8 tahun yang lalu...
"Namaku Lyan!" seru Lyan cepat, menjawab pertanyaan seorang pemuda dewasa dihadapannya yang menanyakan namanya dengan ramah.
"Hmm, namamu cukup unik. Apa itu nama panggilan?"
Lyan menggeleng cepat. "Nama lengkapku Lyan Keshwari,"
Pemuda itu tersenyum lagi sambil menatap lembut ke arahnya. "Kalau nama kakak? Sudah tahu kan?"
Lyan mengangguk. "Abimana Hattala," sahutnya. Ia mengetahuinya dari KTP di dompet Abi yang ia temukan terjatuh di jalan. Demi menemukan sang empunya dompet, Lyan terpaksa membuka isinya demi mencari identitas pemiliknya. Namun alamat yang tertera justru sebuah alamat di luar kota. Karena kebingungan, Lyan pun pergi ke kantor kepala desa untuk melaporkan dompet yang ia temukan. Dan bersyukurnya, orang-orang di kantor kepala desa mengenal sang pemilik dompet. Yang ternyata salah satu mahasiswa yang sedang ikut kegiatan volunteering di desa mereka. Ya, desa mere
Abi tersenyum sambil memegangi dompet yang kini telah kembali ke tangannya. Bukan senang karena dompetnya telah kembali, melainkan terkesan dengan gadis kecil yang telah mengembalikan dompetnya meskipun ia bisa saja menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ada beberapa ratus ribu di dompet itu, dan tak satu lembar pun yang hilang. Ya, Abi mengagumi kejujuran anak itu serta usahanya demi menemukan dirinya sebagai pemilik dompet."Wahh... akhirnya ketemu juga ya sayang. Dapat dimana?"Abi melirik seorang gadis disampingnya yang sedang bergelayut manja di lengannya yang kini ikut memperhatikan dompetnya.Anara. Kekasihnya.Abi mengusap lembut rambut Anara."Dibalikin sama anak kecil,"Anara mendongak. "Anak kecil? Serius? Tumben masih ada anak yang sejujur itu ya di zaman sekarang,"Abi menggumam setuju sambil tersenyum lagi.
"Ly... kenapa nangis?" tanya Deana cemas melihat Lyan yang berdiri didepan pintunya sambil berurai air mata. Sekian lama bersahabat dengan Lyan, baru kali ini ia melihat Lyan menangis. Deana mulai berpikir macam-macam. Apakah pernyataan cinta Dirga membuat Lyan di bully para penggemar fanatiknya? Apa mereka menghinanya? Menyakitinya secara fisik karena merasa tak terima?Deana merasa miris melihat Lyan yang seperti ini. Meskipun belum tahu pasti apa penyebabnya kesedihan Lyan, namun Deana serasa ingin menangis bersamanya."Ma...maaf De, a...aku... nggak bawa...buah untukmu..." sahut Lyan sambil sesenggukan. Ia sibuk mengusap air matanya yang tak henti mengalir.Deana memeluknya. "Nggak perlu pikirin itu. Lagian aku juga udah mulai enakan. Yuk masuk dulu. Kamu tenangin diri didalam,"Lyan mengangguk. Deana menuntunnya masuk lalu segera menutup pintu. Lyan segera duduk di tepi kasur sementara Deana mengambilkan segela
Abi masih tidak bisa berhenti memikirkan Lyan. Di satu sisi ia terpana, Lily-nya telah tumbuh dewasa dan cantik meskipun hanya berpakaian kasual ala mahasiswa. Namun, sorot matanya tidak lagi ceria. Atau, apa tatapan itu hanya ditujukan padanya saja?Abi menggeliat gelisah. Pertemuan kembali dengan Lyan yang tak terduga telah mengubah fokusnya untuk sesaat. Ia menatap nomor ponsel Retania yang telah ia simpan. Bukankah seharusnya ia langsung saja mendekati gadis ini dengan gencar sesuai rencananya? Namun entah kenapa ia mulai tidak tertarik. Meskipun ternyata aslinya Retania begitu cantik.Ia mulai iseng membuka akun sosial medianya. Dan tiba-tiba terpikir untuk mencari akun Lyan. Tak butuh waktu lama, dalam beberapa detik, ia berhasil menemukannya. Sebuah akun bernama Lyan Keshwari. Abi tersenyum menatap foto profilnya yang ceria. Namun sayang, akunnya terkunci. Tanpa pikir panjang, Abi langsung meng-klik tombol permohonan pertemanan.***
"Pasti sengaja, kan?"Lyan dan Deana kompak menengadah, membatalkan suapan mereka begitu mendengar suara yang familiar ini. Dihadapan mereka, Dirga berdiri menjulang dan menatap lurus ke arah Lyan.Lyan memperhatikan sekeliling. Seisi kantin sibuk berbisik-bisik memperhatikan mereka. Ia menghela napas berat. Lagi-lagi cowok di hadapannya ini suka sekali berulah dengan membuat drama. Dan Lyan benci sekali ini.Lyan melirik Deana sekilas. Sahabatnya itu tampak menatap cemas ke arahnya. Kemudian Lyan kembali beralih menatap Dirga."Apa maksudmu sengaja?" tanya Lyan pura-pura tidak mengerti. Sedikit banyak, dia tahu apa yang dimaksud Dirga."Akun sosmedmu. Kenapa mendadak isinya kosong semua? Bahkan foto profilmu pun nggak ada," protes Dirga."Kan terserah aku. Itu akunku. Lagian aku udah konfirmasi akunmu. Apalagi yang kurang?" sahut Lyan santai.Dirga berdecak k
"Kita bisa sepakat untuk ini," ujar Dirga. Lyan menatapnya bingung, "maksudmu?""Aku tahu kau nggak mau berurusan dengan dosen itu. Kalian pernah ada sesuatu, kan? Aku bisa bantu,""Nggak usah!" tolak Lyan cepat."Kenapa?"Lyan menatap Dirga serius,"karena kita nggak lagi main drama sekarang. Kau mau bantu apa? Kita pura-pura pacaran, gitu? Mau bikin orang lain cemburu? Aku tahu, kau suka Retania, kan?""Ap...apa?""Jangan remehkan insting perempuan,"Dirga tertawa kecil. Dalam hati, ia benar-benar mengagumi Lyan."Satu lagi. Jangan pernah berpikir untuk menjadikan aku umpan hanya demi memancing perhatian Retania. Aku sibuk, nggak punya waktu untuk main-main dengan itu. Kau cuma perlu berhenti jadi playboy. Fokus aja ngejar Retania,"Dirga tertawa lagi. Lyan mengernyit heran menatapnya. "Aku heran kenapa kau terus tertaw
"Ma..."Anara melirik cepat ke arah Lila sebagai kode untuk merubah panggilannya."Tante..." Lila meralat panggilannya. Anara tersenyum lalu bertanya, "ada apa, sayang?"Lila menunjukkan sehelai kertas berisi gambar hasil karyanya. Gambar sebuah pemandangan pedesaan. "Bagus nggak, Tante?"Anara memperhatikannya dengan seksama, namun akhirnya ia tak terlihat berminat. "Bagus," jawabnya sekenanya."Tante suka?" tanya Lila lagi dengan mata berbinar. Anara menarik napas sesaat. "Suka. Tapi tante akan lebih suka lagi kalau Lila bisa menang di kompetisi piano," sahutnya. Wajah Lila lantas berubah murung. "Tapi piano sulit, Tante. Lila nggak berbakat. Lila lebih suka menggambar,"Anara menghela napas sesaat lalu mengusap lembut rambut Lila. "Tapi piano penting untuk masa depanmu, sayang. Kakek dan nenek, semuanya menginginkan Lila untuk jadi pianis hebat suatu hari nanti. Seperti ibu
Chapter 16: INVITATIONBeberapa detik kemudian, Anara segera tersadar dan langsung menampar Pram dengan ekspresi marah yang mendominasi wajah cantiknya. Pram tak membalas. Ia hanya menatap Anara tenang lalu berkata, "bahkan kau sendiri tak bersedia jadi istri yang baik untukku. Sudahlah. Setidaknya kita akan sama-sama ada disana nantinya," Pram bangkit, melangkah dengan tenang meninggalkan Anara yang masih terkejut dan marah.Sepeninggal Pram, Anara menghela napas berat. Ia selalu tak suka keintiman fisik seperti ini. Bahkan sejak awal pernikahannya dulu, ketika Pram menyentuhnya, ia merasa jijik. Tak pernah ia bayangkan bahwa suatu saat Pram lah pria pertama yang menyentuhnya, kakak iparnya sendiri.Sebetulnya, saat masih menikah dengan Amira, Pram memang sosok pria yang baik. Bahkan sebelum menikah dengan Amira pun, ia yang saat itu datang pertama kali ke kediaman Aryasena dalam rangka pesta perayaan pernikahan orang tua Anara dan
Dirga menghentikan motornya tepat di sebuah bangunan yang tak asing baginya. Bangunan yang selalu menjadi tempat bernaungnya dulu.Panti Asuhan Muara CahayaDirga menatap plang nama bangunan itu yang kini mulai melapuk akibat termakan usia. Ia menghela napas. Ia begitu merindukan tempat ini. Meskipun beberapa teman sebayanya sudah tak lagi ada disini. Beberapa tahun telah berlalu sejak Dirga diambil oleh Hardian Hadinata dari panti asuhan ini. Sejak itu pula ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya disini.Saat itu semua teman-temannya iri karena Dirga akan tinggal bersama keluarga kaya raya. Kehidupannya pasti akan sejahtera. Dirga pun sama yakinnya. Bahwa ia pasti akan bahagia. Asanya melambung tinggi ke angkasa.Tapi nyatanya?Ia begitu malu untuk kembali ke tempat ini. Untuk memberi tahu bahwa bukannya merasa bahagia, ia justru sangat terluka. Tak disangka, dunia di luar bangunan ini terasa begit