Share

3. Kenalan

Setelah ulangan sejarah yang membahas tentang masa lalu, dilanjutkan dengan dua puluh lima soal latihan matematika yang rumitnya minta ampun, benar-benar membuat otak terasa berasap. 

"Kantin yuk, Bi."

Aku mengacungkan jempol kemudian menumpuk buku-buku yang di atas meja dan kumasukkan ke dalam tas punggung. Memang seringnya aku malas ke kantin dan lebih memilih menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Tapi ada juga saat di mana aku memilih pergi ke kantin, saat otakku terasa mendidih dan butuh pendinginan seperti sekarang.

"Seporsi mie ayam pake sambel yang buanyak ditambah es teh manis. Hmm jadi ngiler deh gue."

Aku hanya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Intan yang berjalan di sampingku. Sepanjang perjalanan menuju kantin, Intan lebih mendominasi obrolan kami. Aku hanya mengangguk, menggeleng, mengernyit dan juga kadang tertawa menanggapi bicaranya yang seperti tidak ada hentinya.

Langkahku terhenti saat sampai di pintu masuk kantin. Intan ikut menghentikan langkahnya. "Kenapa sih Bi?" tanyanya.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantin. Suasana di dalam sangat ramai dan antrean di sana juga panjang membuat keinginanku menikmati jus jambu dingin dan sebungkus roti isi berkurang lima puluh persen.

"Gue nggak jadi deh Tan."

"Ih, kenapa? Udah sampe juga."

"Rame banget tuh. Gue males antri. Gue balik lagi ke kelas aja deh."

"Pokoknya nggak ada acara balik lagi. Lo harus ikut gue masuk."

Dan tanpa memberikan kesempatan untukku melarikan diri, Intan sudah terlebih dahulu menarik lenganku masuk ke dalam kantin dan langsung menuju ke satu-satunya meja kosong yang tersisa terletak paling pojok. Intan mendorong bahuku pelan sampai aku terduduk di kursi.

"Lo di sini dulu biar gue yang pesenin. Kurang baik gimana gue sebagai temen?"

Aku terkekeh kecil mendengar guyonan Intan. "Iyain aja deh biar seneng." 

Intan tertawa kecil dan mengacungkan jempolnya ke arahku kemudian berbalik menuju antrean yang masih panjang. Aku tidak perlu mengatakan makanan apa yang kuinginkan karena Intan sudah tahu betul makanan kesukaanku di kantin ini. Sambil menunggu Intan kembali, kukeluarkan ponsel dari saku rok untuk memeriksa kalau-kalau ada notifikasi masuk. Dan ternyata benar, ada dua pesan WA dari dua room chat yang berbeda.

<<Bi, udah makan?

Aku tersenyum senang. Segera kuketikkan balasan.

>>Ini baru mau makan di kantin
>>Kak Viny juga udah makan kan?

Kubuka satu pesan lain yang masuk tiga puluh menit yang lalu. Dari nama kontak Andromeda Wijaya.


<<Lagi apa Bi?

Kalian tahu apa yang kurasakan saat melihat Kak Andro mengirimkan pesan untukku? Bingung bercampur bahagia. Bingung, karena aku belum terbiasa menerima pesan ataupun perhatian dari kakak laki-lakiku itu. Dan bahagia, karena akhirnya setelah hampir lima belas tahun, Kak Andro mau menganggapku ada.

>>Lagi mau makan di kantin

Iseng, aku membuka profil kak Andro dan melihat foto profilnya. Di sana, tampak seorang cowok memakai jeans selutut dan kaos abu-abu polos berkerah. Memakai topi di kepalanya dan bergaya mengapit dagu dengan ibu jari dan telunjuknya, lengkap dengan senyum manis. Tanpa sadar, kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Foto itu diambil tiga bulan yang lalu saat Kak Andro pulang karena kuliahnya libur, tepatnya lima bulan setelah sikap Kak Andro berubah baik padaku. Dan foto itu aku yang mengambilnya, tidak menyangka dia Andro akan memasangnya sebagai foto profil akun WA miliknya.

"Widih ganteng banget!" seru Intan sambil merebut ponsel itu dari tanganku. Aku bahkan tidak sadar kapan Intan datang dan meletakkan makanan kami di atas meja di depanku.

"Pantes lo senyum-senyum mulu. Lagi liatin cogan ternyata." Intan berseru lagi, dengan suara yang tak kalah keras dari yang pertama.

"Nggak usah toa juga kali. Jadi pada ngeliatin kita kan." Aku menarik tangan Intan untuk duduk di sampingku. Beberapa siswa yang ada di dalam kantin menoleh pada kami karena suara keras Intan barusan. Membuat malu saja.

"Ya maaf." Intan menyengir. Aku memutar bola mata dan membuka bungkus roti yang dibawakan Intan. "Emang ganteng maksimal ya Kak Andro itu. Jangan-jangan lo betah jomblo karena kakak lo lagi."

"Maksud lo?" tanyaku bingung sambil mengunyah roti isi selai stroberi di tanganku.

"Kali aja lo suka sama Kak Andro."

Langsung saja kupukul lengan Intan karena ucapan sembarangan nya itu. "Lo kira gue brother complex apa?!" 

Intan tertawa pelan. "Kali aja kan?"

Aku berdecak kesal. Gue jomblo karena masih cinta sama Galang, Tan.

"Ngomong-ngomong gue ikut seneng Kak Andro udah baik sama lo," ucap Intan sambil memakan mie ayamnya.

"Iya."

Walaupun dengan nada seperti itu, aku tahu Intan mengucapkannya tulus.
Gerakan mengunyahku terhenti saat tanpa sadar aku menoleh ke arah meja di sebelah kanan meja kami. Dia duduk di sana, tengah mengobrol dan tertawa dengan beberapa teman laki-lakinya, juga Kak Bisma. Hanya berjarak satu kursi dari tempatku duduk. Aku tidak suka kebetulan ini. Sungguh.

Aku mendekatkan mulutku ke telinga Intan. "Dia di sana udah dari kapan?" 

Intan menoleh padaku dan dapat kulihat kerutan di dahinya. "Siapa?"

"Idola lo!" sahutku, masih dengan berbisik.
Intan menoleh sebentar ke arah cowok itu sebelum kemudian menatapku kembali.

"Dari tadi kali. Kita sampe sini kan dia udah duduk di sana."

Mataku membulat seketika. Apa? Kok bisa-bisanya aku tidak menyadarinya sih?!
Dengan kesal, entah kesal pada diriku sendiri atau kekesalan tempo hari yang masih tersisa pada cowok itu, aku berdiri dan bangkit dari dudukku.

"Mau ke mana?" tanya Intan. Mungkin terkejut karena tiba-tiba aku berdiri.

"Balik kelas." 

"Makanan lo belum abis, makanan gue juga. Mubazir kalo nggak diabisin."

Aku pun mengambil gelas berisi jus jambu yang masih tersisa setengah dan langsung meneguknya hingga habis. Kemudian tanganku meraih bungkus roti yang isinya juga masih tersisa setengah. "Gue balik duluan. Lo lanjutin makan lo. Sekalian biar gue aja yang bayarin." 

Bahkan aku tidak menghiraukan teriakan kecil Intan yang terus memanggilku. Sudah kubilang kan kalau aku tidak suka kebetulan ini? Jadi maklumi saja kalau aku langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan Intan. Kuharap Intan mengerti.

***

"Lo ngehindar?"

Langkahku langsung terhenti mendengar pertanyaan itu. Maksudku, pemilik suara itu. Tampak sepasang kaki memakai sepatu sneaker berdiri beberapa langkah di depanku. Aku berdecak dalam hati, merutuki kecerobohanku. Seharusnya aku berjalan sambil melihat ke depan, bukannya menunduk sambil membaca novel. Kalau dari tadi aku melihat ke depan kan aku bisa langsung berbalik arah saat lihat dia dari jauh. Kenapa sih aku harus dipertemukan dengan kebetulan-kebetulan yang sangat tidak kusukai ini?

Tanpa berniat mendongak dan menatapnya,  kumundurkan kakiku beberapa langkah dan berbalik untuk menghindarinya. Namun cekalan di pergelangan tanganku membuat langkahku terhenti. Dan aku memekik saat dengan cepat dia membalikkan badanku agar kembali menghadap ke arahnya.

"Apa sih!" bentakku sambil menghempaskan tanganku dari cekalannya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo sengaja menghindari gue?" tanyanya tajam.

Aku mendongak, menatapnya tak kalah tajam dengan nada bicaranya. Tidak peduli dengan tatapan mengintimidasi yang selalu dia berikan itu. "Kenapa gue harus ngehindar?"

"Pura-pura udah tidur pas gue sama Bisma ke rumah, tapi nyatanya lo lagi asyik ngobrol di telepon. Bela-belain muter lewat koridor kelas satu cuma karena gue ada di koridor kelas dua. Pergi dari kantin padahal makanan lo belum abis. Itu yang namanya nggak ngehindar?"

Sumpah. Dia itu kenapa? Kenapa dia tahu? Apa selama ini dia memperhatikanku? Aku jadi ngeri.

"Setau gue yang namanya ngehindar itu kalo orang itu sama-sama kenal. Gue kan nggak kenal sama elo. Jadi kenapa gue harus ngehindar?" ketusku.

Sungguh aku berharap dia sedikit mengerti dan membiarkanku pergi dari sini. Sekilas kutangkap ekspresi di wajahnya itu menjadi sulit diartikan, tapi dengan cepat kembali datar lagi.

"Jadi lo nggak kenal gue?"

Aku mengangkat bahu, tidak peduli. Aku memang tahu siapa dia. Kak Viny sering menceritakan bahwa sebelum berpacaran, Kak Viny dan Kak Bisma juga kembaran Kak Bisma sudah berteman sejak kecil. Sama dengan aku dan Galang. Dan karena kembaran Kak Bisma adalah cowok di depanku ini, jadi tentu saja aku tahu kan siapa dia? Tapi tahu bukan berarti kenal kan? Jadi aku tidak bohong dong.

"Kalo gitu kita harus kenalan."  Dia langsung menarik dan menjabat tanganku, kucoba melepaskannya tapi dia menggenggam tanganku erat sekali hingga rasanya sedikit sakit. "Angkasa."

Aku berdecih sinis dan langsung melepaskannya dengan kasar. Kali ini aku berhasil melepaskannya. "Sayangnya gue nggak tertarik buat kenal sama elo." 

Aku langsung berjalan cepat melewatinya menuju gerbang depan. Aku bersyukur kali ini dia tidak menahanku lagi. Sambil berjalan, tanpa sadar telapak tangan kiriku mengusap pergelangan dan telapak tangan kananku. Kenalan apanya? Dasar cowok aneh bin gila!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status