Share

6. I Want You

"Butuh obat?" 

Aku menoleh pada Mbak Erin, perawat di UKS yang baru saja meletakkan segelas air putih di atas nakas. "Enggak usah, Mbak. Cuma kecapekan aja kok. Tiduran bentar pasti udah baikan."

"Ya udah, kamu istirahat aja. Saya tinggal dulu ya."

Aku mengangguk dan menggeser sedikit tubuhku mencari posisi yang nyaman untuk berbaring. "Makasih, Mbak."

Mbak Erin pun pergi, meninggalkanku sendiri dalam salah satu bilik di ruang UKS ini. Setelah kepergian Mbak Erin, aku mengeluarkan dari saku bajukuz dua butir pil yang tadi kuambil dari tas punggungku. Aku segera meminumnya dengan bantuan air putih yang diberikan mbak Erin tadi.

Tadi setelah mendengarkan ceramah panjang lebar dari Bu Ani tentang pentingnya tanggung jawab hingga telingaku rasanya panas sekali dan jatah makan siangku habis untuk itu, aku langsung minta izin tidak mengikuti pelajaran karena pusing. Sebenarnya bukan karena pusing, tapi karena nyeri dada kiriku yang menyerang kembali pagi ini. Bahkan saat diceramahi Bu Ani tadi, fokusku bukan pada ceramah guru yang terkenal cerewet itu tapi pada rasa nyeri yang cukup kuat ini.

Dan kalian tahu apa yang menyebabkan aku diceramahi panjang lebar oleh Bu Ani? Karena aku tidak berhasil menemukan buku paket bahasa Indonesia yang jatuh di lapangan tadi pagi. Alhasil aku harus menerima ceramah dari Bu Ani dan juga harus mengganti kehilangan buku itu dengan buku yang baru, yang harus ku ari sendiri di toko buku. Dan aku harus membawanya besok ke Bu Ani, karena buku itu akan digunakan kelas lain. Hari ini benar-benar hari yang sangat sial untukku. Dan alasan kesialan itu adalah Angkasa!

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulut. Aku harus mengontrol emosi dan menenangkan pikiranku sendiri. Dengan begitu rasa nyeri ini akan sedikit berkurang. Dan lebih baik sekarang aku tidur sebentar agar efek obat itu bisa maksimal.

Kutarik selimut berwarna putih itu sampai ke bawah dagu dan kupejamkan mataku. Beberapa menit kemudian, perlahan kelopak mataku terasa berat. Samar-samar telingaku mendengar suara decitan kursi di samping ranjang, namun karena rasa kantukku lebih mendominasi akhirnya aku tidak menghiraukannya dan malah terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur, sampai akhirnya suara nyaring bel membuatku terjaga. Kukerjap-kerjabkan mata beberapa kali agar penglihatanku lebih jelas. Mendesah pelan, aku mengubah posisiku menjadi duduk. Suara decitan kursi membuatku menoleh, dan langsung terkejut. Cowok yang tengah duduk di sana membuat rasa kesal dan heran bercampur jadi satu. Kesal karena dengan melihat wajahnya, membuatku teringat kelakuannya yang keterlaluan tadi pagi. Dan juga heran, kenapa dia ada di sini?

Dengan cepat, aku beringsut menggeser tubuhku ke sisi ranjang yang lain, menjauh darinya. Menurunkan kakiku dari atas ranjang dan memakai flatshoes yang kulepaskan tadi. Setelah memastikan penampilanku tidak berantakan, aku bangkit berdiri untuk segera keluar dari ruangan ini.

"Sakit apa?" 

Langkahku baru sampai pintu saat dia menanyakan itu. Aku menghela napas berat. "Bukan urusan lo." 

Sepanjang koridor menuju kelas, aku terheran-heran karena para siswa sudah memakai tas mereka masing-masing dan berjalan menuju pintu gerbang depan.

"Bi!" Intan setengah berlari ke arahku dengan tas di punggungnya dan tas punggungku di lengan kanannya. "Ini tas lo." 

"Makasih. Tapi emang sekarang udah jam pulang?" tanyaku sambil menerima tas berwarna biru muda itu. Apa jangan-jangan sekarang memang sudah jam pulang sekolah? Dan jam dinding di UKS salah? Tapi jam tanganku juga menunjukkan kalau sekarang baru pukul dua belas siang.

"Guru-guru ada rapat jadi kita dipulangkan lebih awal."

"Tahu sekarang pulang awal, mending hari ini gue gak usah masuk sekalian aja. Dan gue gak bakal dapet ceramah dari Bu Ani." gerutuku sambil melanjutkan langkah beriringan menuruni anak tangga menuju lantai bawah.

Intan malah terkekeh sebentar sebelum memanggilku lirih.

"Apa?" 

"Lo beneran nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

Aku menghentikan langkahku, diikuti Intan yang masih menatapku serius. Aku tahu arti tatapannya itu. Tadi sebelum ke UKS, Intan memergoki ku yang tengah mengeluarkan obatku yang berupa pil itu dari botol. Sebagai salah satu orang yang paling dekat denganku, Intan tahu betul obat apa itu. Sekuat mungkin aku berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Tapi kurasa Intan masih saja khawatir.

"Gue cuma kecapean, Tan. Jadi nggak perlu khawatir. Oke?"

"Gue nggak mau lo ninggalin gue, Bi. Lo pernah hampir ninggalin gue. Ninggalin keluarga lo. Ninggalin Galang. Gue nggak mau itu terjadi lagi. Walaupun lo sering kesel nggak jelas, tapi lo udah gue anggap kayak saudara gue sendiri."

Sebelah tanganku merangkul bahu Intan dan mengajaknya melanjutkan langkah kami yang terhenti. "Gue nggak bakal kemana-mana. Gue janji."

"Gue pegang janji lo. Tapi lo harus kasih tau gue kalo lo ngerasa nggak nyaman sama badan lo dan lo harus mau gue ajak ketemu papa gue. Janji?"

"Bintang Aurora janji." 

Intan pun balik merangkul bahuku dan kami berjalan berangkulan. "Gue masih nggak percaya deh kalo orang yang bikin lo kena masalah hari ini adalah Kak Angkasa."

Aku berdecak kesal. "Ya iyalah orang lo aja fans fanatiknya dia."

Intan tertawa. Kami sedikit menepi ke dinding saat ada gerombolan siswa kelas tiga melewati kami. "Bukannya gitu, Bi. Tapi kan selama ini yang gue tau, Kak Angkasa itu baik, ramah, murah senyum, dan nggak mungkin bisa ngelakuin hal keterlaluan kayak gitu."

"Dan sekarang terbukti kan kalo idola lo itu bisa ngelakuin hal keterlaluan kayak gitu?" sahutku sambil mengeratkan tali tas punggungku yang sedikit kendor.

"Tapi Kak Angkasa kayaknya ngerasa bersalah, deh."

Aku menoleh pada Intan dan tertawa sarkastik. "Cowok kayak dia tuh nggak mungkin bisa ngerasa bersalah." 

"Buktinya tadi dia nyamperin gue terus nanyain lo."

"Hah?!" Aku langsung menutup mulut dengan tangan karena beberapa siswa memperhatikan kami karena reaksi spontanku. "Ngapain dia nyari gue?"

Intan mengangkat bahunya. "Gue juga nggak tau."

"Terus tadi lo jawab apa?" tanyaku penasaran.

"Ya gue jawab jujur. Bintang lagi di UKS soalnya kepalanya pusing. Gitu."

Aku menunduk menatap ujung flatshoes. Ingatanku kembali pada saat telingaku mendengar suara decitan kursi sesaat sebelum aku tertidur di UKS. Dan juga keberadaan Angkasa di samping ranjang UKS saat aku terbangun tadi. Apa cowok itu menungguiku tidur?

"Tapi muka dia bonyok gitu. Kayaknya abis berantem, deh. Kak Angkasa kan emang sering berantem."

Tuh kan? Aku saja yang terlalu ge-er. Dia ke UKS bukan untuk menungguiku, tapi untuk mengobati wajahnya yang babak-belur.

"Bi, lo abis ini mau ke toko buku?"

"Iya. Kan Bu Ani bilang gue harus kasih bukunya besok." Diingatkan begitu, aku jadi kesal lagi.

"Gue temenin yuk. Itu Pak Udin udah dateng."

Aku  dan Intan menghentikan langkah kami dan menoleh pada mobil yang ditunjuk Intan. Saat ini kami memang hampir sampai di pintu gerbang. "Lo kan hari ini les privat."

"Gue bisa batalin dulu, kok."

Tetap saja aku merasa tidak enak. "Tap–"

"Bintang."

Aku dan Intan sontak menoleh ke arah orang yang barusan memotong ucapanku. Aku berdecak kesal. Tidak bisakah aku tidak bertemu Angkasa dan hidup tenang sehari saja?

Aku langsung menarik lengan Intan untuk pergi dari sana. Tapi dengan gerakan cepat Angkasa menghalangi jalan kami dan berdiri tepat di depanku. "Minggir. Gue mau lewat."

"Gue anter lo ke toko buku."

Aku dan Intan saling berpandangan. Kemudian aku mendongak menatap tajam pada Angkasa. "Gue bisa pergi sama temen gue."

Dengan masih menggandeng lengan Intan, aku menyampingkan tubuhku agar bisa melewati Angkasa. Tapi lagi-lagi gerakan Angkasa untuk menghalangi jalanku, lebih cepat.

"Lo mau ngorbanin jadwal les temen lo cuma buat kepentingan lo sendiri?" tanyanya sinis.

Kok dia bisa tahu? Jangan-jangan dia menguping pembicaraan kami? Aissh!
Aku menoleh pada Intan. "Lo pulang duluan aja, Tan."

"Tapi lo ke toko bukunya gimana?" tanya Intan dengan nada khawatir. Intan pasti tahu kalau aku tidak mungkin menerima ajakan Angkasa.

"Gampang. Gue bisa ajak Kak Viny entar." 

"Kapan lo nggak egois? Viny tuh sibuk, tugasnya banyak. Lo nggak mikir gimana capeknya dia kalo harus nemenin lo pergi segala? Sekali-kali nggak usah manja ngerepotin Viny terus. Bisa?!"

Lagi-lagi aku dan Intan hanya berpandangan. Mungkin Intan terkejut bisa-bisanya Angkasa membentakku seperti itu. Dan aku sama terkejutnya. Ini kedua kalinya dia membentakku seperti itu. Aku tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Sudah kubilang kan kalau bahkan Papa dan Kak Andro saja belum pernah sekalipun membentakku seperti itu?

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan lewat mulut. Tangan kananku memijit pelipisku pelan, merasa agak pusing. "Tan, lo pulang duluan deh. Gue bisa pergi sendiri."

"Tapi, Bi?"

Aku tersenyum tipis. "Gue nggak bakal kenapa-napa. Oke?"

Intan mengangguk ragu, namun akhirnya dia menurut untuk segera masuk ke mobilnya dan meninggalkanku. Sepeninggal Intan, aku pun berjalan melewati Angkasa yang masih berdiri di depanku tadi tanpa mengucapkan apapun padanya. Dan sekarang dia tidak menahan langkahku lagi, membuatku bernapas lega. Seperti biasa, aku harus berjalan sekitar dua ratus meter untuk bisa sampai ke halte bus. Tidak sendiri, karena banyak siswa yang juga melakukan hal yang sama. Tapi sepertinya aku salah, karena sebuah motor berhenti di sampingku.

"Ikut gue." Suara tajam itu masuk ke telinga bersamaan dengan lenganku yang ditarik paksa.

"Lepas!" 

Beberapa siswa yang menghentikan langkahnya memandangi kami, membuatku semakin tidak nyaman. Tapi Angkasa tidak menghiraukan bentakanku dan kembali menarik lenganku berjalan cepat menuju motornya. Dan tentu saja, aku melepaskan kembali pegangan tangannya dan berjalan ke depan lagi. Namun langkahku terhenti saat Angkasa sudah berdiri di depanku.

"Nggak usah kekanak-kanakan, bisa?" tanyanya dengan nada kesal.

"Ya Allah, kekanak-kanakan apa lagi? Gue udah nurutin omongan lo buat nggak ngerepotin Intan sama Kak Viny. Dan gue bakal pergi sendiri. Sendiri, lo denger? Dan lo masih bilang gue kekanak-kanakan? Di mana letak kekanak-kanakan gue sekarang, hah?!"

Aku benar-benar kesal, marah, tidak habis pikir, semuanya. Suasana hatiku sangat kacau sekarang hingga rasanya mau menangis saja. Dan lihat wajah datarnya itu. Juga tatapan mengintimidasi dari bola hitam sehitam tinta spidol itu! Sedikit saja, hanya sedikit.

Apa dia tidak merasa bersalah sama sekali telah membuatku terkena masalah hari ini? Apa dia tidak merasa kalau setelah pertemuan kami tempo hari membuat hari-hariku berubah tidak setenang sebelumnya? Mengataiku seenaknya, mencium pipiku seenaknya, memaksaku pulang dengannya, menjatuhkan buku-buku yang kubawa hingga salah satu buku hilang, apa dia tidak ingat pernah melakukan itu padaku? Dimmana letak hatinya?!

Decakan kesal keluar dari mulutku begitu aku menyadari setetes air jatuh dari pelupuk mataku. Kenapa aku harus menangis di depannya sih?

Segera kuusap sudut mataku yang berair. "Lo tuh maunya apa sebenarnya?" 

"Gue mau elo."

Aku tersentak. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Dan aku membalasnya dengan pelototan. "Sakit jiwa, lo!"

Kali ini dia hanya menghela napas lelah. Keningku berkerut dibuatnya. "Sekali aja jangan bantah omongan gue, bisa?"

Aku berdecak. Tapi entah kenapa tidak bisa menolak saat tangannya kembali menarikku kembali ke motornya. Sialan. Kenapa aku lagi-lagi kalah darinya?!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status