi tak enak, jangan-jangan saat itu kamu mengalami musibah.” Lucy mengingat-ingat kejadian saat ia akan membuatkan minum suaminya.

Bunga memalingkan wajahnya, dirinya malu. Cukup sudah sekarang semua orang sudah tahu, terlebih lagi Arya sudah tahu dan hal itu membuatnya semakin rendah diri.

Ponsel Arya berbunyi. Arya menerima panggilan dari ayahnya.

“Ya Ayah?”

“Kapan acara pertunanganmu dengan Sekar dilaksanakan, jangan tunda-tunda lagi, Arya.”

“Baik, Yah. Akan segera Arya bicarakan. Mumpung Sekar dan keluarganya sedang berkumpul bersama.” Arya kembali menyimpan ponselnya setelah panggilan itu selesai.

“Ehmm ... begini Pa, Ayah telepon ingin memastikan jika acara pertunangan untuk segera dilaksanakan,” ucap Arya kepada orangtua Sekar, tetapi dari sudut matanya mengawasi reaksi Bunga yang datar tampak tak acuh. Bahkan Bunga tampak asik melihat ke layar ponsel Jovan.

“Baiklah kalau begitu tidak usah di tunda-tunda lagi tanggal satu bulan depan kalian bertunangan dan bulan berikutnya kalian menikah,” ucap Robert.

Sekar menunduk,entah mengapa dia sudah tidak menginginkan perjodohan ini. Ia ingin mendapatkan cinta Yanuar. Batinnya menjerit ingin terlepas dari Arya.

“Bagaimana Sayang kamu setuju?” tanya Lucy menyentuh bahu Sekar.

“Terserah Mama saja” ujarnya.

“Kok, terserah Mama. Yang akan menikah itu kamu, harus yakin dong.”

“Entahlah Ma.”

“Maksudmu apa sih Kar?” Roby melirik sungkan pada Arya yang menatap Sekar dengan wajah datar tak terbaca. Kadang Roby merasa curiga calon iparnya itu seperti tidak punya emosi.

“Maksud Sekar terserah Mama dan Papa untuk mengatur acara begitu,” balas Sekar pada akhirnya. Dadanya berdetak kencang jangan sampai keluarganya mengetahui keengganannya, belum saatnya ia harus memastikan perasaan Yanuar terlebih dahulu.

Bunga bangkit berdiri, “Sepertinya sudah sangat larut Bunga ingin beristirahat.” Tiba-tiba dia merasa badannya melemah tenaganya hilang entah ke mana. Sangat letih, ia tahu Arya memperhatikan dirinya sedari tadi. Bunga pamit kemudian ke arah koridor kamarnya yang berada di ujung lorong. Berada dalam satu ruangan dengan Arya serasa seluruh nafasnya terperangkap di paru-paru.

Bunga masuk ke kamarnya, bersandar di balik pintu yang tertutup, menangisi nasibnya yang jatuh cinta pada kekasih saudaranya.

Bodohnya dirimu Bunga, lebih baik kamu pergi saja dari sini. Seperti yang sudah-sudah, raih bahagiaku sendiri. Tak perlu kamu melihat lelaki itu lagi. Pendam seluruh cintamu. Batinnya menegur.

Arya spontan bangkit berdiri, seolah tak sadar dengan apa yang dia lakukan. Matanya menatap lurus ke arah menghilangnya Bunga. Rengkuhan jemari Sekar lah yang menyadarkan dia dari apa yang dia lakukan.

“Mau ke mana Sayang?” tanya Sekar.

“Eh ... mau ke kamar kecil,” ucap Arya begitu bisa menguasai diri.

Yanuar hanya memandang dalam diam interaksi antara Sekar dengan Arya.

“Ada di ujung koridor mari aku antar.’ Yanuar ikut bangkit berdiri.

Arya menggeleng pelan, “Tidak perlu aku bisa pergi sendiri.”

“Baiklah kalau begitu.” Yanuar kembali terduduk. Yanuar mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sepupunya.

Yanuar mengetik. ‘Arya dan Sekar di sini, baru saja mereka memutuskan untuk hari pertunangan dan pernikahan. Kalau kau tidak bergerak cepat, Sekar akan menjadi milik Arya, Bung.’ Pesan Yanuar  hanya mendapatkan balasan berisi umpatan kasar dari seberang.

Arya bergegas menyusul Bunga, ternyata kamar mandi terletak persis di ujung bersebelahan dengan kamar Bunga. Sayup-sayup terdengar suara tangisan dari balik pintu di sebelah kirinya.

Ini pasti kamar Bunga. Arya berdiri persis di depan. Kemudian tangannya terulur membuka knop pintu.

Bunga tersentak saat dirasanya ada dorongan dari balik pintu.

“Siapa...?” ujar Bunga dengan suara tercekat bercampur isakannya. Bunga membalikkan badannya menghadap ambang pintu kamar yang terbuka.

Arya sudah berdiri dengan setengah badannya sudah masuk ke kamarnya. Tatapannya tajam menusuk, tidak ada aura lembut seperti yang ia perlihatkan pada Sekar. Arya melangkah masuk sepenuhnya kemudian menutup pintu di belakangnya dan menguncinya.

“Apa yang kau lakukan di sini, Kak?” tanya Bunga gugup.

Arya maju mendekati gadis itu, lalu merengkuh ke dua bahu Bunga dan menkan tubuh bagian belakang Bunga hingga gadis itu menyandarkan punggungnya menempel di balik pintu. Mengunci pergerakan tubuhnya, Bunga meringis merasakan ngilu di punggungnya.

“Ahh ... sakit Kak,” rintih Bunga raut kesakitan tampak jelas di wajahnya.

Arya tersentak kaget kemudian menarik tubuh Bunga merapat ke tubuhnya satu tangannya merengkuh pinggul Bunga dan sebelahnya lagi menengadahkan dagu Bunga untuk menatap wajahnya.

“Kenapa kamu menjauhiku?” bisik Arya tepat di depan wajah Bunga.

“Siapa yang menjauhimu? Aku merasa tidak ada alasan untuk dekat denganmu. Aku memiliki kesibukan sendiri.”

“Kau pikir aku tidak tahu, hmmm?”

“Tidak tahu apa?” tanya Bunga bingung, kerutan di dahinya semakin dalam.

“Kamu kan sudah menolak cintaku, lalu lihat apa yang kau lakukan sekarang. Jangan main-main denganku, sebentar lagi kalian akan bertunangan aku tak mau menyakiti hati saudaraku. Tolong lepaskan aku,” tambah Bunga.

Telapak tangan Arya sudah berpindah membelai pipinya.

“Jadi semua karena penolakanku pada pernyataan cintamu?”

“Kamu ngomong apa sih? Nggak jelas banget, apa hubungannya dengan penolakanmu. Aneh!” protes Bunga yang semakin kebingungan dengan sikap Arya ini. Kenapa pria ini seolah-olah menjadi pria yang paling tersakiti?

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status