Share

4. Paksaan

Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.

Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan lebih tidak bertemu, bahkan tidak saling mengobrol dengan lewat pesan sekali pun membuat kerinduan ini membuncah.

Aku merindukannya sebagai teman dekat yang kupunya sejak kecil. Aku merindukannya sebagai kakak laki-laki yang kupunya dan selalu menemaniku saat Kak Andro yang seharusnya memberikan perhatian layaknya seorang kakak malah menganggapku tak ada. Dan jika dibolehkan, aku juga merindukannya sebagai seorang yang menginjakkan kaki pertama kali di ruang khusus dalam hatiku, ruang bernama cinta.

"Nggak rugi kan lo nurutin saran gue?"

Aku menoleh ke sebelah kanan tepatnya pada Intan yang barusan berbicara padaku. Hanya menanggapinya dengan tersenyum kemudian mengalihkan pandangan lagi ke tengah lapangan. Namun bukannya sosok Galang yang tertangkap mataku, tapi malah Angkasa cowok gila yang saat ini tengah menggiring bola ke arah ring lawan. Ini yang membuatku sedikit keberatan. Demi bisa melihat Galang, mau tak mau aku harus melihat wajah Angkasa juga. Wajah yang sudah hampir seminggu ini aku berusaha sekeras mungkin agar tidak melihatnya.

"SEMANGAT ANGKASA!"

Sontak kututup kedua telinga dengan telapak tangan mendengar teriakan melengking dari beberapa siswi tepat di sebelah kiri aku dan Intan. Mereka adalah seniorku, satu tingkat dengan Angkasa. Kudengar mereka membuat sebuah geng yang beranggotakan lima orang siswa perempuan dan diketuai oleh Anggi Saputri, cewek dengan penampilan paling menonjol dalam geng itu.

"Biasa aja kali. Nggak pake teriak-teriak bisa, kan? Dasar lebay."

Mau tak mau aku terkekeh geli mendengar bisikan Intan yang membicarakan geng yang beranggotakan senior semua itu. Tiga puluh menit kemudian, pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh tim sekolah kami. Tepatnya Angkasa yang lebih sering mencetak angka. Tapi tidak bisa kupungkiri, gaya menggiring bola Angkasa memang cukup menarik. Bukannya aku berniat memuji apalagi mulai tertarik dengannya, aku hanya mengatakan fakta. Itu saja. Tidak lebih.

"Bi, gue duluan ya? Udah dijemput Papa diluar." 

"Tumben Papa lo jemput. Biasanya supir lo kan yang jemput?" komentarku.

"Soalnya abis ini mau ke rumah Tante gue. Lagi ada acara apa gitu gue lupa dalam rangka apa."

"Oh." 

"Ya udah gue duluan ya? Itu mobil Papa udah di sana. Bisa diomelin gue kalo nggak cepet-cepet ke sana." Intan menunjuk Audy hitam yang terparkir agak jauh dari tempat kami.

"Ya udah sana." 

Intan pun berjalan cepat menuju mobil papanya itu sambil sesekali membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum getir sambil membalas lambaian tangan Intan. Setiap pulang sekolah, intan memang dijemput supir pribadi keluarganya. Tapi saat berangkat sekolah pasti papanya yang mengantar. Aku ingin sesekali bisa seperti Intan, diantar ke sekolah tiap pagi dan dijemput oleh Papa saat ada sebuah acara spesial atau apa. Sayangnya harapan tinggal harapan.

Entah sampai kapan papa akan bersikap seperti ini padaku. Mengabaikan dan menganggapku seolah tidak ada dalam hidupnya. Sepertinya enam belas tahun belum cukup untuk Papa menghukumku atas kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya murni salahku. Bahkan Kak Andro saja hanya butuh waktu kurang dari lima belas tahun untuk menghukumku dan sekarang mulai bisa menerimaku. 

Tapi Papa? Laki-laki yang akan selalu jadi laki-laki pertama yang kucintai dalam hidupku, sampai kapan akan seperti ini padaku? Apa Papa tidak lelah dan akan terus menghindar dengan menerima bisnis-bisnis di luar kota untuk waktu yang lama?

Perlahan langkahku melambat saat menangkap sosok itu di depan sana, sekitar lima belas meter dari tempatku berjalan sekarang. Cowok berkulit putih itu tengah menyandarkan punggungnya di dinding koridor dengan satu kaki ditekuk sehingga sepatunya menapak di dinding. Sementara tangan kanannya dimasukkan ke saku celana dan tangan kirinya memainkan ponsel. Aku berdecih. Sok keren!

 Aku menggenggam erat kedua tali tas punggung dan tetap melangkah pelan. Kurasa tidak ada gunanya terus menghindar. Aku hanya perlu bersikap acuh dan seolah tidak kenal. Memang kami tidak saling kenal kan?

"Bi!"

Baru setengah jalan menuju cowok itu berdiri, sebuah panggilan membuat langkahku terhenti seketika. Kurasa aku mematung sekarang. Pandangan mataku bertubrukan dengan pandangan mata Angkasa yang kini sudah menurunkan kakinya dan menoleh padaku. Cukup lama dia memandangiku, setelah kemudian pandangannya beralih pada cowok yang barusan memanggilku. Yang aku yakini sekarang berada di belakangku.

"Bi."

Dapat kudengar suara langkah kaki semakin mendekat dari belakang. Dan dua detik setelah itu, cowok itu sudah berdiri di hadapanku. Tepat di depanku. Hingga sosok Angkasa tak bisa kulihat karena sudah terhalang tubuh cowok di depanku ini. Bukan berarti aku ingin melihatnya loh, ya.
Galang Pradipta yang tadi kulihat dari jauh sekarang sudah ada di depanku. Seutas senyum tersungging dari bibirnya yang tipis saat dia menunduk menatapku. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Detak jantungku tidak secepat seperti setiap kali aku melihat senyumnya. Dulu detak jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap aku berhadapan dengan Galang apalagi melihat senyumnya. Tapi kenapa sekarang biasa saja? Apa sebulan tak bertemu berpengaruh sebesar itu?

"Hai, Lang." 

"Apa kabar, Bi?" tanyanya.

Aku kembali tersenyum dan mengangguk. "Kayak yang lo liat. Gue baik-baik aja."

"Gue tau lo akan selalu baik-baik aja. Kayak janji lo dulu."

Aku masih tersenyum. "Nina mana?"

Tampak ekspresinya sedikit berubah. "Nina nggak ikut ke sini. Ada jadwal bimbel."

Aku mengangguk mengerti. Sejenak kami sama-sama diam. Entah kenapa rasanya jadi canggung begini.

"Maaf, Bi "

"Buat?" Tentu saja aku pura-pura tidak tahu maksud ucapannya.

"Buat sebulan ini."

Aku menggenggam erat kedua tali tas punggungku. "Gue ngerti."

Aku sedikit tersentak saat Galang memegang kedua bahuku. Aku mendongak hingga tatapan kami bertemu. Tapi sekali lagi, jantungku masih berdetak normal. Entah kenapa ini aneh.

"Gue kangen sama lo, Bi." Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk pelan.

Galang ikut tersenyum. "Bisa kasih gue nomor WA lo lagi?"

Aku tersentak. Mataku menyipit. "Lo hapus nomor gue?"

Dia menunduk. "Maaf, Bi."

Aku tersenyum getir. Rasa kecewa langsung menghantam dadaku tanpa ampun. Kupikir pertemuanku dengan Galang ini akan terasa menyenangkan tapi ternyata hanya mengundang kekecewaan.

"Gue nggak habis pikir sama lo, Lang!"

Kulangkahkan kaki dengan cepat menyusuri koridor agar cepat sampai ke gerbang depan. Saat sampai di parkiran khusus motor, ekor mataku menangkap sosok Angkasa yang tengah memakai helmnya. Aku bahkan tidak menyadari kapan dia pergi dari koridor saat aku berbicara dengan Galang tadi. Tanpa berniat melirik lebih lama pada cowok itu, kulanjutkan kembali langkahku semakin cepat. Melewati pintu gerbang, aku sedikit mengangguk pelan pada Pak Dirman, menyapanya. Dan satpam sekolahku itu membalasnya dengan anggukan kepala juga.

Aku pun kembali berjalan cepat menyusuri jalan menuju halte. Hanya ada beberapa siswa yang juga berjalan menuju halte, karena waktu memang sudah agak sore. Kuusap sudut mataku yang berair. Rasanya sakit mengetahui Galang se-keterlaluan itu. Aku sangat kecewa. Bagaimana bisa Galang melakukan itu? Hanya karena seorang gadis yang dia cintai, dia sampai menghapus kontakku?

Aku benar-benar tidak habis pikir. Tidakkah dia menghargai persahabatan kami? Persahabatan yang kami jalani selama hampir sepuluh tahun, dia lupakan begitu saja? Di mana jalan pikirannya itu?
Aku mengeratkan genggaman tanganku pada tali tas punggung dan mendongak menatap langit. Mendung tebal. Beberapa menit kemudian pasti hujan akan turun, dan sepertinya akan lebat. Aku menghela napas panjang. Bahkan aku tidak membawa payung.

Sebuah motor berjalan melambat tepat di sampingku, membuat langkahku ikut melambat. Aku menoleh pada motor warna putih itu. Tapi wajah pengendaranya tidak bisa kulihat dengan jelas karena memakai helm full face, hanya matanya yang terlihat. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain saat kulihat dengan jelas bola mata itu. Bola mata berwarna hitam sehitam tinta spidol. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Angkasa?

"Gue anter."

Aku terhenyak dengan ucapan tajamnya itu tepat saat dia menghentikan motornya dengan mesin yang masih hidup. Tapi aku bergeming, tetap berjalan seolah tidak mendengar apa-apa. Lagipula kenapa dia tiba-tiba ingin mengantarku pulang? Jangan-jangan dia mau berbuat tidak baik, lagi. 
Dapat kudengar motor itu kembali berjalan, dan kembali berhenti beberapa langkah di depanku.

Tanpa turun dari motornya, dia menoleh padaku. "Gue bilang naik." 

"Nggak usah," jawabku seketus mungkin dan melewatinya begitu saja.

Kali ini aku berjalan dengan langkah secepat mungkin agar dia tidak mengikutiku lagi. Dua menit kemudian aku sudah sampai di halte. Ada lima orang di sana yang juga sedang menunggu bus. Satu siswa laki-laki berdiri menyandarkan punggungnya di tiang halte sementara dua siswa perempuan dan dua ibu-ibu duduk di bangku tunggu sambil mengobrol. Aku pun duduk di bangku yang kosong. Menghela napas lega, bersyukur karena cowok gila itu tidak mengikuti lagi.

Namun ternyata kelegaanku tidak berlangsung lama karena suara deru motor kembali terdengar dan berhenti tepat di jalan depan halte. Aku berdecak kesal.  Mau apa lagi sih dia? Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak melirik ke arahnya dan berpaling ke arah lain. Beberapa detik kemudian, aku mulai merasakan ada yang aneh saat ketiga siswa dan dua ibu-ibu di dekatku melihat dengan tatapan aneh kearah yang sama. Penasaran, aku mengikuti arah pandang mereka.

Dan mataku langsung membulat.
Masih dengan helm di kepalanya, Angkasa kini sudah berdiri tepat di depanku dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Matanya menatap tajam ke arahku. Kulirik lima orang di dekatku itu, dan ternyata tatapan mereka sudah beralih ke arahku. Aku pun memilih untuk tidak menghiraukan dia seolah-olah aku sama sekali tidak mengenalnya.

"Ikut gue."

Aku tetap bergeming di tempatku. 

"Apa sih?!" bentakku saat tiba-tiba dia menarik tanganku dan aku langsung menghempaskannya.

"Gue bisa pulang sendiri. Jadi nggak perlu repot-repot anter gue dan lo bisa pergi." Aku berucap dengan pelan kali ini karena sadar lima pasang mata itu masih memperhatikan kami.

"Gue bilang ikut gue." 

"Gue bilang gue nggak mau jadi nggak usah maksa, ngerti?!"

"Bintang!"

"Nggak usah panggil nama gue. Gue nggak kenal ya sama lo!"

"Kemarin kita kenalan. Pura-pura amnesia?" ucapnya enteng membuatku semakin gondok.

"Udah ikut aja, mbak. Kasihan loh pacarnya udah mohon-mohon gitu."

Aku menoleh pada salah satu dari ibu-ibu yang barusan memberi saran padaku. Dasar Angkasa. Membuat malu saja!

"Emang remaja sekarang itu lucu ya, Bu. Marahan aja gemesin gitu. Pura-pura enggak kenal lagi," komentar ibu yang satunya.

Aku tersenyum sopan pada ibu itu dengan wajah yang mungkin sudah merah padam menahan malu. "Saya nggak kenal dia, Bu. Dia bukan pa- eh!"

Belum sempat aku menjawab ucapan dua ibu itu, pergelangan tanganku tiba-tiba digenggam oleh Angkasa dan dia menarikku menuju motornya terparkir.

"Lo apa-apaan sih?" bentakku melepaskan tanganku kembali. Aku menoleh pada lima orang di halte, dan ternyata mereka masih memperhatikan kami. "Mau lo apa sih? Bikin malu tau nggak?!" 

Dia membalas tatapan tajamku dengan tatapan mengintimidasi miliknya itu. "Lo nggak bakal malu kalo dari tadi nurutin gue."
"Kan gue udah bilang gue nggak mau ikut elo. Emang lo siapa maksa-maksa gue gini?!"

"Shit!" 

Aku tertegun mendengar umpatannya itu. Nyaliku menciut.

"Lo gak mikirin Viny, hah? Busnya nggak dateng-dateng. Bentar lagi hujan deras. Dia bisa khawatir kalo lo nggak pulang-pulang. Bisa nggak sih lo nggak egois dikit aja?! Pikirin orang lain juga, jangan cuma diri lo sendiri yang lo pikirin!!" bentaknya.

Aku mundur satu langkah, terkejut mendengar bentakannya itu. Ini pertama kalinya aku mendengar bentakannya dengan nada setinggi itu. Tanpa sadar tanganku meremas kedua tepian rok yang kupakai, meredam tubuhku yang tiba-tiba gemetar. Aku menunduk, terserang rasa takut yang aneh. Baru kali ini aku dibentak seperti itu. Bahkan Papa dan Kak Andro tidak pernah membentakku seperti itu.

Aku mundur satu langkah lagi saat kulihat sepasang sepatu sneaker itu maju satu langkah ke arahku. Keringat dingin membasahi pelipisku, dan kurasa tanganku juga berubah dingin. Aku tersentak kaget karena dia menggenggam pergelangan tanganku, lagi. Namun aku tidak ada cukup tenaga untuk melepaskannya dan aku hanya menurut berjalan di sampingnya kembali ke dekat motornya. Dia memakaikan helm padaku kemudian naik ke motornya.

"Naik." Aku masih berdiri, tidak beranjak dari tempatku berdiri. "Naik sendiri atau harus gue paksa?!"

Tanpa pikir panjang aku langsung naik memboncengnya. Kedua tanganku berpegangan pada pegangan jok belakang.

"Pengen banget jatoh ya lo?! Pegangan tuh ke gue bukan di situ!"

Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas berat. Kualihkan tanganku berpegangan pada bahunya. Perlahan motor yang dikendarai Angkasa membelah jalanan yang padat. Tanganku berpegangan erat pada bahu Angkasa, berusaha meredam detak jantung yang melebihi batas normal. Mungkin karena Angkasa memacu motornya dengan kecepatan tinggi, hingga memacu jantungku berdegup kencang. Di boncengannya, aku menggeram tertahan. Angkasa sialan.  Bisa-bisanya dia memaksa dan menakutiku seperti ini!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status