Share

2. Awal Mula

Ada alasan kenapa aku begitu kesal dan tidak suka pada cowok itu. Memang belum bisa dibilang benci sih, soalnya aku bertemu dia juga cuma baru sekali–sebelum di koridor kemarin. 

Waktu itu, aku turun dari bus dan berjalan kaki seperti biasa dari halte menuju gedung sekolah. Aku sudah terbiasa datang paling pagi, karena itu aku tidak terlalu kaget melewati jalan yang biasanya setelah bel pulang berbunyi selalu ramai oleh kendaraan maupun pejalan kaki, namun masih sangat sepi sebelum pukul tujuh kurang lima belas menit. Bel masuk berbunyi pada pukul tujuh tepat karena itu mayoritas siswa dan guru sampai di sekolah tidak kurang dari jam tujuh kurang lima belas menit. Kenapa aku selalu datang paling awal tidak seperti kebanyakan siswa di sekolah ini? Karena aku ingin berangkat selalu bersama Kak Viny. Hanya itu saja alasannya. 

Aku dan Kak Viny memang tidak bersekolah di sekolah yang sama. Kak Viny bersekolah di SMA dekat tempat tinggalnya dulu sebelum Papa dan Bunda menikah kemudian pindah ke rumah Papa. Otomatis jarak sekolahnya dengan rumah papa cukup jauh, karena itu kami selalu berangkat sangat pagi. Kak Viny memang tidak ingin pindah ke sekolah yang jaraknya lebih dekat, alasannya karena dia sudah merasa nyaman dengan sekolahnya itu. Orang tua kami pun tidak menentang keinginan Kak Viny. Tapi karena aku suka berangkat bersama-sama Kak Viny, maka aku harus rela sampai sekolah lebih awal dibandingkan siswa-siswa lainnya.

Aku sih tidak masalah apakah aku sampai di sekolah sangat awal atau menjelang bel masuk berbunyi. Bagiku yang terpenting itu adalah ada teman saat di perjalanan. Itu saja. Karena aku sudah merasakan bagaimana tidak nyamannya berjalan dan naik kendaraan umum tanpa ada yang bisa diajak bicara. Itu adalah saat aku masih SMP dulu sementara di SMA ini aku cukup beruntung karena ada Kak Viny di sampingku selama perjalanan. Dan kenapa kami naik bus bukannya menggunakan mobil yang sudah disediakan oleh papa? Karena kak Viny belum punya kartu SIM dan lagipula kami sama-sama lebih suka naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. 

Sampai di depan gerbang sekolah, aku menolehkan kepala sebentar ke arah SMA Bina Nusantara yang berseberangan dengan SMA Pelita Nusantara tempatku bersekolah. Gerbang sekolah yang masih satu yayasan dengan sekolahku itu juga terlihat masih sepi. Aku menghela napas berat, membalikkan kepala sambil menggenggam erat tali tas punggungku.

"Pagi, Mbak?"

Sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara. Aku tersenyum sopan pada pria separuh baya yang barusan menyapaku saat aku memasuki gerbang sekolahku.

"Pagi juga Pak Dirman." 

Pak Dirman ini adalah satpam sekolahku. Dia sangat ramah pada seluruh siswa di sekolah ini. Selalu memanggil 'Mas' untuk siswa laki-laki dan 'Mbak' untuk siswa perempuan. Katanya biar lebih akrab. Meskipun ramah, tapi satpam yang satu ini tidak pernah memberi ampun pada siswa-siswa yang terbiasa berangkat terlambat setelah pintu gerbang ditutup.

Setelah sedikit acara sapa-menyapa itu, aku segera melanjutkan langkah menyusuri koridor menuju kelasku. Namun langkahku terhenti saat melewati lapangan basket yang berada tepat di tengah-tengah gedung sekolah yang berlantai tiga ini. Beberapa siswa yang kutahu adalah anggota tim basket di sekolah ini tampak tengah serius berlatih permainan bola basket. Setahuku, sebagian dari mereka adalah siswa kelas XI sementara sebagian lainnya siswa kelas XII. Dan menurut cerita Intan, belakangan ini mereka serius berlatih karena beberapa hari lagi akan diadakan pertandingan bola basket antara SMA Bina Nusantara dan SMA Pelita Nusantara. Pertandingan itu merupakan pertandingan persahabatan dan bertempat di sekolah ini.

Pandanganku fokus tertuju pada salah satu siswa yang tengah memasukkan bola berwarna oranye itu ke dalam ring basket. Tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik keatas saat siswa itu berhasil memasukkan bola ke ring. Bukan aku sangat menyukai permainan bola basket sehingga aku tertarik untuk memperhatikan mereka, bahkan aku sekarang sudah berdiri tepat di pinggir lapangan itu. Tapi itu ada alasannya. Karena aku teringat bahwa dulu aku sering menemani Galang saat berlatih basket di lapangan kompleks perumahan kami.

"Woy awas!"

Lamunanku itulah yang membuat kejadian sial menimpa. Benda bulat berwarna oranye tiba-tiba melayang ke arahku. Ke kepalaku. Otakku memberikan sinyal bahwa satu detik lagi bola itu akan mencium dahiku. Tapi meskipun otakku sudah menginformasikan itu, tapi saking terkejutnya tubuhku tidak menuruti perintah otakku dan tetap mematung begitu saja. Tapi malah mulutku yang terbuka lebar dan pita suaraku otomatis juga ikut terbuka.

"AAA!"

Mataku terpejam dan jemariku menggenggam erat tali tas kanan dan kiri. Aku sudah bersiap untuk menerima ciuman bola basket itu di dahiku yang tertutup sedikit poni. Tapi sampai enam detik kemudian, aku tidak merasakan apa-apa. Nyeri. Berdenyut-denyut. Panas. Atau apapun. Karena itu, dengan kedua mata terpejam, aku menerka-nerka apa yang mungkin terjadi.

Hidungku bergerak. Sedikit mengendus. Aroma kayu-kayuan bercampur mint masuk ke rongga hidungku. Ah, tidak mungkin kan aku pingsan tapi masih bisa mencium aroma yang menenangkan ini? Aku yakin seratus persen kalau aroma ini berasal dari parfum yang entah merk-nya apa. Tapi aku yakin itu parfum. 

Perlahan, aku mengangkat kelopak mata yang tertutup. Gelap. Itu yang tertangkap di mataku yang setengah terbuka. Aku baru sadar bahwa puncak hidungku menyentuh sesuatu yang empuk di depan. Seperti...
Spontan kakiku mundur dua langkah. Dan baru terlihat dengan jelas di depanku memang dada bidang seorang laki-laki. Memakai seragam sekolah yang sama denganku, juga dasi abu-abu yang juga sama dengan yang kupakai. Suasana ini sepertinya masih di suasana pinggir lapangan basket. Dan artinya aku tidak pingsan? Lalu ke mana perginya bola basket tadi?

Kutolehkan kepala ke kanan, tak kutemukan benda bulat berwarna oranye itu sejauh mata memandang. Lalu kutolehkan kepala ke kiri, oh itu dia! Bola yang sering dipantul-pantulkan itu tergeletak di atas tanah paving sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. 
Jadi bola itu benar-benar tidak mengenaiku? Jadi ada yang menolongku? Siapa? Seseorang di depanku. Ya. Itu dia. Aku baru ingat. Pasti dia yang menolongku.

Dengan gerakan slow motion, kepalaku mendongak penasaran dengan wajah orang yang menolong ku. Pertama kali yang masuk ke indera penglihatanku adalah bibir agak tebal berwarna merah 'sedikit' kecoklatan yang terkatup rapat membentuk satu garis lurus. Sama sekali tidak tertarik membentuk lengkungan keatas, sedikit pun.
Kemudian tatapanku naik ke hidung yang cukup mancung dengan patahan tulang yang sangat sempurna. Kukatakan sekali lagi, sangat sempurna dan pas sekali untuk kulitnya yang putih. Lalu naik lagi ke bola mata yang tidak terlalu besar dengan iris sehitam tinta spidol di kelas. Melewati kedua bola mata yang cukup 'indah' itu, menampilkan kedua alis tebal yang menawan. Rambut cepak yang sedikit melewati telinga yang entah kenapa tampak keren di mataku. Bibir agak tebal berwarna merah 'sedikit' kecoklatan, hidung cukup mancung, kulit pipi yang putih, bola mata sehitam tinta yang indah, dan terakhir alis tebal yang menawan. Perpaduan yang membentuk wajah sangat...sempurna.

Tapi tunggu... sepertinya belum pernah aku melihat bentuk wajah seperti ini. Selama satu setengah tahun menginjakkan kaki di sekolah ini, aku belum pernah melihat wajah yang seperti ini. Apa aku saja yang terlalu kuper, ya? 

"Hei, lo nggak papa?"

Mataku otomatis mengerjap, mendengar pertanyaan yang terlontar entah dari mulut siapa itu. Kunolehkan kepala ke arah siswa yang tadi bertanya padaku. Ternyata dia sudah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

"Lo nggak kena, kan? Sorry gue nggak liat."

"Enggak kena kok. Soalnya udah ditolongin..." aku menggantung kalimatku dan melirik pada laki-laki yang menolongku tadi.

"Untung tadi lo tolongin cewek ini, Sa. Thanks ya?" potong cowok yang tadinya meminta maaf padaku, sambil menepuk pelan bahu si iris tinta spidol itu.

Si iris tinta spidol itu tidak menyahut, bahkan sampai cowok yang kuyakini sebagai temannya itu kembali berlari ke tengah lapangan. Aku menoleh dan mendongak ke iris tinta spidol itu dan membalas tatapannya sekilas. Hanya sekilas karena aku mulai tidak tahan dengan tatapan mengintimidasi darinya itu. Jadi aku hanya menatap dada bidangnya yang tingginya sejajar dengan puncak kepalaku.

"Makasih."

Aku menunggu jawabannya, namun hingga cukup lama tidak terdengar sahutan darinya. Padahal dia masih di depanku, bahkan aroma kayu-kayuan bercampur mint itu tercium jelas dari hidungku. Merasa penasaran, aku mendongak kembali. Dan keningku otomatis berkerut bingung. Dia masih menatapku dengan tatapan mengintimidasi itu. Sebenarnya dia itu kenapa sih? Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan wajahku?

"Sa!"

Panggilan itu membuatku langsung menoleh ke sumber suara, yang sepertinya familiar di telingaku.

"Bintang?"

"Kak Bisma?"

Dua pertanyaan penuh keterkejutan itu keluar bersamaan dari mulutku dan mulut siswa laki-laki yang baru datang dan memanggil si iris tinta spidol itu.
Cowok adalah Kak Bisma, pacar Kak Viny. Aku mengenalnya karena dia pernah beberapa kali mampir ke rumah. Tapi bukankah Kak Bisma bersekolah di Bina Nusantara? Kenapa memakai seragam Pelita Nusantara?

"Kok Kak Bisma di sini? Pake seragam ini?" tanyaku penasaran.

Dan Kak Bisma langsung terkekeh. "Kemana aja lo? Udah tiga bulan kali gue pindah ke sini."

"Hah?"

"Hah?" Kak Bisma meniru gaya terkejut spontanku. "Lo nggak pernah keluar kelas ya sampe-sampe baru ngeh sekarang kalo gue pindah ke sini?"

Aku menyengir sambil mengeratkan genggaman pada tali tas punggungku. "Keluar kelas kok. Tapi cuma ke kantin tapi lebih sering ke perpus sih."

"Mau jadi cewek nerd dan kutu buku yang suka ngapel ke perpus, gitu?"

"Ih enak aja. Ya enggak lah. Emang cuma cewek nerd dan kutu buku aja yang boleh dateng ke perpus?" sahutku tak terima.

Kak Bisma tertawa renyah kemudian pandangannya beralih ke arah lain dan saat kuikuti arah pandangnya, aku baru sadar kalau masih ada orang lain selain aku dan kak Bisma di sini. "Jadi lo udah ketemu Bintang, Sa? Kok nggak ngomong gue?"

Hei, Kak Bisma bicara dengan si iris tinta spidol kan? Kok aku dibawa-bawa?

Kulirik si iris tinta spidol, ternyata dia sudah mengalihkan pandangannya ke arah kak Bisma. Alis tebalnya terangkat sebelah. "Ini yang namanya Bintang?"

Akhirnya keluar juga suaranya. Suara maskulin khas laki-laki keren dan cool tapi kenapa aku merasa terselip ketidaksukaan saat dia menyebut nama 'Bintang'? Mataku menyipit saat si iris tinta spidol menoleh lagi padaku dan menunduk untuk melihat wajahku yang hanya setinggi pundaknya. Aku mengikuti arah pandangnya, dan berhenti di name tag yang terpasang di kemeja seragam putih yang kupakai. Aku spontan menyilangkan tangan di dada.

"Bin-tang A-u-ro-ra." Aku semakin mengernyit bingung. Dia mengangguk-angguk. "Pantes."

"Maksudnya?" sambarku, cepat. Aku tidak akan sentimen kalau dia tidak menunjukkan ekspresi sinis, setelah mengeja namaku.

"Maksudnya, cewek manja, egois dan kekanak-kanakan kayak lo itu pantes bersikap ceroboh kayak tadi." 

"Maksud lo apa?" tanyaku tidak terima. 

Hei dia ini siapa memangnya? Apa hak-nya menilaiku seperti itu? Aku saja tidak kenal dengannya. Bodo amat dengan tatapan mengintimidasi darinya itu. Yang penting aku tidak suka saat ada orang yang tak kukenal menilaiku seenaknya sendiri. Kutarik kembali penilaianku tadi soal dia yang keren, tampan, sempurna dan apalah itu. Semuanya kutarik!

"Kurang jelas emang? Gue ulangi ya. Lo itu cewek manja, egois, kekanak-kanakan, jadi pantes banget ceroboh ngelamun di pinggir lapangan sampe mau kena bola kalo aja nggak gue tolongin." Dia tersenyum sinis kemudian bersuara lagi, padahal aku baru saja akan menyahuti ucapan pedasnya itu. "Emangnya apa sih tujuan lo? Mau cari perhatian? Biar kalo kepala lo kena bola terus lo pingsan banyak yang perhatiin lo, gitu? Biar kita-kita pada tanggung jawab, gitu? Suka banget ya ngerepotin orang lain?"

Aku mengeratkan genggaman tanganku pada tali tas yang kupakai. Kurasa darahku sudah naik sampai ke ubun-ubun sekarang. Bagaimana tidak? Kata-katanya itu, loh. Pedasnya mengalahkan cabai setan! 

"Denger ya, gue makasiiih banget lo udah nolongin gue. Tapi bukan berarti lo bisa ngatain gue seenaknya. Emang tau apa lo soal gue? Lo kenal gue? Enggak, kan? Jadi kalo ngomong jangan asal!" ucapku dengan nada setajam mungkin.

Kulihat dia membelalakkan matanya, mungkin terkejut dengan apa yang kuucapkan. Namun ekspresi wajahnya kembali datar.

"Sa. Udah dong diliatin banyak orang, tuh."

Aku menoleh pada Kak Bisma, masih dengan rasa kesal. "Ini temen Kakak? Tolong dong Kak, ajarin sopan santun!"

Setelah itu aku berlalu meninggalkan kedua cowok itu. Menyebalkan sekali kan cowok itu? Seenaknya saja menceramahiku padahal bertemu juga baru sekali ini. Jadi, tidak ada yang salah kan kalau aku begitu sentimen padanya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status